Sabtu, 08 November 2008

Menjadi "Tuhan" Atas Manusia Lain

Yang perlu diketahui adalah tulisan ini hanyalah sekedar tulisan refleksi, bukan untuk mendukung ataupun menolak hukuman mati.

Pagi ini, ketika menjalani rutinitas saya ketika hari libur -menyalakan komputer dan mulai berjalan - jalan di dunia maya-, saya tertarik dengan satu tulisan singkat yang ada di inbox Multiply saya. Cukup singkat. Tentang kematian Amrozi dan kawan - kawan. Begitulah kurang lebih isinya yang saya tangkap. Kemudian secara iseng, saya mulai mencari kebenaran atas berita itu. Saya gali lebih informatif, ternyata hasilnya sama saja, saya mendapatkan isinya sama saja, Amrozi dkk telah dihukum mati.

Pertentangan hukuman mati di Indonesia sebenarnya telah ada sejak hukuman mati dan penjadwalan hukuman mati untuk Fabianus Tibo (Kasus Poso) -yang menurut penilaian saya- ditentukan secara tergesa-gesa. Ada mereka yang menyatakan boleh hukuman mati diberlakukan, tetapi menurut agama ataupun hal - hal lainnya, tidak dibenarkan hukuman mati diberlakukan.

Saya tidak membahas tentang pertentangan hukuman mati atau hal apapun. Seperti judul di atas, itulah yang akan saya bahas hari ini. Sebuah metafora pagi yang saya terima. Entah itu adalah sebuah kebenaran ataupun hanyalah sebuah tipuan belaka untuk mengelabui rakyat. Lebih tepatnya untuk membuat rakyat senang ataupun bangga ataupun hal - hal lainnya yang sebenarnya ingin dirasakan.

Hukuman mati. Mengapa bisa hukuman mati diterapkan? Pada awalnya hukuman mati diciptakan untuk membuat efek jera bagi pembunuhan. Benarkah? Saya rasa salah. Toh, kalo seseorang telah dihukum mati, siapa lagi yang akan jera? Ada juga keluarganya yang meraung - raung sedih. Maka hukuman mati adalah bukanlah menjadi sebuah hukuman melainkan menimbulkan tindak pidana lainnya.

Ada beberapa macam hukuman mati (hukuman mati? Kata - kata yang salah, mengapa tidak menggunakan mencabut nyawa tersangka saja?) yang diberlakukan di seluruh dunia. Menurut Wikipedia, ada 6 macam hukuman mati. Pancung kepala, sengatan listrik, gantung, suntik mati, tembak, dan rajam. Dan katanya, hukuman suntik matilah yang pantas untuk menggantikan semuanya karena hukuman lainnya adalah hukuman yang tidak berkeprimanusiaan. Sejenak saya berpikir, berkeprimanusiaan? Benarkah? Apakah membunuh orang dengan menyuntik mati itu dianggap berkeprimanusiaan? Saya pikir sama saja. Membunuh orang dengan cara apapun tetaplah sesuatu yang tidak berkeprimanusiaan.

Saya ingin tahu, menurut anda, membunuh seseorang itu tindakan menghukum mati untuk seseorang bukan? Misalnya saja, si A dendam pada si B karena si B telah menipu si A. Lalu si A membunuh si B. Termasuk hukuman mati bukan?

Judul tulisan saya hari ini, menjadi TUHAN atas manusia lain apa sangkut pautnya dengan hukuman mati? Menurut orang banyak (dan teori yang ditetapkan oleh orang yang lebih dewasa ketika saya kecil), yang berhak menentukan mati adalah TUHAN. Tuhan yang berhak memberikan nyawa dan mencabut nyawa seseorang.

Namun bagaimana dengan hukuman mati? Dalam pikiran saya, hal itu adalah seseorang manusia telah menjadi TUHAN atas manusia lainnya. Mereka yang menentukan jadwal kematian seseorang. Apapun alasan mereka untuk menetapkan seseorang harus dihukum mati. Mulai dari hukum atau seseorang itu memang harus mati karena kalo dia tetap hidup, teruslah dunia akan dihancurkannya sampai memang takdirnya harus mati demikian adanya.

