Jumat, 14 Agustus 2009

Gone Too Soon

Trofi itu tidak seharusnya dipegang oleh adiknya. Dia yang harusnya memegang dan menerimanya dengan rasa penuh bangga. Bukan oleh adiknya. Seandainya dia tahu kalau dia akhirnya benar-benar berhasil menjadi pemenangnya. Pemenang lomba penulisan itu. Sebuah trofi yang dia cita-citakan akan dia pegang kelak. Namum semuanya sudah berakhir ketika sebuah peristiwa membuatnya menjadi mati daya. Dan aku? Aku pasti benar-benar bangga dengannya, keberhasilannya adalah sebuah pencapaian tertinggi dari perjuangannya empat tahun menjadi seorang penulis.

Aku tahu benar bagaimana perjuangannya. Aku yang menemaninya dan menguatkannya ketika dia bercerita bahwa dia sedang rapuh. Rapuh jiwanya. Ketika dia berusaha mencari Tuhan sampai ke ujung dunia, padahal Tuhan ada di hatinya itu. Hatinya yang gelisah karena terlalu banyak tuntutan yang harus dia pegang.

Hanya dengan menulislah, dia dapat mencurahkan semua isi hatinya yang gundah itu. Dia jarang mau bercerita banyak. Sekadar poin-poin penting dari permasalahannya saja. Lebih senang mendengarkan tembang-tembang yang perlahan menikam hati, menyayat-nyayat jiwanya. Kadang aku tahu, dia sering menangis ketika sedang menulis sambil mendengarkan lagu-lagu semacam itu. Aku sering protes kepadanya: untuk apa kau dengar lagi kalau hanya menyayat jiwamu? Dengan santainya dia bergumam kepadaku," lebih baik daripada aku mendengarkan lagu bernada keras yang membuat aku semakin rapuh."

Air mataku semakin meleleh ketika tahu bahwa perjuangannya selama ini memanglah tak pernah sia-sia. Seperti apa yang pernah dikatakannya kepadaku: perjuangan tak pernah ada yang sia-sia. Hanya kesempatannya untuk menikmati hasilnya sudah begitu terlambat. Dia terpaksa diwakilkan oleh adiknya sendiri, dia begitu menyayangi lelaki hitam gempal itu. Wajahnya tak jauh seperti dirinya. Melihat wajah adiknya sama saja aku melihat wajah dirinya.

"Mengapa kau begitu putus asa?"
"Aku butuh tempat pelarian yang lebih."
"Begitu miriskah?"
"Jiwaku tertikam karena perbuatan mereka. Perbuatan mereka yang benar-benar menyakitkan aku. Sungguh!"
"Tapi aku tak pernah melihatmu menangis?"
"Karena air mata selamanya tak akan menyelesaikan masalah. Hanyalah sebagai tempat pencurahan dan pembebasan hati yang meresah saja."

Dengan bangganya, dia menunjukkan hasil karyanya, hasil tulisannya kepadaku. Akupun terkagum-kagum di usianya yang sangat belia, dia pandai memindai kata-kata. Seperti apa yang dikatakannya kepadaku: "akan kususun semua huruf, kubentuk semua kata, kucarikkan semua kalimat, maka aku akan menjadi diriku sendiri."

Benar saja, ketika dia menuliskan cerpen pertamanya berbau cerita anak, dikirimkannya berkali-kali kepada surat kabar nasional di kota ini. Kuhitung, dia mengirimkan naskahnya yang sama sekitar tujuh kali. Sampai dia katakan bahwa pos di kota ini adalah penipu. Dia merasa bahwa pegawai kantor pos membuka isi suratnya, maka tak dikirimkannya kepada redaksi surat kabar itu. Dikirimkannya pula dengan ekspedisi, tetap saja mengundang rasa kecewanya. Dia tak percaya dengan ekspedisi. Kurasa kalau dia tahu alamat kantor redaksi surat kabar itu begitu dekat, dia akan langsung menuju ke sana. Memberikannya langsung kepada sang editor. Aku tahu dia adalah seorang yang nekad setengah mati.

