Sabtu, 26 April 2008

Harmonikaku 8 - Terbongkarnya Hubungan Rahasia

Harmonikaku 8 - Terbongkarnya Hubungan Rahasia

Ruang makan itu telah kehadiran tamu besar untuk malam ini. Seorang calon mertua di hadapan Panji. Pak Wibisono menyambutnya dalam acara makan malam spesial di rumahnya. Entahlah, mengapa tidak di rumah sang calon menantunya, mungkin karena Pak Wibisono ingin memperkenalkan istri yang baru beberapa tahun ia nikahi, Ibu Indah Sinaringlintang, yang tak lain adalah ibu kandung dari Henggar Lintang, anak tiri dari Pak Wibisono. Memang Ibu Indah adalah seorang yang amat pemalu dan tak suka untuk keluar rumah.

"Pap, papa nggak bisa begitu! Panji sudah besar, Panji berhak menentukan masa depan Panji sendiri."

Suara itu memecahkan suasana suka di meja makan itu. Risa -yang sengaja duduk di sebelah Panji-   memegang tangan kiri Panji dan mengelusnya," kamu kok bicaranya begitu sih sama bapakmu, sayang?" Panji menjadi risih dengan kelakuan Risa. Ditariknya tangannya dari Risa. Risa pun terpaksa menarik tangannya. "Ada yang salah, Panji?" tanya Pak Johan yang ingin mematikan langkah Panji yang sedari tadi ingin menunda pertunangan itu.

"Ya, salah. Karena saya tidak pernah suka dan cinta pada Risa dan kita tidak perlu pertunangan ini."

Ketika kebohongan menjadi kejujuran berarti
Aku tak bisa bergerak dan berkata apa - apa lagi.

"Jadi selama ini, kamu berbohong padaku?" Risa menjadi geram.
  "Aku hanya ingin membuat papa bahagia. Itu saja, tak lebih. Dan sepertinya kamu bukanlah wanita yang memenuhi kriteria diriku. Maafkan aku, Risa! Lebih baik kita berhenti sampai di sini daripada melanjutkan hubungan yang tak jelas arahnya ini."
  "PANJI! LANCANG SEKALI KAMU BICARA BEGITU!" Suasana berubah menjadi ketegangan. Ibu Indah mencoba menenangkan suaminya yang sedang naik darah.
"Pap, maafin Panji." Panji bangkit berdiri dan meninggalkan meja makan itu. Suasana semakin menegang. Pak Johan mulai terlihat kebingungan. Ia menatap Pak Wibisono yang masih geram dengan tingkah anaknya itu sambil berharap Panji berubah pikiran.

Dan kejujuran telah terbuka lebar,
Telah kukatakan segala yang kupendam sendiri
Kegelisahan ini telah kutumpahkan

Panji menutup pintu mobilnya. Ia menyalakan mesin mobilnya. Diinjaknya pedal gas dan membawa mobilnya keluar dari garasi. Panji kecewa dan sedih. Ia telah membuat sang ayah marah besar dan kecewa atas pilihan ini. Ia merasa sangat bersalah, namun di sisi lain, ia telah lega mengungkapkan kejujuran atas kebohongan di hati yang ia lakukan pada Risa.

Mobil sedan itu meluncur dari rumah ke-45 di Jalan Rereng Adu Manis. Panji ingin ke rumah seorang tukang rujak yang sering lewat di depan rumahnya, Ita.

Malam semakin larut. Ita masih duduk di sebelah ibunya yang masih tertidur. Ia menatap wajah ibu. Aku tak ingin berpisah dari ibu! Kata - kata itu terus mengisi sisa waktunya bersama ibu. Ibu terlelap dalam tidurnya. Ah, seandainya ibu tahu aku akan pergi, ibu pasti tak akan rela!

Sedan itu berhenti di ujung gang rumah Ita. Kampung itu akan semakin sepi jika malam telah menampakkan dirinya. Panji turun dari mobil. Ia berjalan ke depan rumah Ita yang amat berbeda dengan rumahnya. Ia memberanikan diri untuk mengetuk pintu  yang hanya terbuat dari kayu yang serat - seratnya sudah terlihat jelas.

"Tok... tok... tok..." Seorang gadis membukakan pintu untuknya. Ita kaget setengah mati melihat seseorang yang ada di depannya.