Menjadi TUHAN atas manusia lain. Acap kali kita tak pernah berpikir, dengan mengeksekusi nyawa seseorang, kitapun telah menyamakan diri kita dengan TUHAN secara tidak langsung. Dan Indonesia telah menjadi TUHAN atas rakyat mereka yang ditetapkan hukuman mati.

Di Indonesia, sebenarnya sudah ditetapkan tidak boleh diberlakukannya hukuman mati untuk seseorang. Tercantum dalam UUD 1945 pada pasal 28A

Setiap orang berhak untuk hidup serta mempertahankan hidup dan kehidupannya.

Artinya mereka yang menentukan hukuman mati telah melanggar UUD 1945 pasal 28A dan telah menjadi TUHAN atas manusia lainnya.

Jadi, bagaimana dengan ketetapan hukuman mati? Terus dijalanikah? Atau hari ini untuk yang terakhir? Itu semua tergantung kebijakan hukum atau biarkan TUHAN yang SEBENARNYA yang menentukan kematian.


>>>> Catatan pagi ini...
>>>>> 9 November 2008 -08.49
>>>>>>Aveline Agrippina Tando

***

Tulisan ini tercantum di sini

97 komentar:

  1. mmm..hukuman mati ya? semua orang punya persepsi berbeda akan hal ini. ini hanya sekilas tentang cara aja av.

    BalasHapus
  2. Ya begitulah Kang Jenggot, kalo mau bahas... kita bahas sampe dower juga kayaknya tetep saja mereka punya sejuta alasan untuk menjatuhkan hukuman mati.

    BalasHapus
  3. salah dan benar kita juga bingung.
    salah karena ini akan menambah dendam anaknya. liat pas anaknya muchlas berucap "saya akan meneruskan perjuangan abi". dan daerah yang menjadi tempatnya..mereka akan tetap berjuang karena ketidakpuasan akan hal ini.

    benar karena dalam hukum islam juga harusnya demikian.

    yang salah disini mempersepsikan bagaimana arti zihad itu sendiri. ini bukan zamannya.
    saya ingat ketika nenek bercerita. "zihad itu adalah membela anak istrimu dan menjadikannya lalu menempatkan tempat terindahnya".

    BalasHapus
  4. Justru.. dihukumnya Amrozi dkk dengan hukuman mati.... maka kemenangan ada pada Amrozi dkk... karena atas keyakinan bahwa apa yang telah dilakukannya adalah jihat fi sabilillah... Amrozi dkk merasa menjadi syuhada... Amrozi dkk merasa mati terhormat....maaf saya hanya melihat dr sudut pandang pemikiran picik saya sebagai manusia biasa...

    BalasHapus
  5. Yg bikin kita susah membahas boleh tidaknya sebenarnya bagaimana atau dimana kita akan menempatkan masalah ini, wadahnya dimana? Jk ditempatkan pd ruang dan waktu yg disebut "Indonesia", semuanya jd kabur.
    Dlm kontek ruang dan waktu "Indonesia" itu, semua jd bola bekel yg terbuat dr karet, "boleh" bisa mjd "tidak boleh" dan sebaliknya.

    Pembunuhan atas satu manusia oleh manusia lainnya, saya akan menentangnya. Namun negara bila akan menetapkan hukum positif bhw "hukuman mati" itu "boleh", saya setuju, sepanjang aturannya jelas dan bisa diterapkan pd banyak sisi, tdk dlm kontek spt kasus "poso", atau "bom bali" saja, juga berlakukan pd yg namanya "tindak korupsi" alias para koruptor itu.

    Mereka ini jelas2 menyakiti hati rakyat, kenapa hanya hukuman dlm rentang tahun saja? Sementara uang yg mereka korupsi itu bisa mensejahterakan berjuta rakyat miskin dlm waktu bertahun2 kedepannya nanti.

    Pelaku korupsi alias koruptor, dan para pemakan uang rakyat banyak, apalagi jk mereka adl para pejabat negara, baik eksekutif, legislatif dan yudikatif, ketika semua bukti menyatakan positif "ia" melakukan tindakan itu, tak perlu berlama-lama, langsung eksekusi saja, mati, mati dan mati.