Seorang guru Bahasa Indonesia memberikannya nilai nol karena ulah seorang teman sekelompoknya yang salah bicara. Dia dengan lantangnya dan beraninya berdebat dengan guru itu. Dia berjuang setengah mati untuk mendapatkan nilai itu. Katanya, "itu hak kita untuk mendapatkannya, bukan haknya untuk memberikannya nilai nol kepada kita." Aku sudah pasrah kalau sampai-sampai memang benar kita diberikan nilai nol atas ulah seorang kawannya itu.

"Bukan salah kami! Itu kan karena dia yang tak kerja, maka dia tak tahu apapun yang kami kerjakan! Mengapa kami yang harus diberikan nilai nol?"
"Saya tak mau tahu! Itu urusan kalian!"
"Saya yang harusnya mengatakan itu, ibu yang sebagai guru kami harus tahu mengenai dia. Dia tak mengerjakan sama sekali! Mengapa karena dia jugalah kami harus mendapatkan nilai nol?"

Kesannya memang kurang ajar, manalagi dia adalah murid baru. Tapi aku tahu, memang wataknya yang keras itu membuatnya menjadi pribadi yang berani memberontak terhadap apapun. Dia pernah mengatakan kepadaku suatu hal: "seperti itulah kita melawan dan berani terhadap apapun yang salah, maka kita dapat mengenal siapa kita sesungguhnya."

Dengan terbata-bata adiknya mengucapkan kata-kata terima kasih dan memohon maaf kakaknya tak dapat hadir. Mau tak mau, adiknyalah yang menerima trofi kemenangan itu. Kemenangan atas sebuah perjuangan keras dirinya menjadi seorang penulis. Namun itu semua begitu terlambat. Seandainya para juri menyadarinya, dia memang seorang penulis berbakat.

Tak ada darah sastra dalam keluarganya. Dia membentuknya sendiri jiwa itu. Dia ingin menjadi pribadi yang lain di antara yang lainnya. Karakter yang aneh, kukatakan ada pada dirinya. Namun dengan cara itulah dia bisa menjadi dirinya sendiri, seperti apa yang dikatakannya.

Aku mencintainya sebagai kawan perjalanan, aku mencintainya sebagai sahabat yang setia, aku mencintainya sebagai orangtuaku sendiri. Dia begitu dewasa terhadap semua masalah. Dia begitu tegar menjadi dirinya sendiri. Walaupun dia tahu, itu sangat menyakitkan dirinya. Dia tak pernah membohongi keadaan yang ada pada dirinya. Bukannya aku tak peduli dengan keadaannya, tetapi aku lebih mencintainya seperti itu. Karena seperti itulah aku lebih mengenal siapa dirinya dan seperti apa sesungguhnya.

Ketika aku memasuki kamarnya, bau sastra begitu tercium sekali. Mejanya berisi buku. Semuanya nyaris buku sastra. Dari Pramoedya Ananta Toer sampai ke Dewi Lestari. Bahkan dia menghadiahkan buku yang kini sudah sulit dicari, Filosofi Kopi. Puisi-puisinya tertata dengan rapi. Cerpen-cerpennya dimasukkannya ke dalam folder. Ketika aku sedang berselanjarkan tubuh di ranjangnya, dia malah membuka bukunya. Menuliskannya. Jadilah dalam sekejap. Sebuah puisi.

"Bulan depan aku pindah ke Pekanbaru."
"Oh, ya sudah!"
"Kok kamu ga ada simpati-empati?"
"Untuk apa? Toh hidup ini sudah susah mengapa harus dibuat lebih susah lagi?"

Pertemuan terakhirku adalah ketika menemani jiwa petualangannya. Dia memang jiwa petualang. Dia ingin mendaki gunung, sampai puncaknya. Sebelum mati, dia ingin ke Cartenz Pyramid. Gunung tertinggi di Indonesia. Atau kalau bisa, dia ingin ke Everst. Menghabiskan sisa hidupnya di puncak sana. Gila! Kupikir memang dia gila. Tetapi segila apapun dia, dia tetaplah kawanku, kawan yang kukasihi.