"Malam Ita, ganggu kamu?" tanya Panji. Ita berulah salah tingkah. Ia hanya menggelengkan kepala. Mereka duduk di dipan triplek.
  "Kamu diterima di perusahaan itu?" Panji mencoba membuka pembicaraan.
  "Iya mas!" Panji tersenyum lebar, diikuti Ita.
  "Lalu, kamu ditempatkan di mana?"
  "Di Jogja, mas!" Panji mengangguk - anggukkan kepala menandakan 'iya'. Mereka menikmati udara malam itu. Gerimis membasahi tanah Bandung nan dingin itu. Membuat saraf - saraf harus bekerja ekstra menahan rasa dingin itu. Suara parau keluar dari dalam rumah.

"Phhhrrrrrrr.... hhhrrrr...... kakakakakakakak..... hihihihihi.... hrrrrr......"

Ibu Ita terbangun dari tidurnya dan keluar dari kamar. Ita tersentak dengan suara parau itu dan hatinya was - was luar biasa. Jiwanya takut peristiwa itu kembali terulang.  Tangan ibu meracau - racau ingin mengusir Panji. Pak Henggar berupaya membawanya masuk. Mencoba menarik tangannya. Tapi Ibu Hastuti terlalu kuat untuknya. Ia kalah.

Nada - nada harmonika mengisi kekhawatiran ini
  Membuat kepedihan dalam jiwa dan raga
Hujan membasahi dunia, melodi membasahi hati

Ibu Hastuti kembali masuk setelah mendengar alunan harmonika itu. Hatinya meluluh lantak, ia tak lagi menampakkan wajahnya pada Ita dan Panji. Pak Henggar menuntunnya masuk ke dalam kamar. Ita melepaskan tiupan terakhir dari harmonika itu. Ditariknya harmonika dari ujung bibirnya.

"Maaf ya, mas!" Ita menatap mata Panji. Panji tak lagi menunjukkan mimik ketakutan seperti ketika pertama kali ia bertamu ke rumah Ita. "Nggak apa - apa! Aku sudah tak takut lagi kok!" Ita melirik ke dalam. Kosong. Ibu Hastuti telah kembali masuk ke dalam kamar. Mungkin bapak telah menemaninya.

"Aku ambilkan minum dulu ya!" Ita bangkit berdiri. Panji memegang tangannya, menahan langkahnya.
  "Tak usah. Aku tak haus." Ita kembali duduk di sebelahnya.
"Aku ingin kamu mainkan lagi harmonikamu! Aku ingin mendengarnya sekali lagi." lanjutnya.

Ita mengambil harmonika yang telah ia letakkan di sebelah kirinya. Ditiup harmonika itu dengan seksama. Suara harmonika itu memecah keheningan malam.

Harmonikaku
Kutiup dalam hening ini
  Nada - nada keluar mengalun lembut
  Membisir kepenatan dalam diri
  Membayangi kehampaan malam
  Alunan rintihan hati dengarkanlah
  Jelas tanpa ada nada - nada kegembiraan
 Tiup harmonikaku, dengar rintihan hati

Nada yang amat tinggi mengakhiri permainan harmonika Ita malam ini. Mata Panji berkaca - kaca. Ita melepaskan genggamannya dari harmonika itu. Ia menatap Panji yang menghapus air matanya yang hampir jatuh di hadapannya. Rintihan hati telah terlepas seiring bunyi harmonika memadu dan angin malam telah berhembus jauh. Gerimis telah berhenti mengguyur bumi Bandung.

"Kamu sudah siap berangkat ke Jogja?" Ita menganggukkan kepalanya.
  "Kapan berangkat?"
  "Besok mas, dari stasiun jam delapan."
"Ooh... kuantar ya?"
"Ndak usah, mas! Aku nggak mau membuat mas repot. Aku bisa sendiri."
"Ya sudah, hati - hati! Aku pulang dulu ya, sudah larut malam."

Panji merogoh kantung celananya dan mengeluarkan kunci mobilnya.  "Ita, aku sayang kamu! Sungguh!" ucapnya setengah berbisik. Ita hanya terdiam seolah tak beraga lagi. Hatinya bedebar. Panji pergi meninggalkan rumah Ita. Ita tetap berdiri memandang Panji yang keluar dari gang itu dari depan rumahnya.