    Korupsi dibawah 1 milyar, hukum seumur hidup tanpa grasi dan amnesti tahunan, di atas 1 milyar, eksekusi. Saya yakin, negara ini akan segera bersih dan berwibawa.

    BalasHapus
  6. hukuman mati terhadap pelaku bom bali itu, sebenarnya memang harus dilakukan karena mereka itu memang memiliki Tuhan sendiri yang mendukung tindakannya membunuh orang lain tanpa pernah ada hubungan emosi dengannya, kalau tidak dihukum mati mereka tidak bisa bertemu dengan Tuhannya. Karena kalau dibiarkan mati seperti biasa, diragukan mereka bisa bertemu dengan Tuhannya, huehehehe............ Tuhan dia ma Tuhan kita beda, Av..........

    BalasHapus
  7. apaun alasannya, mereka sudah mempertanggung jawabkan perbuatan mereka...terlepas darii pro and kontra.....itu menunjukkan kita masih punya hukum sebagai aturan......mungkin begitu. Ini sih pendapat ku aja

    BalasHapus
  8. Tulisan yang ini terlalu berat, sakit kepala jadinya...

    BalasHapus
  9. Selamat datang di negara saling mendendam....
    Toh kalo namanya teroris dalam bentuk apapaun namanya, tetaplah dia teroris... baik mengatasnamankan kebenaran ataupun kemerdekaan, karena caranya itu yang salah...

    BalasHapus
  10. hati-hati av...saya termasuk orang pecinta jenggot hehhee

    BalasHapus
  11. Yap... saya setuju dengan pernyataan ini. Bagaimana pada awalnya kita dimulai pada diri kita sendiri. Berbuat kebenaran untuk orang sekitar, barulah kita berani terdepan untuk memperluas kebenaran dengan cara yang benar, bukan membunuh orang lain yang sebenarnya tidak terlibat apapun.

    BalasHapus
  12. berbuatlah baik mulai dari kepala Anda.

    semua itu harus di kuras otaknya dulu...

    asik si av setuju dengan pernyataan sayah..nanti dikasih permen ya...

    BalasHapus
  13. Semua orang memiliki pandangan berbeda-beda tentang semua hal, itu wajar, Om Roeb. Dengan dihukum matinya Amrozi, bagaimana dengan mereka yang masih selamat dengan kejadian itu. Ikut mendoakan arwahnya atau malah mensyukuri atas kematian mereka. Baik dari Amrozi sendiri merasa telah merasakan kemenangan itu pula atas selesainya pengeboman itu. Dari sisi saya, selama di pengadilan ataupun penjara, Imam Samudra tetap merasa bahwa mereka mengebom Bali adalah sebuah tindakan yang benar... (Padahal itu adalah cara yang salah dari sisi saya)

    BalasHapus
  14. Perlu perlakuan yang sama dengan kebijakan di Malysia. Barangsiapa yang berbuat korupsi, bersiaplah tangannya dipotong. Perlukah sejauh itu kita menghukum mati seseorang yang melakukan korupsi?

    BalasHapus
  15. Kepercayaan itu mereka salahgunakan, itu sebenarnya...

    BalasHapus
  16. kata roebyanto : maaf saya hanya melihat dr sudut pandang pemikiran picik saya sebagai manusia biasa...
    kata avline : (Padahal itu adalah cara yang salah dari sisi saya)

    kata saya : semua punya persepsi berbeda namun tujuannya sama. jadi kita fokuskan dulu apa arti zihad menurut kepala kita sendiri.

    BalasHapus
  17. Yang masih membuat saya heran dengan negara ini adalah ketika seseorang melakukan tindak pidana korupsi, mereka hanya dipenjara 5 tahun. Ketika seorang rakyat kecil untuk makan, mereka mengambil dompet seorang ibu, mereka dipenjara bisa sampai 10 tahun. Kadang apakah itu masuk akal? Uang yang berjumlah sedikit, hukuman lebih banyak. Uang yang berjumlah banyak, hukuman sedikit.

    BalasHapus
  18. Seandainya ini diberlakukan, Om Unggul. Toh kalo sebaliknya yang diberlakukan, saya mah mendingan korupsi dibanding maling. Hahaha...

