Sabtu, 14 November 2009

Setetes Air

Bapak enggan memakannya. Sakit memaksanya hanya dapat menerima asupan konsumsi lewat selang yang begitu lambat mengalir untuk masuk ke dalam tubuhnya. Aku tetap setia menunggunya. Walaupun dokter sudah mengetok palu, memberikan vonis kepadanya, tak akan lama lagi waktunya, aku tetap menantinya.

"Aku haus..."

Aku tidak diperbolehkan memberikannya minum. Paru-parunya sudah begitu basah. Dokter mengatakan cukuplah suplai dari infus saja yang hanya boleh masuk ke dalam tubuhnya. Zat kimia sudah begitu banyak menumpuk di dalam tubuhnya. Setiap jam, setiap menit, perawat dan tim medis lainnya hilir mudik. Entah mereka mengukur tensi dan suhu tubuh bapak, memeriksa infus, mengganti botol infus, memberikan suntikan, dan lainnya.

Bau obat ini cukup mengenyangkanku. Aku tak bisa makan. Perutku serasa penuh.

Bapak mencengkram tanganku, namun tidaklah keras. Aku tahu apa yang dikehendakinya. Air. Aku tetap berpura-pura mengacuhkannya. Ini demi kesembuhanmu, Pak...

Namun, bukannya bapak menyerah dan membiarkanku tetap pada pendirianku, bapak malah melambai-lambaikan tangannya ke dekat meja di mana gelas berisi air penuh diletakkan. Ia hampir menggapainya, namun gelas itu pecah.

"Praaaang...."

Aku hanya tercengang menatapnya. Bapak menjatuhkan tangannya lunglai. Perlahan ia menangis. Benar-benar air matanya jatuh. Aku berusaha mengembalikan posisi tidurnya sambil merayunya.

"Pak, paru-paru bapak sudah terlalu basah..."
"Aku hanya ingin minum. Aku haus."
"Tapi ini demi kesembuhan bapak."
"Aku akan mati, aku tahu. Aku tak akan sembuh."

Ketika ia mengatakan itu, pecahlah air mataku. Membelah pipiku sendiri.

"Bapak, jangan bicara seperti itu!"
"Berikan aku minum, setetes saja. Aku tak akan meminta lagi."

Aku meminta gelas baru dan menuangkan air untuknya. Sesuai dengan kesepakatan: setetes air. Kujatuhkan setetes ke dalam mulutnya. Bibirnya begitu kering.

"Tiba saatnya..."

Bapak tertidur, lelap... Lelap sekali. Dan tak pernah bangun lagi untuk meminta setetes air.




Jakarta, 15 November 2009 | 11.42
Terngiang menjagamu di kamar beku itu, Om...

34 komentar:

  1. ada yang sakit ya ave, siapa? Semoga cepat sembuh yach

    BalasHapus
  2. semoga dia tenang disana mbak.. SABAR!






    SABUDI (sastra budaya indonesia)
    mari kita jaga bersama!

    BalasHapus
  3. Paman saya, Mbak...
    Sejak lima tahun silam dia sudah mendapatkan kesembuhan abadi :-)

    BalasHapus
  4. Saya selalu percaya ada kedamaian di kehidupan barunya, Mas Mus...
    Terima kasih...

    BalasHapus
  5. ketiadaan membuat kita sedih
    namun kematian adalah jalan menuju damai dan keabadian

    wait for the truth

    BalasHapus
  6. Tak ada merpati yang tak merindukan sarang, tak ada melati yang tak akan jatuh melayu...
    Semua ada awalnya, maka juga akan ada akhirnya...

    BalasHapus
  7. Tak ada merpati yang tak merindukan sarang, tak ada melati yang tak akan jatuh melayu...
    Semua ada awalnya, maka juga akan ada akhirnya...

    BalasHapus
  8. jd inget wkt alm. Papaku sakit dulu, mirip keadaan nyah... dan aq yg jaga sendirian... :'(

    BalasHapus
  9. Larass bingung mo koment, trenyuh ma ceritanya ampe mo netes juga airmata ini. Semoga lebih baik disana ^^

    BalasHapus
  10. Penyakit memang terbentuk sendiri, tapi manusia punya caranya sendiri untuk berpulang...

    BalasHapus
  11. Sesungguhnya saya tak pernah pandai merawi cerita melankolis dan tidak pernah meminta empati pembaca untuk meneteskan air mata, Mbak Laras :-)
    Maaf untuk membuat Mbak Laras bersedih...

    BalasHapus
  12. 6 tahun yg lalu, saya pernah merasakan di ujung kematian. 3minggu terkapar di RS.
    dalam pergulatan saya, seakan ada doa2 dan nyanyian2 tiada akhir. Sungguh waktu itu saya tidak merasa takut dan sedih. Yang saya rasa hanya pegangan tangan ortu dan temen2 di badan saya. Mereka yg menangis.

    Bukan kematian yang menakutkan, tapi kehilangan.

    BalasHapus
  13. Saya pernah menuliskan dalam bentuk seperti ini: http://smallnote.multiply.com/journal/item/230
    Saya rasa bukan pada rasa kehilangannya itu, tetapi pada rasa berpisah

    BalasHapus
  14. Akan lbh bnyk air yg menyegarkan alm. Om disana....

    BalasHapus
  15. semoga beliau mendapat tempat yang terbaik ya ave
    maaf tidak bisa berkata lebih baik lagi
    saya cukup banyak ditinggalkan orang yang tercinta membuat saya menjadi sedikit benggong ketika menjumpai hal tsb larut dalam kenangan walau tak rapuh

    BalasHapus
  16. Karena saya gak dekat dgan ayah saya, apalagi ibu.ketika ibu ku meninggal saya gak ada di dekatnya bahkan saat di RS berbulan2pun saya tidak menemaninya hingga saya merasa belum pernah berbuat apa2 utk ibu saya, setetes pun belum pernah. Maaf mba Ave...

    BalasHapus
  17. Pram pernah mengatakan demikian:
    Hidup ini, Anakku, hidup ini tak ada harganya sama sekali. Tunggulah saatnya, dan kelak engkau akan berpikir, bahwa sia-sia saja Tuhan menciptakan manusia di dunia ini.

    BalasHapus
  18. Dari lubuk hati terdalam, kuucapkan maaf... Cerita ini tak bermaksud -sama sekali tidak- untuk mengoreskan kembali luka lama Mbak Laras. Saya sungguh minta maaf...

    BalasHapus
  19. rememberance untuk mengenang mereka yang telah berjasa bagi hidup kita. tanpa mereka, kita bukan apa-apa...

    BalasHapus
  20. smg beliau mendapat tempat yang layak di sisi Nya. amin

    BalasHapus
  21. Mustinya dikasi minum Av!
    Setegak aja kagak akan mempengaruhi cairan dalam paru-parunya.

    BalasHapus
  22. kenapa harus minta maaf mba Ave, justru Larass merasa dibukakan bahwa selama ini Larass belom memberikan apa2 untuk ortu. thanks yah.....

    BalasHapus
  23. Yap... Manusia takkan pernah bisa menjadi orang yang sepi di dunia ini...

    BalasHapus
  24. Ini hanya sekadar cerita, Om Amir...
    Sekadar cerita fiksi yang sungguh kubuatkan fiktif

    BalasHapus
  25. Maka, kuucapkan terima kasih Mbak Laras atas kesudiannya membaca...

    BalasHapus
  26. persis seperti bumi yang menangis demi setetes air nanti ya ave...

    BalasHapus