Jangan pikir jalan ke Roma itu hanya satu
  Ada banyak cara ke Roma
  Begitu juga dengan menaklukkan dirimu
Aku memiliki banyak cara

Tanpa disadari Panji, Pak Johan dan Risa telah mengikutinya dari belakang, tak lama setelah Panji pergi. Mereka langsung berpamitan pulang. Risa yang merencanakan aksi mata - mata. Lika - liku dan arah mobil Panji berjalan telah diketahui oleh mereka. Termasuk duduk mesra dengan seorang gadis kampung. Mereka memberhentikan mobilnya agak jauh. Menatap kemesraan antara Panji dan Ita.

"Pa, aku tahu perempuan itu!" katanya.
  "Siapa, Ris? Katakan!"
  "Perempuan itu tukang rujak yang sering lewat di rumah kita waktu sore - sore."
"Kamu yakin?"
"Iya... Risa yakin sekali, pa! Risa sering beli rujak-nya dia."

Pak Johan sangat puas dengan jawaban Risa. Ada suatu rencana yang sudah disiapkan dengan matang. Siap menempur Panji kembali.  Ia yakin kali ini ia tak akan gagal menikahkan Risa dengan Panji. "Kamu akan segera menikah, nak!" Ia tersenyum licik di balik jendela mobilnya. Risa berbunga - bunga, sepertinya ia akan berhasil menjadi istri Panji. Hubungan tersembunyi telah dibongkar oleh mereka.

Setelah puas melihat dari jarak kejauhan, mereka meninggalkan Panji dan Ita, sebelum Panji mengetahui keberadaan mereka. Mobil sedan hitam itu berlalu dengan membawa suatu kejutan untuk Panji.

Aku tak ingin kembali dulu
Aku ingin diam sendiri dalam gonjang - ganjing hidupku

Panji memberhentikan mobilnya di pinggir Jalan Dago. Akhir minggu ini, Dago ramai seperti biasanya, ada live music di pinggir jalan. Memang dia telah berencana tak akan pulang ke rumah malam ini. Pak Wibisono akan marah besar kepadanya. Ia turun dari mobil dan menyaksikan acara mingguan  itu dari radius yang agak jauh. Ia berencana mau menghabiskan waktu dini harinya di sana.

"Panji!"
  Seseorang memberhentikan motornya di sebelah Panji. Bramantyo, kakaknya.

"Kak, baru sampai ya?"
  "Iya, tadi jam sebelas. Pesawatnya di-delay dua jam. Jadi agak terlambat. Ternyata kamu masih hobi juga ya nongkrong di sini? Aku kangen dengan suasana gini. Kan di Singapura ga ada acara musik tengah jalan begini. Oh ya, tadi papa nyariin kamu, kamu habis bertengkar sama papa, ya?"
  "Tadi Pak Johan  datang diundang papa.  Pak Johan sepertinya ingin aku menikahi Risa cepat - cepat. Tadi siang, Risa menelponku untuk segera meminangnya sebelum aku berangkat ke Semarang. Papa sih setuju - setuju saja kalau pertunangan kita dipercepat. Tapi aku-nya yang nggak mau. Mas kan tahu sendiri kalo aku memang tidak pernah suka dengan Risa. Aku membatalkan pertunangan yang sudah papa rencanakan dengan Pak Johan."
  "Iya Ji, aku juga enggak setuju kalo kamu menikah dengan Risa. Aku merasa Risa dan keluarganya itu keluarga yang enggak beres. Sepertinya mereka ada rencana untuk membuat bangkrut perusahaan papa. Kamu kan ingat sendiri, waktu papa buka cabang di sini, mereka langsung jatuh."
"Tapi papa itu bagai orang yang sudah melihat lubang tapi masih terperosok juga, iya kan?"

Bramantyo hanya tersenyum mendengar keluh adiknya. Mata Panji masih mengarah pada acara weekend itu. Kembali hujan membasahi bumi Bandung. Kali ini disertai kilat dan petir. Penonton di bawah panggung berlari - larian meninggalkan acara itu. Alun - alun panggung menjadi sepi.