    BalasHapus
  19. Disuruh insaf dulu, Tante Birru. Biar dapet posisi yang sama. (Seandainya Tuhan berkenan memberikan tempat yang seharusnya)

    BalasHapus
  20. Ya... setiap negara punya aturan. Dan setiap tindakan akan menimbulkan akibat. Tinggal bagaimana kita menerima akibat dari buah tindakan yang kita lakukan itu saja, Mas.

    BalasHapus
  21. Komen lain daripada yang lain...
    Hahahaha =))

    BalasHapus
  22. Sudah berhasil memotong jenggot dengan kacamata, Kang?

    BalasHapus
  23. lagian pagi2 nulis yang susah2
    kan otak gue masih sederhana...

    BalasHapus
  24. Seperti kata saya, di awal tadi. Semua orang memiliki pandangan berbeda-beda tentang semua hal, itu wajar, Om Roeb

    BalasHapus
  25. Makanya minum multivitamin... ahaahaha...

    BalasHapus
  26. Perlu dan idealnya memang begitu... Malaysia, China adl contoh yang bagus.
    Tp tetap terasa tanggung jk hanya sekedar potong tangan...
    Hilangkan sang pelaku dr peredaran kehidupan, lebih pas rasanya, krn mereka telah mencuri uang dr begitu banyak orang yang notabene hanyalah rakyat kecil... melukai hati banyak orang susah...

    BalasHapus
  27. Mereka salah gunakan dan mereka manfaatkan hanya untuk kepentingan pribadi dan keluarganya, kroninya, temannya... itu lengkapnya....
    :-))

    BalasHapus
  28. belum susah euy...malah anu saya semakin membesar. jenggotnya tampak menjadi besar kalo diliat pake kacamata...

    BalasHapus
  29. Seringkali para hakim berpikir, kalo rakyat susah, dipenjara yg terjamin keamanannya, kesehatannya, makan minumnya, dihukum 10 tahun msh imbanglah jk dibandingkan dgn hukuman para koruptor yg hanya bbrp tahun saja itu. Pengadilan berpikir, para koruptor itu kan biasa hidup enak, semua fasilitas kemewahan mereka punya, jd walau hanya dihukum bbrp tahun saja, pasti rasanya berpuluh2 tahun, alias imbang dgn hukuman yg lama bagi orang kecil.

    Sungguh cara berpikir yang naif... pasti ini keluar dr hasil pemikiran otak-otak yang peyang semuanya...

    BalasHapus
  30. Betul ave... bisa jadi spt itu... kita mati untuk korupsi bermilyar-milyar uang, setelah itu mati, namun anak istri tujuh turunan hidup terjamin dr uang korupsi itu... Rasanya, perlu juga mengumumkan daftar nama anak dan istri sebelum pelaksanaan hukuman mati itu dilaksanakan ya?

    Nah, bukankan ini juga menunjukkan kelayakan hukuman mati bagi mereka? Tak cukup hanya sekedar 3-5 tahun saja...

    BalasHapus
  31. Korupsi? Sebenarnya anak kecil juga bisa korupsi lho, Om Unggul. Namun nilainya tidak sebesar orang dewasa. Mungkin ketika mereka disuruh ke warung, lalu dengan sengaja membeli permen yang sebenarnya tidak disuruh oleh orangtuanya. Itu mulai dari korupsi juga.

    Atau dari rakyat kecil. Apakah tukang parkir yang mengatasnamakan oknum pemerintah 100% uang yang kita bayarkan masuk ke kas negara? Tidak... sebagian masuk ke kantong mereka. Saya sering melihat korupsi yang sebenarnya kecil tetapi tetaplah awal dari sebuah hal yang kecil lalu menjadi besar.

    BalasHapus
  32. Ya, KKN yang seharusnya diberantas sampai akarnya...

    BalasHapus
  33. Jadi kembali pake silet dong?
    Hahahaha....

    BalasHapus
  34. Hahaha... ya semua bisa dilihat konteknyalah... kita fokuskan dulu pada para pejabat di 3 pilar negara itu dulu... setara dengan mereka adl para pengusaha...

    Untuk urusan tukang parkir, pegawai kelurahan, gunakan dulu pasal2 maling ayam lah...

    BalasHapus
  35. Lho kok aku Av... aku kan dah gak comment hehehehe...

