Selasa, 15 Februari 2011

Waktu Sempit Itu


Rasanya sudah cukup lama saya tidak menulis. Menulis yang dimaksud adalah menulis untuk personal. Sudah beberapa lama tak ada tulisan di blog ini yang saya posting. Folder yang ada di dalam arsip pribadi pun kosong. Tak ada stok tulisan yang dapat dimasukkan ke dalam blog ini lagi.

Dan akhirnya hari ini saya kembali menulis. Menulis secara personal, tentunya.

Setelah sekian lama, saya dilanda deadline yang seakan mengejar saya setiap hari, saya diminta untuk tetap sigap. Siap menulis dan tetap kreatif dalam bentuk apa pun. Tulisan saya ditunggu oleh mereka. Saya harus menulis. Saya membaca, saya menulis. Begitu seterusnya sehingga hidup seolah-olah monoton. Saya berada pada poros yang sama. Pagi, saya bangun untuk menyiapkan aktivitas saya. Siang, saya belajar. Sore, saya menyelesaikan dosa saya yakni agenda yang terjadwal. Malam, saya membaca dan menulis (serta belajar lagi untuk mengejar target lulus tahun ini).

Maka, bila ada kesempatan untuk menulis secara personal pun tentunya ada. Tapi tak sebanyak dahulu. Kegiatan saya benar-benar menguras energi. Maka, menulis di mini blog seperti Twitter menjadi solusi bagi saya yang ingin tetap menulis. Bagi saya, menulis harus menjadi kewajiban. Menulis adalah bernapas. Tak menulis di hari itu, pertanda saya tak bernapas.

Mungkin saya menjadi salah satu orang yang merasakan betapa 24 jam adalah waktu yang sangat kurang setiap harinya. Bayangkan bila seseorang menghabiskan sepertiga waktunya hanya untuk tidur, bagaimana ia bisa bekerja? Memotong jatah jam tidur menjadi solusi yang baik untuk saya untuk tetap menulis di blog ini. Seperti terbitnya tulisan ini di tengah malam, ketika semua orang tertidur, saya malah menulis.

Eh, atau saya yang memang salah dimensi waktu?

Ya, bisa jadi begitu.

Namun, di waktu yang sempit, di antara deadline yang seolah berada di dalam lintasan balap, di saat saya dituntut untuk tetap kreatif dan imajinatif, saya suka dengan cara saya menghargai waktu yang sempit. Di sini, saya tahu betapa berharganya waktu yang pernah saya buang dan kini ingin saya kumpulkan dan menyatukannya ketika saya membutuhkannya.

Sayangnya, waktu bukanlah uang yang bisa dikumpulkan dan digunakan dalam kuota yang banyak. Waktu memiliki caranya sendiri agar ia merasa dihargai. Dengan cara ini, saya menghargai waktu. Memotong jam tidur, konsentrasi kepada pekerjaan, fokus kepada semua hal yang membutuhkan diri saya.

Di waktu yang sempit itu, saya menggunakannya dengan penuh. Seperti saya yang menjadi ayah dan waktu yang menjadi anak, saya berkomitmen untuk menghidupinya dengan baik. Dan saya telah memilih untuk berlomba dengan waktu. Ketika waktu berjalan, maka saya akan berlari. Ketika waktu berlari, saya akan terbang. Dengan demikian, target saya akan terpenuhi meski waktu begitu minim. Waktu begitu jahat bila kita tak memanfaatkannya.

Nah, begitulah cerita saya tentang waktu. Bagaimana dengan Anda?




Jakarta, 16 Februari 2011 | 0.57
A.A. - dalam sebuah inisial

10 komentar:

  1. Hai hai met malam penulis...Pa kabar?
    Idem jg dgn aku kyknya cm beda suasana ahak-ahak

    BalasHapus
  2. Pagi, Pak Fitrah. Masih berpuisi 'kan?

    BalasHapus
  3. Masih kyknya dah jadi jalan hidupku ahak-ahak

    BalasHapus
  4. Pg mb ave, smg ttp sht biar bs trs menulis...

    BalasHapus
  5. Adakah belahan bumi lain yang berputar 36 jam sehari, ak ingin menjadi bagiannya

    BalasHapus
  6. Kabari ya kalau dipublis di media :-)

    BalasHapus