"Ji, kamu pulang ya!"
  Bramantyo memakai helm-nya dan menyalakan mesin motornya. Panji masuk ke dalam mobil. Ia mengibaskan tangannya menandakan agar Bramantyo jalan terlebih dahulu. Bramantyo menarik tuas gas motornya dan meninggalkan Panji. Panji menjalankan mobilnya. Motor Bramantyo sudah tak terlihat lagi. Panji membelokkan mobilnya ke parkiran factory outlet yang tak dijaga satpam satupun. Ia hanya bisa tidur di dalam mobilnya. Ia lupa membawa uang dalam dompetnya, setidaknya malam ini ia tak akan tidur di dalam mobil seandainya ia tak melupakannya dan malam ini ia enggan untuk pulang.

Gelisah hati ini semakin  mengerat
Aku tak ingin kehilangan
Semua kebahagiaan yang telah kumiliki

"Bu, Ita tak ingin pisah sama ibu dan bapak." Suara lirih terdengar dari bibir kecil Ita. Ita menahan tangisnya, ia tak ingin menangis di depan ibunya. Ia tak mau ibu yang terlelap terbangun karena tangisnya, apalagi sampai ikut terbawa suasana.

Tapi tembok penahan air mata sepertinya telah tak sanggup menahan lagi, tembok itu hancur. Tangis Ita pecah seketika di depan ibunya. Ia gagal menahan kepedihan. Ia menangis sejadi - jadinya di depan ibu yang masih pulas dalam tidurnya. Ibu, waktu Ita bersama ibu semakin sempit!

Ita gelisah. Ia hanya tertidur dua jam saja sejak Panji pulang dari rumahnya.

Pagi ini bukanlah pagi yang sungguh kunanti
  Pagi ini adalah duka untukku
Pagi ini adalah perpisahan untuk kita

Suapan terakhir di sendok telah ibu kunyah. Ita berdiri dan keluar mencuci piring bekas makan pagi ibunya. Lalu ia kembali ke kamar melihat ibunya. Pandangan Ibu Henggar Adibroto kosong, tak tahu apa yang dilihatnya. Ita hanya menatapnya dari depan pintu. Lirih.

Di halaman parkir factory outlet, Panji terbangun dan menyalakan mesin mobilnya setelah salah seorang satpam mengetuk kaca mobilnya. Ia meninggalkan pelataran parkir dan pulang ke Jalan Rereng Adu Manis.

"Bu, Ita pergi dulu ya, cari uang untuk ibu berobat." Ita mengatakannya perlahan ke telinga sang ibu.
  "Phrrrr........ hrrrrrrrr........ kakakakakakak...... somprett..... kamu gilaaa........ kamu gilaaaa.... hahahahaha....." Ibu Ita seolah acuh pada kepergian anaknya. Ita memeluknya erat. Ita menitihkan butir - butir air dari matanya sebagai lambang perpisahan. Ibu Ita tertawa terkekeh - kekeh, entah apa yang dilihatnya. Ita mengusap wajahnya dan mencium pipinya.
"Bu, Ita janji kalo Ita sudah punya uang, kita ke rumah sakit."

Ita keluar dari kamar dan bersiap untuk ke stasiun. Pak Henggar mengantarnya sampai ke depan rumah. Ita mencium tangan bapaknya.
"Pak, Ita berangkat ya! Tolong jaga ibu!" Bapak mengangguk - anggukkan kepalanya. Ia memeluk bapaknya erat. Mata mereka berkaca - kaca menahan pedih.
"Hati - hati, nak!"

Ita melepaskan pelukan ayahnya. "Deeeee.........wi......... anakkuuuuuuu..... bapak..... jahaaaaaat sama ibuuuu....... Deeeee....wi..... bapaaak... gilaaaa.... " Ibu Ita berteriak - teriak sendiri di dalam kamarnya. Seolah ia marah pada Henggar Adibroto. Ita mendengar. Ita kembali masuk dan memeluknya. Tangisnya pecah seketika saat ibunya masih memanggil namanya, Dewi Paramita. Ibu, ibu memanggil anaknya, ibu masih ingat diriku?

"Kamu tahu mengapa ibu dan bapak memberimu nama Dewi?"
  Ita kecil menggeleng. "Karena kamu adalah permata hati ibu dan bapak. Ibu suka memanggilmu Dewi. Dewi itu nama yang amat ibu sukai. Tapi bapak lebih suka memanggilmu dengan Ita, ya?"

