Jumat, 20 Januari 2012

Mari Menyeleksi Kritik

Satu hal yang tidak dapat dipungkiri dari seluruh karya yang dihasilkan dan dipublikasikan secara umum di dunia ini adalah kritik. Kritik menjadi sebuah senjata bagi pembaca, penonton, atau pula pendengar untuk melampiaskan kekecewaan mereka terhadap apa yang mereka baca, mereka tonoton, atau pula mereka dengar. Kritik adalah tanggapan yang paling nyata terhadap karya yang dipublikasikan dan menjadikan sebuah pertimbangan atas baik-buruknya sebuah karya.

Tapi tidak semua orang bisa menyampaikan kritik dengan baik dan bijaksana. Ditambah lagi bila yang lahir adalah kritik yang keras, kritik yang lebih bernada emosional, atau kritik yang benar-benar mencela terhadap karya dan proses kreatif kita. Sayangnya, semua kritik yang ada harus diterima dengan berbagai cara yang mampu kita sikapi.

Yang menjadi pertanyaannya kini: apakah semua kritik tersebut harus dikelola?

Bila pertanyaan tersebut datang kepada saya, maka saya akan menjawab tidak.

Bagi saya, kritik tidaklah harus seluruhnya dikelola untuk karya yang akan datang meskipun wajib diterima bagi seluruh karya. Anggap saja itu sebagai masukan yang baik walau dengan cara yang tidak selamanya baik. Untuk menyikapi kritik tersebut, maka saya selalu memberikan alternatif bagi diri saya sebagai cara efisiensi terhadap karya mendatang: menyeleksi kritik.

Ada lima poin yang saya tawarkan untuk diri saya sendiri ketika sebuah kritik sudah masuk dan harus saya terima. Menerima kritik dengan lapang dada memang sebuah cara yang benar, tetapi menyeleksi kritik -bagi saya- adalah cara yang benar untuk menebus perbaikan terhadap karya saya. Lima poin tersebut adalah isi dari kritik, sasaran kritik, cara mengkritik, selera sang kritikus, dan saran yang diberikan.

Isi dari kritik selalu saya cantumkan sebagai nomor wahid untuk menelusuri di mana letak kesalahan atau kelemahan karya saya. Bila lahir dua-tiga kritik dengan isi yang serupa, tentulah itu bukan soal selera lagi yang bicara, melainkan objektivitas yang sudah menilai. Apalagi yang disampaikannya adalah pada titik kelemahan yang sama. Seringkali saya menuntut tiga sampai lima teman saya yang saya anggap baik untuk memberikan kritik terhadap apa yang saya tuliskan. Dengan syarat yang saya tanamkan bagi diri saya sendiri yaitu isi kritik yang sudah bernada sama pada titik kesalahan yang sama, di sanalah kritik memang harus dikelola.

Sasaran kritik menjadi poin berikutnya yang bagi saya cukup penting. Mengapa? Untuk saya, ada dua sasaran terhadap suatu kritik itu sendiri: yang pertama adalah untuk perbaikan karya dengan iktikad yang baik, kedua adalah untuk menjatuhkan karya serta orang yang membuat karya tersebut dengan iktikad yang belum tentulah baik. Maka, alternatif berikutnya bagi diri saya adalah saya melihat sasaran kritik tersebut ke arah mana.

Dari mana saya mengetahui sasaran kritik tersebut mengarah untuk ke arah yang lebih baik atau hanya sekadar keinginan untuk menjatuhkan? Dari cara menyampaikannya dan isi dari kritik tersebut. Bila isi dari kritik hanya membandingkan seluruh sisi negatif saja dan dengan kata-kata yang ketus, tentu menjadi tanda yang harus dipikirkan kembali apakah kritik tersebut untuk kebaikan atau sebaliknya.

Cara mengkritik bagi setiap orang tentulah berbeda-beda. Bila Anda menerima kritik dengan kata-kata hujatan yang membanjir, terima saja dan silakan memilih jalan mana yang akan Anda tempuh: abaikan atau sikapi dengan cara yang sopan. Maka dengan cara yang sopan akan membuat sang kritikus pun bisa mati daya dengan cara kritiknya yang tidaklah baik tersebut. Kritik dengan banjir akan hujatan tidaklah selalu bernada positif, malah bisa sebaliknya. Boleh saja pembaca kecewa dengan apa yang dibacanya, boleh pula dilampiaskan di dalam kritik, tetapi tak perlu ada kata umpatan di dalamnya. Karena umpatan bukanlah menghasilkan perbaikan, tidak menunjukkan kesalahan, dan apakah benar bisa memberikan saran yang sesungguhnya.

Yang menjadi bagian yang penting bagi saya adalah selera sang kritikus. Mari berandai-andai saja untuk hal ini. Anggaplah Kritikus A merupakan seorang yang suka membaca novel teenlit. Ketika saya menyodorkan naskah novel yang bergenre perang dan sejarah, bisa saja kritik yang diberikan bukanlah kritik yang sesungguhnya. Maka, ketepatan terhadap seseorang yang mampu untuk memberikan kritik adalah nilai yang tepat. Jangan sampai kritik yang diberikan malah menjatuhkan karya Anda karena faktor selera yang berbeda. Nilailah karya tersebut kepada orang yang tepat.

Di bagian yang saya anggap perlu adalah saran. Kritik yang baik tentunya akan disertakan saran. Gunanya untuk apa? Sangatlah besar kegunaannya. Lihat saja berapa banyak karya besar yang lahir karena kritik dan saran. Sungguh tepatlah jika saran dapat dicantumkan.

Berdasarkan poin-poin tersebut saya menyeleksi kritik yang akan saya terima. Cukuplah berterima kasih kepada kritikus dengan niat apa pun ia sudah memberikan apresiasi terhadap karya kita. Tetapi untuk mengelolanya, seleksilah kritik mana yang tepat untuk karya Anda, karena karya Anda (yang saya selalu percaya) tidak melulu membutuhkan kritik atas dasar selera. Seleksilah kritik mana yang layak dan tidak, itu cukup.

Nah, terimalah kritik yang ada dengan santun meski melukai Anda dan karya Anda, tetapi seleksilah kritik tersebut apakah Anda aminkan atau tidak. Dengan demikian, kritik pun tepat pada sasaran guna perbaikan untuk karya berikutnya.

Selamat berkarya.



Salam dari tukang kritik yang pasif,


Bandung, 20 Januari 2012 | 17.39
A.A. - dalam sebuah inisial

5 komentar:

  1. Mantabs.

    SABUDI (Sastra budaya indonesia)
    mari kita jaga bersama!

    BalasHapus
  2. hehe.. iya juga, ya? kadang kalau ditelan mentah-mentah gak dimasak dulu malah menghambat proses selanjutnya.

    BalasHapus
  3. betul. kalau kritiknya nggak membangun, mending diabaikan. tapi bukan berarti harus selalu sensi sama si pemberi kritik yang caranya nggak sopan. tetaplah diingat apa katanya. sebab, bukan siapa yang mengkritik, tapi apa isi kritikannya :)

    BalasHapus
  4. Kritik singkong lebih enak daripada kritik pisang soalnya soalnya rasa pisang lebih pas kalau dibikin pisang goreng... Itu kritik yang pas gak, pon? Hihihi

    BalasHapus