Kamis, 05 Januari 2012

Surat Tentang Suratan

Pro I,
seorang sahabat, teman perjalanan, kisah di dalam sebuah kisah.


It is good to have an end to journey toward; but it is the journey that matters, in the end. - Ernest Hemingway



Apa kabarmu? Aku tidak menemukan kata-kata yang lebih layak daripada bertanya tentang kabarmu. Lama kita tak bersua, duduk di kedai kopi dari siang sampai tengah malam. Cangkir berganti cangkir, gelas berganti gelas, pembicaraan berganti pembicaraan. Sesekali kita mendiskusikan tentang manuskrip yang tak pernah selesai itu diselingi gelak tawa yang mengundang perhatian pengunjung lainnya. Tapi aku suka. Aku suka bila mereka tahu kita pun dapat bahagia dengan duduk memegang cangkir atau gelas, menyeruput kopi, dan tawa yang nyaris tiada henti.

Telah lama aku hendak menuliskan surat kepadamu. Ada sedikit dari ribuan kisah yang hendak kubagikan kepadamu tentang kunjunganku ke berbagai tempat, berinteraksi dengan banyak orang, dan menemukan esensi yang menarik yang sepatutnya kau ketahui sebagaimana kerap kau bagikan kepadaku. Dapatlah kau katakan ini adalah catatan perjalanan yang kurangkum dengan caranya tersendiri.

Telah tiga pekan aku berada di kota ini. Tentunya interaksi yang kulakukan kepada sekelilingku juga semakin banyak. Aku mendiskusikan tentang buku, musik, film, penerbitan, plagiarisme, konsep perjalanan, sampai kepada soal yang paling bodoh: cinta. Aku tidak tahu mengapa sampai sekarang aku menyebut pembicaraan soal cinta adalah pembicaraan yang bodoh. Tapi aku suka. Aku suka membicarakannya tiada henti.

Baiklah, aku mengawalinya dari sini saja.

Akhirnya aku bertemu dengannya. Awalnya aku membuat perjanjian dengannya di kedai kopi. Tetapi ada satu dan lain hal, akhirnya kusambangi ia untuk bertemu di depan perpustakaan desa yang telah ditutup karena hari menjelang sore. Bagiku, bertemu di mana saja bukanlah sebuah masalah. Yang penting: bertemu. Sesederhana itu saja.

Aku pernah bertemu dengan kawanku di tengah jalan. Membuat janji dengannya di tengah jalan pada pukul sepuluh malam. Aku nangkring begitu saja di atas motor dan menunggu mobilnya berhenti di depanku. Dan benar saja kalau kau menduga bahwa aku dan dia berdiskusi di pinggir jalan. Sewaktu itu, di Bandung, jalan sedikit lebih ramai dari biasanya. Kurasa ini karena efek dari akhir pekan. Dingin masih bisa menembus ke pori-pori kulit meski aku telah mengenakan jaket yang cukup tebal yang biasanya kukenakan saat aku mendaki gunung.

Tapi pembicaraan tidaklah sebeku yang kau kira, tidak sedingin angin Bandung. Seperti biasa saja, seperti kawan lama yang hendak bertemu dan peluk sapa. Kami bermain di dalam kata-kata.

Begitu pula dengan pertemuan bersama kawanku yang satu itu. Hujan baru saja usai turun dan kita bersua tepat di depan perpustakaan. Berbicara banyak hal tentang buku, puisi, cerpen, sampai pada penerbitan. Aku tak tahu mengapa tiap kali bertemu dengan kawan yang satu ini pasti topiknya selalu sama dan aku tidak pernah bosan bercerita tentang hal yang itu-itu saja. Mungkin karena lama tidak bersua dan setumpuk percakapan pun tetap saja menarik.

"Semakin gemuk saja setelah jalan-jalan keluar negeri."

Balasnya adalah gelak tawa. Aku tersenyum saja. Cukup. Diskusi kami cukup panjang dengan durasi nyaris 75 menit. Aku yang harus pergi karena sudah ada janji lain untuk pertemuan online dengan karib yang lain. Sedikit gila aku di hari itu dengan nekatnya membuat perjanjian pada jadwal yang begitu cepat dan mepet.

Ada bingkisan yang diberikannya kepadaku. Pembatas buku dan gantungan kunci. Sebenarnya aku mengharapkannya memberikanku hanya pembatas buku saja. Tapi tak apalah, sudah diberi pun adalah hal yang baik. Terima kasih kepadamu, kawan, kalau tanpa sengaja kau mampir ke lamanku untuk kawanku yang kusebut di atas itu.

Kemudian, aku bermain di sebuah kantor penerbitan. Cukup lama. Padahal kawan-kawanku sudah menunggu di tempat lain. Kuundur saja janji dengan kawanku itu sampai pukul sembilan malam barulah kami bertemu. Sudah cukup lama aku tidak bermain di sana sampai larut malam.

Aku tiba sekitar pukul sebelas siang. Kabarnya, akan ada penulis yang menandatangani bukunya bertepatan dengan kedatanganku. Setibanya, aku lebih cenderung bermain-main dengan buku-buku, bacaan-bacaan yang tergeletak begitu saja. Aku tak tahu bagaimana menyebut 'kerja' dengan sesuatu yang kusukai. Bagiku, bekerja dengan apa yang kusenangi bukan lagi sebuah beban, tetapi sebagai wahana bermain.

"Kapan novel lo?"