Dimulailah sebuah permainan
  Telah terencana dengan amat rapi
Siap untuk menghancurkan dirimu

Panji memukul setir mobilnya. Wajahnya berubah menjadi wajah penuh emosi. Kekesalannya memuncak ketika melihat sebuah mobil sedan diparkir di depan rumahnya. Pak Johan ada di dalam. Ternyata dia belum puas dengan jawaban Panji kemarin.

"Panji, dari mana kamu?"
 Pak Wibisono mencegatnya dengan kata - kata itu. Panji yang acuh tak acuh berjalan ke hadapan ayahnya.
"Dari Dago," jawabnya santai.
"Jangan bohong, kamu! Kemana saja semalaman?"
"Di Dago. Panji tak bohong."

Pak Johan tersenyum   melihat kedua orang tersebut yang sedang bertengkar. Dia merasa menang dalam hal ini. Risapun demikian.

"Bukannya kamu dari rumahnya penjual tukang rujak dan kamu kencan semalaman?"

Perkataan itu. Darimana mereka tahu? Panji hanya bisa diam. Risa, Pak Johan, dan Pak Wibisono telah mengetahui hubungan itu.

Keheningan malam menyambut diriku,
A. A. T. - 230408

Silahkan baca di SINI juga
Sebelumnya (Part 7) (Part 6) (Part 5) (Part 4) (Part 3) (Part 2) (Part 1)

Gambar dicopet dari SINI
(Boleh dong, Tante Zev???)

23 komentar:

  1. Enak amat lo, nyopet gambar huahahaha.......

    BalasHapus
  2. Oh iya dong huahahahahahahahaaaaaaaaaa..............

    BalasHapus
  3. Konfliknya bagus Av.
    Cuman perhatikan pemborosan kata ya. Aku lihat ada beberapa soalnya. Ini kritik demi kebaikan lho...
    Overall, salut deh buat kamu.....

    BalasHapus
  4. Iya, betul. Masih ada beberapa kata yang perlu di-edit dan masih butuh perbaikkan. Thanks ya...

    BalasHapus
  5. Begitulah orang yang kurang kerjaan, Om! Hahahah

    BalasHapus
  6. bagus dialognya, seperti sinetron Indonesia, hhehehe

    BalasHapus
  7. Tau nih... Idenya abis... Jadi kayak Bawang Merah Bawang Putih Bawang Goreng Bawang Bombay dueh....

    BalasHapus
  8. Jalan cerita dan ilustrasinya bagus, tapi kombinasi warna huruf dan back-ground mungkin mendingan pergunakan yang diupload oleh Zeventina.

    BalasHapus
  9. Iya sayangkuuuuuu hurufnya silauuuuu

    BalasHapus
  10. Aku dah baca Av dan kasih comment di tante Zev... sorrry lho kalo commentnya gak pas..!!

    BalasHapus
  11. Ga papa kok, Om! Malah aku seneng yang komentar seperti itu, bisa jadi referensi untuk naskah berikutnya. Makasih ya, Om!

    BalasHapus
  12. Ok... Ok... Thanks..
    Gimana komentarnya, ibu?

    BalasHapus
  13. Aku ngebayangin tokoh Risa yang sering muncul dalam sinetron2 itu...

    hehee...
    bagus, sekali lagi keseriusan kamu nampak sekali dalam penyampainya, dibanding ocehan kamu yang serba lepas dalam kesehariannya... hehee...

    Ttg isi... saya rasa ini satu cerita yang juga sering kamu lihat dan kamu temui dalam sinetron2 pula, sehingga mix and match nya lebih nampak nuju kesana...

    hahaa... yah, begitulah cerita semua sama, hanya saja bagaimana sipenulis mampu merangkai kata menjadi lebih menarik, dan itu ada padamu.
    Wow... tumben panjang banget..
    sejak kapan aku jadi kritikus... (enggak, bukan kritikus, hanya kesan yang ku dapati saja.)
    selebihnya semua indah...

    Pengin nulis kayak kamu.
    Mmm...

    BalasHapus
  14. Kritikus yang baik........
    Thank you

    BalasHapus
  15. Ave, ntar kalo kebagian nulis lagi, selipin korek di kaki Johan dan Risa itu ya, terus nyalain....he he he

    BalasHapus
  16. Wah... nggak bakal kunyalain, Tante. Langsung aja KUBAKAR hehehehe....

    BalasHapus