    BalasHapus
  36. Kayaknya kalo saya amati setiap orang yang keluar dari penjara, berjenggot tebal, semakin kurus, dan kadang berpenyakitan. Apakah itu dipenjara menjadi terjamin? Kayaknya semua perlakuan itu harus berimbang dengan apa yang dilakukan oleh seseorang...
    Hukum sebab akibat, itulah hukum yang netral yang seharusnya diberlakukan...

    BalasHapus
  37. Insaf itu datangnya tidak pada semua manusia, tapi datangnya pada manusia yang mau menyadari kesalahannya. Biasanya buat manusia yang membatasi pikirannya dengan pemahamannya sendiri itu ya hanya sebatas itu saja pemahamannya dan tidak akan ada cahaya yang menerangkan gelapnya, karena dia memang tidak ingin ada cahaya yang datang padanya.

    BalasHapus
  38. Salah satu contohnya yang masalahnya masih berbelit - belit adalah mantan penguasa orde baru...

    BalasHapus
  39. Kan kita mencontoh dari yang tinggi...
    Mungkin kalo mereka yang terlibat PEMILU dan KORUPSI ikut masuk ke kantor KPK, tentulah... tahun 2009 pesta rakyat akan sepi sekali karena akan banyak orang memutuskan untuk membela si putih...

    BalasHapus
  40. Semua itu dimulai pada diri sendiri, memotivasi diri untuk berubah dan sesuai yang benar. Atau tetap ikut arus kesesatan manusia yang sesat. Itu saja...

    BalasHapus
  41. apakah mereke (3 orang itu) juga berhak menjadi Tuhan atas manusia lain???

    itu pertanyaan awalnya, jangan setiap akibat dari satu tindakan dianggap satu dendam. Ini konsekuensi pada tataran bernegara - hidup berkomunal yang telah menyepakati aturan.

    Jika membawa UUD 45...3orang itulah yang pertama menentang UUD45 tersebut..lalu apa yang mesti dilakukan....

    ini sama halnya dengan polemik : mana duluan ayam sama telur :: ..tak akan selesai

    BalasHapus
  42. Itu yang saya pertanyakan di alinea ke 6, Om Damuh...
    Saya ingin tahu, menurut anda, membunuh seseorang itu tindakan menghukum mati untuk seseorang bukan? Misalnya saja, si A dendam pada si B karena si B telah menipu si A. Lalu si A membunuh si B. Termasuk hukuman mati bukan?

    Berhakkah seseorang menentukan kematian seseorang yang lain?

    BalasHapus
  43. Tercatat di seluruh dunia, baru ada sekitar 64 negara yang memberlakukan hukuman mati.
    Pantaskah hukuman mati disebut hukuman? Itu juga salah satu pertanyaan saya, Om Damuh...

    BalasHapus
  44. Mereka telah menyalahartikan apa arti zihad yang yang sebenarnya... Mereka menganggap orang di Bali kebanyakan orang Amerika. Toh, memang semua orang Amerika itu TERORIS? Bahkan calon presiden mereka saja (Barrack Obama), pernah dianggap teroris. Padahal mereka tidak berkaca pada diri mereka sendiri, bahwa mereka telah menjad teroris untuk diri dan bangsa mereka.

    BalasHapus
  45. Ini ada jawabannya, Om Damuh:
    Klo pertanyaannya : DULUAN TELUR APA AYAM? Jawabnya TELUR
    Klo pertanyaannya : DULUAN AYAM APA TELUR? Jawabnya AYAM

    *)Sekedar metafora saja, Om Damuh...

    BalasHapus
  46. kalau pertanyaannya "berhakkah??" jawabannya kelas tidak.

    Kalau kematian dijatuhkan atas dasar kesepakatan undang-undang atas akibat yang dilakukannya...om rasa bisa dibenarkan, kalau memang tak mau memberlakukan hukuman mati rubah aturan itu...baru kita berdebat lagi jika hukuman mati tetap dilaksanakan

    BalasHapus
  47. tergantung kesepakatan........jika disepakati demikian maka lakukan...jika tidak jangan paksakan..itusaja

    sebab bernegara adalah sebuah kesepakatan

    BalasHapus
  48. Artinya sama saja dong menjadi Tuhan atas manusia lain
    Setiap negara punya aturan dan hukum, termasuk Indonesia. Tinggal bagaimana dan sebijak apa hukum itu dijalani, itu yang nyantol di pikiran saya, Om Damuh...