Pertanyaan itu lahir dari seorang editor di balik bertumpuk-tumpuk buku bersampul hitam. Glek! Pertanyaan itu pernah lahir di awal Januari tahun lalu. Terasa deja vu. Benar saja, aku belum pernah menuliskan novel. Hanya cerpen, sajak, atau sekadar esai yang dipesan.

"Gue yakin lo ada interest ke sana."

Ya, aku mengangguk sembari tersenyum. Aku tidak dapat memungkirinya. Dengan sebuah pertanyaan,"dari mana aku memulai?" dan jawabannya adalah "lo tulis aja yang sesuai dengan lo sebagai permulaan."

Ah, baiklah! Sebuah pelajaran, menarik!

"Deadline-nya dong, Kak."

"Karena pertama kali, tiga bulan!"

Kusambut lagi kata-katanya dengan tawa. Tiga bulan! Glek! Tapi tak ada salahnya mencoba kalau benar-benar sebuah manuskrip pertama ditulis dalam tiga bulan. Mencari ide, merawinya, mengejawantahkannya, kemudian mengirimkannya sebagai pelunasan utang. Manis!

Ya, sedikit aku ingin bercerita. Sesungguhnya aku pernah mencoba menulis novel, tetapi karena satu dan lain hal, novel itu kandas di tengah jalan. Ya, lenyap begitu saja.

Masih asri dan hijau, begitu ketika aku menengokkan kepalaku ke halaman belakang kantor redaksi ini. Terngiang pertama kali saat aku mendapat panggilan dari kantor ini. Satu-satunya yang paling muda! Matilah aku saat itu setelah aku tahu satu-satunya manusia yang menyandang gelar SMA. Aku duduk di tengah. Kiriku saat itu adalah laki-laki yang berjaket BEM UI. Seingatku ia adalah seorang mahasiswa Sastra Korea. Digenggamannya ada buku Negeri 5 Menara dari A. Fuadi sebagai caranya menghabiskan waktu untuk menunggu waktu wawancara. Di sebelah kanan, seorang lelaki pula. Kurasa ia adalah mahasiswa juga. Dihabiskannya waktu menunggu dengan mendengarkan musik sembari tidur.

Awalnya aku hanya iseng. Iseng mengirimkan lamaran sebagai pengulas pertama naskah mana yang siap naik. Kupikir merekalah yang sudah menyandang gelar mahasiswa yang bakal diterima. Sedangkan aku? Mari tertawa! Dan di sore menjelang akhir pekan, aku menerima telepon dari editor yang kuceritakan di atas itu dua tahun yang lalu. Saat itu, baru saja aku di atas kendaraan, hendak pulang ke rumah setelah menyelesaikan rutinitas.

"Masih kosong di hari Sabtu?"

Kuiyakan saja. Memang waktu itu aku sedang kosong di akhir pekan. Tidak sesibuk sekarang dengan berbagai rutinitas yang ada. Dan esoknya adalah kali kedua aku datang ke kantor itu. Bertemu dengan editor-editor lain. Kelak kuceritakan lebih banyak lagi tentang pertemuan-pertemuan yang sudah-sudah.

Aku memilih untuk menyelesaikan apa yang harusnya kukerjakan di hari itu di balik kubikel setelah membantu seorang penulis menandatangani bukunya tersebut. Kemudian bercakap-cakap banyak hal sampai pukul tujuh malam. Kemudian aku pun pamit.

I yang baik,

Masih ingat bukan ketika aku menceritakan bahwa aku hendak menghabiskan musim penghujan di Yogyakarta? Tetiba kuurungkan karena sebuah telepon datang dan menawarkan sebuah pertemuan. Kutunda lagi dan lagi perjalanan menuju ke sana. Kupilih menghabiskan liburanku di ibukota saja. Bertemu dengan kawan-kawan lama. Yang penting aku berjalan-jalan, entah dengan siapa saja dan ke mana saja.

Mungkin perjalananku adalah perjalanan sederhana di mana setiap orang bisa saja menikmatinya, menjalaninya. Tapi itulah aku. Lebih memilih untuk bercerita seperti ini. Berbagi kepadamu apa yang hendak kubagikan. Cukup lama bukan kamu menunggu cerita tentang kunjunganku semacam ini? Dan inilah yang dapat kubagikan kepadamu.

Kupikir perjalanan bukanlah ke mana kita harus pergi, berlomba siapa yang sampai dahulu di tempat yang paling jauh, berapa banyak jejak langkah yang kita tinggalkan. Bagiku perjalanan adalah memaknai setiap segmen rutinitas dengan sederhana.

Itu dulu ceritaku. Kalau cukup banyak waktu, aku akan bercerita lebih banyak lagi. Tentunya di sisa liburanku, aku masih memiliki kesempatan untuk berkunjung ke mana pun. Kuceritakan kelak. Ingatkan aku biar aku tak letih-letihnya berbagi setiap langkah yang kupatrikan di mana saja kepadamu.

Semoga hari-harimu manis dan kau tak mengenal lelah untuk tetap tersenyum.

Tabik!



Peluk dari sahabatmu selalu,


Jakarta, 6 Januari 2011 | 11.02
A.A. - dalam sebuah inisial




I adalah tokoh fiktif yang diceritakan oleh A.A. Kamu, yang sebagai pembaca, bebas menerjemahkan sosok I seperti kehendakmu. Semoga pertanyaan siapa I terjawab dan tak perlu kamu menduga-duga ia laki-laki mana lagi atau perempuan yang macam apa. Kamu bebas menjelmakan I sebagai apa saja. ~ Tukang Tulis.

15 komentar: