Senin, 06 Juli 2009

Rectoverso

Rating:★★★
Category:Books
Genre: Literature & Fiction
Author:Dewi Lestari
Nyaris semua orang mengenal Dewi "Dee" Lestari adalah seorang penulis Karena bakat tarik suara yang lebih dahulu muncul di permukaan kemudian lahirlah Supernova yang menjadi cikal bakal kelahirannya sebagai seorang penulis.

Rectoverso yang dikatakan oleh Dee -nama pena Dewi Lestari- merupakan konsep sederhana yang memang sudah dicita-citakannya sewaktu dia menuliskan Supernova (novel fantasi pertamanya).

Sebelas cerpen dan sebelas lagu yang tercipta. Sebelas lagu yang merupakan hasil aransemen ulang dari lagu yang sudah pernah dia ciptakan sebelum Rectoverso ini lahir. Dengan sentuhan Andi Rianto, lagu - lagu menjadi terasa sesuatu yang lebih.

Namun, saya tidak membahas musik Rectoverso. Melainkan bukunya. Sebelas cerpen Dee bukanlah sesuatu yang asing untuk dibaca. Sebelum Rectoverso ini lahir, Dee juga telah menerbitkan kumpulan cerpennya, Filosofi Kopi, yang dibalut juga dengan beberapa prosanya.

Di dalam Rectoverso, Dee memang lebih menukik dalam gaya penceritaan dan caranya dalam menceritakan sesuatu yang lebih.

Sebelum membaca cerpennya, kita disuguhi dengan lirik lagu yang judulnya juga menjadi judul cerpennya. Dengan kata lain, antara lirik dan cerpen berkesinambungan. Semua cerita yang dihadirkan keseluruhannya berjalan seperti apa yang dia tulis di lirik lagunya.

Beberapa cerpen yang benar-benar menyentuh adalah "Malaikat Juga Tahu", "Peluk", "Firasat", dan "Tidur". Yang menurut versi saya tidak menarik adalah "Aku Ada", "Cicak di Dinding", dan "Back To Heaven's Light".

Di dalam cerpen "Malaikat Juga Tahu", Dee menceritakan sesuatu yang lebih dengan pendeskripsian yang kuat dan tidak terkesan terbata-bata. Juga topik yang diangkat lebih mengesankan bahwa Dee benar-benar berempati dengan tokoh yang dia ciptakan. Dengan berbagai karakter dan "keanehan yang ada".

Peluk. Mungkin topik yang diangkat oleh Dee memang tak pernaj jauh dari yang namanya cinta. Bahkan Dee sendiri mengakuinya. Di dalam cerpennya "Peluk", dia berani mengeksplorasi dirinya sendiri secara lebih mendalam dalam kisah-kisah percintaan yang dikemas lebih menarik. Walau topiknya tetaplah patah hati, dia pandai mengolah kata dan sifat keakuannya lebih dalam.

Cerpennya "Firasat" dan "Tidur" membebaskan dirinya dalam berkata-kata secara fokus dan lebih. Metafora dan puitisnya lebih terlihat kuat. Satu kalimat yang menarik yang saya kutip dari "Firasat".
"Saat kepala kita sibuk berencana dan melamun tak karuan, hati kita bicara dengan alam, dengan malaikat, dengan hati-hati lain. Petunjuk dan tuntunan hidup tersedia di mana-mana. Hanya saja kita tidak terlatih untuk membacanya"


Untuk cerpennya "Aku Ada", "Cicak di Dinding", dan "Back To Heaven's Light", Dee memang memberikan suatu nuansa baru. Gaya penceritaan yang agak lain dari Filosofi Kopi. Namun penyimpangan yang seperti itu terlalu melebar, maka kata-kata yang harusnya berkesan malah menjadi bertele-tele dan mengakibatkan menjadi tak ada kesan yang ingin tersuratkan.

Keeleganan buku terletak karena hard cover, foto-foto yang terselip, lembar-lembar hijau dan kuning yang menjadi warna dasar dari Rectoverso ini menjadi suatu nilai lebih untuk pembaca. Ditambah pula dengan tata letak kata yang cukup menarik. (Apalagi ditambah lagu, duh!)

Rasanya walau saya sudah membacanya empat bulan lalu dan baru meresensinya sekarang, ini adalah warna baru dari sastra Indonesia yang cukup menarik. Sebuah metamorfosa yang nyaris sempurna.

19 komentar:

  1. wah...tak perlu baca sepertinya. sudah dilakukan dg sempurna oleh seorang Av :)

    BalasHapus
  2. Hahaha... Sempurna apanya toh, Mas Suga?

    BalasHapus
  3. penghayatan bacaannya...:)
    plus resensinya...
    cuman, (sekedar saran), akan lebih bagus kl ditambahi dengan karya pembanding dr pengarang wanita lain misalnya..(kl ada)....

    BalasHapus
  4. Kan sudah kubandingkan dengan karyanya sebelum Rectoverso ini, Filosofi Kopi.

    BalasHapus
  5. malaikat jg tau..........
    siapa yg jd juaranya
    wkwkwkwkwkwk

    BalasHapus
  6. Huahahahaha... Cerpennya lumayanlah untuk penilaian seorang yang susah melankolis seperti akyuh... :P

    BalasHapus
  7. Paling bentar lagi hujan
    Wakakakak...

    BalasHapus
  8. haduh, maaf...nggak tahu kl filosofi kopi itu karya dee sebelumnya...
    hmmm..bukan penggemarnya sih....(dan jujur saja....saya juga sangat jarang baca2 karya novelis/cerpenis anak negeri)

    BalasHapus
  9. Biasanya barang luar ya, Mas Suga? Hehehe...

    BalasHapus
  10. review menarik , kawan..
    ingat buku ini saya jadi teringat seseorang yang memberinya dengan bubuhan tanda tangan...eheumm.

    BalasHapus
  11. Ahaha... Makasih sekali, kawan! Tunggu giliran bukumu yang kutulis di sini
    Berbahagialah dirimu, Kang Jenk! Berbahagialah mendapatkan tanda tangannya... Heuehuehue...

    BalasHapus
  12. ini bakal menarik nampaknya..:)

    BalasHapus
  13. Salam kenal.. Saya vildri Is fajar saya baru tau novel ini stelah diangkat ke layar lebar.. Sya tertarik buat beli novelnya.. Ap masih ada yg jual ya? Tlong infonya tksh twitter: @vildri_isfajar
    fb : vildri isfajar

    BalasHapus