    Damailah Indonesia... kenapa haris saling teror meneror? Kenapa harus perang? Kenapa harus mencari gara-gara kalo bisa damai?

    BalasHapus
  49. Demokrasi= dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat...

    Tapi sampai sekarang saya belum merasa negara ini memberikan status demokrasi 100%

    BalasHapus
  50. urun rembug sedikit.

    hukum memang tidak bisa di-universalkan; yang bisa di-universalkan adalah nurani. kalau kita merujuk kepada sebuah wilayah dan atau budaya maka akan ada penilaian "hukuman ini/itu sadis"; namun, jika kita kembali kepada perlunya penegakan nilai moral memang harus ada yang namanya HUKUM atau UU sebagai piranti untuk meluruskan koridor pranata sosial yang damai. hanya masyarakat yang sadar saja yang bisa hidup damai.

    sadar itu bisa sadar hukum (di masa Pak Harto ada acara Kadarkum=keluarga sadar hukum) atau sadar nurani. yang paling baik, benar dan indah adalah sadar nurani karena ukurannya bukan lagi apakah manusia takut pada manusia lain dan produk hukum melainkan manusia telah sadar bahwa diri dan orang lain di sekitarnya membutuhkan kehidupan damai tanpa rongrongan kericuhan dan kerusuhan.

    sebenarnya sangat klise: mulailah dari diri sendiri. menertibkan diri sendiri dari menepati janji mulia terkecil adalah sangat susah tapi insya Allah bisa kita lakukan.

    *panjang banget euy*

    BalasHapus
  51. lha belajarnya di tempat yang salah juga mungkin...

    BalasHapus
  52. Mainan teka teki dulu, Om...
    Kadang sampe berantem ngotot-ngototan jawabnya... retorika yang ajaib...

    BalasHapus
  53. Hukum yang universal kan hukum menurut TUHAN, bukan menurut manusia. Seperti kata manusia, ada dosa kecil ada dosa besar, memang darimana manusia tahu itu semua? Tuhan pernah biang seperti itukah?

    BalasHapus
  54. Hukum yang universal kan hukum menurut TUHAN, bukan menurut manusia. Seperti kata manusia, ada dosa kecil ada dosa besar, memang darimana manusia tahu itu semua? Tuhan pernah biang seperti itukah?

    BalasHapus
  55. hhmmm..jadi mikir...
    kl manusia hidup dihukum mati,
    lantas, manusia mati dihukumnya gimana? apa dihidupkan lagi?

    *maaf ini pemikiran arga, si anak kecil :D

    BalasHapus
  56. nah itu intinya...nyatanya av paham......
    sama dengan yang ada di kepala om...jika taruran yang disepakati demikian ya lakukan....
    bukan untuk menjadi Tuhan

    BalasHapus
  57. sedang dalam pembelajaran....

    tantangannya hanya satu..dapatkah kita sendiri masing-masing berdemokrasi

    BalasHapus
  58. Mengapa hukum dibuat? Karena manusia itu terlalu memandang apa yang ada di matanya adalah sebuah kebenaran. Ego. Itulah fungsi hukum sebenarnya dibuat. Tak perduli mau hukum sadar atau hukum nurani. Sebenarnya untuk apa kita belajar PMP, PPKn, sampai Kewarganegaraan, tetapi tetap saja menjadi manusia yang pembangkang?

    BalasHapus
  59. hakum berbeda karena yang membbuat adalah manusia yang memegang tata nilai yang berbeda pula yang biasanya didasarkan pada pengalaman sosial budaya dan alam mereka. sah-sah saja sebenarnya merumuskan suatu hukum asal tidak ada sedikitpun kepentingan pribadi maupun golongan. tapi itu kecil sekali kemungkinan karena manusia tak akan menjadi suci karena keunggulannya. bahkan aku sendiri meyakini bahwa selama masih ada manusia maka masih HARUS ada hukum. kalau tidak, hancur dah... semua mau main memang dhewe...

    kita belajar PMP, PPKN atau KWN itu hanya untuk memenuhi kurikulum saja. membangkang terhadap apa sih? hukum negara? hukum international/ hukum alam? atau hukum rimba? hukum, hukum, hukummmmm...

    dan, menurutku untuk membentuk manusia yang bisa baik, benar dan indah tanpa hukum hanya diperlukan satu cara saja: hidupkan nurani mereka. dan itu pekerjaan besar yang hanya bisa dilakukan oleh manusia yang telah sadar dalam artian yang sebenarnya. dan... nurani hanya bisa hidup jika manusia mau berusaha menghidupkannya. jika tak mau, ya tak bisa...

    mengingkari hati nurani jauh lebih berat daripada mengingkari hukum apapun.

    BalasHapus
  60. Wah, kayak kasusnya penguasa orba dong? Arga, menurutmu gimana?

    BalasHapus
  61. Yang sekarang saya harapkan adalah hukum yang adil dan bijak....

    BalasHapus
  62. Kalo negara tidak memberikan kita hak untuk berdemokrasi, bagaimana bisa kita berdemokrasi?

    BalasHapus
  63. Hahaha... itu semua kan karena kita sebagai manusia yang sebenarnya tak pernah bisa puas dengan apa yang kita lihat, dengar, rasakan dan apa yang kita dapatkan...
    Toh manusia tak ada yang sempurna...

    BalasHapus
  64. Mungkin pembekalan yang bisa dilencengkan

    BalasHapus
  65. Manusia kadang ingin mengikuti kata hati nuraninya tetapi mereka ragu apakah benar itu nurani mereka yang berbicara atau iblis yang berbicara...
    Maka mendengar kata nurani itu bukanlah hal mudah

    BalasHapus
  66. betul, betul, betul...

    setidaknya kita masih bisa percaya sama yang paling mendekati sempurna he he he...

    BalasHapus
  67. hukum dicipta untuk dilanggar, itu pelesetannya he he he...

    BalasHapus
  68. at least kita belajar mendengarkannya... ayo, ayo kita dengerin musik hati dan jiwa kita...

    BalasHapus
  69. aku cuma bisa menjawab untuk diriku sendiri
    kamu saja yang menjawab pertanyaanmu sendiri
    tanyakan pada hati nurani...

    peace!!!

    BalasHapus
  70. biasa pake golok av...

    silet ga kuat...waktu dulu seh suka pake samurai.

    BalasHapus
  71. Ah, saya mah masih pake gunting...

    Sederhana

    BalasHapus
  72. beda av..ini kan bukan jenggot biasa hehhe

    BalasHapus
  73. iya takut kena ya..wah av mainnya dah pake pengaman. ati2 lho...

    BalasHapus
  74. aduhhh cucuku sudah jauh banget perjalanan menulisnya.
    TOP dan aku respek dengan apa yang menjadi pemikiranmu. Menuruttku mati itu gampang tetapi mati juga bukan penyelesaian suatu masalah. Yang mati hati harus berhadapan dengan Allah SWT, sedangkan yang mati hidup masih harus memikirkan dan berjuang untuk kehidupan dunia akhirat. Jadi menurutku, hukuman seumur hidup lebih cocok. Sebab dengan begitu yang terhukum akan banyak waktu untuk intropeksi diri dan menjalani hukumannya. Sedangkan buat yang lain merupakan contoh, bahwa "beginilah hasil perbuatan jahat itu", dimana hidup terkekang seumur hidup.

    Ya itu dulu deh dan aku setuju bahwa hanya Allah SWT yang berhak menentukan kematian serta mencabut nyawa mahluk ciptaannya.

    dah itu dulu ya?

    miss you cucu..

    BalasHapus
  75. Hukuman seumur hidup itu orang sering punya pemikiran tentang bahwa seseorang yang ditahan akan dipenjarakan sampai mati. Padahal bukan. Hukuman seumur hidup seperti cerita ini. Si A membunuh. Dikenakan hukuman seumur hidup. Usianya 30 tahun. Maka dia akan dihukum selama 30 tahun. Bukan dihukum sampai mati.

    BalasHapus
  76. he..he..he...pandai juga cucuku ini...

    BalasHapus
  77. Tuhanku Tuhanmulah...DIA ada untuk semua :)

    BalasHapus