Sehari sebelumnya aku berangkat, dia meracik sebuah tulisan untukku. Atas pertanyaan mengapa ada kata perpisahan. Dan itu cukup menegarkan aku untuk menceraikan diri daripadanya. Dia bisa membuatku sebegitu tegar. Dengan gayanya yang sesuka hatinya, tak perdulinya, jiwa petualang, dan darah sastranya memang tetaplah dia. Kawanku!

Ketika aku tiba di Pekanbaru, kutelepon dirinya. Tak diangkat, mungkin dia sedang online di messenger. Kubuka messenger, dia offline. Kupikir dia sedang pergi. Kutinggalkan saja SMS untuknya. Lima jam tak dibalasnya. Ke mana dia?

Kubuka Facebook-ku. Aku tersontak kaget bukan kepalang. Semua kawanku di Jakarta yang mengenal dia menuliskan status dukacita. Dia berpulang. Kecelakaan motor telah merengut nyawanya. Ketika kubuka buku darinya, tiba-tiba tangisku pecah seketika. Aku tak bisa menahannya lagi. Sungguh! Dia sudah berpulangkah?

Aku nekad ke Jakarta. Kembali pulang, sejenak saja. Untuk menemui dirinya. Aroma kematian menyerbak. Aku dijemput kawan lamaku dan mengantarkanku ke rumah duka. Dia sudah ada di pembaringan peti mati. Kaku. Wajahnya begitu damai. Damai sekali seperti cara bicaranya dan gayanya yang begitu menjadi dirinya.

"Dia tak dapat hadir hari ini karena dia sudah meninggal dunia. Dua bulan yang lalu. Seandainya dia tahu dia berhasil memenangkan trofi ini, jiwa menulisnya akan semakin menggila. Nyatanya, dia terlalu cepat untuk berpulang sebelum dia sendiri yang menikmatinya."

Aku tak dapat membendung air mataku lagi. Dia jatuh tanpa seizin aku. Ketika adiknya berbicara seperti itu, aku merasakan dia ada di sini. Dia ada. Dia ada untuk keberhasilannya itu. Semua puisinya, semua cerpennya yang dia tuliskan di dalam blog ataupun carikan kertas akanlah menjadi aset berharga untuk keluarganya. Cita-citanya menjadi seorang penulis kini telah menuaikan hasil, tetapi dia terlalu cepat untuk berpulang.

Ketika dia hidup, dia merasa sendiri. Merasa kosong. Ketika dia meninggal dan sudah tiada, mereka terus menantinya. Banyak orang yang perduli denganmu, kawan! Mengapa kau merasa sendiri dalam jiwamu yang kosong itu? Mengapa?! Apa yang kau pikirkan?

Mungkin dia menyusul idolanya, Michael Jackson. Dia memang sudah menanti saat-saat itu. Dia ingin ber-moon-walking dengannya. Aku tahu, Tuhan sayang padanya. Tuhan sayang kepadanya. Dia mencari Tuhan dalam gelisahnya, padahal Tuhan sayang padanya dan ada di hatinya. Dia sudah pergi, tetapi terlalu cepat. Gone too soon...


Like A Comet
Blazing 'Cross The Evening Sky
Gone Too Soon

Like A Rainbow
Fading In The Twinkling Of An Eye
Gone Too Soon

Shiny And Sparkly
And Splendidly Bright
Here One Day
Gone One Night

Like The Loss Of Sunlight
On A Cloudy Afternoon
Gone Too Soon

Like A Castle
Built Upon A Sandy Beach
Gone Too Soon

Like A Perfect Flower
That Is Just Beyond Your Reach
Gone Too Soon

Born To Amuse, To Inspire, To Delight
Here One Day
Gone One Night

Like A Sunset
Dying With The Rising Of The Moon
Gone Too Soon

Gone Too Soon

Michael Jackson - Gone Too Soon


Jakarta, 9 Juli 2009 | 20.12

38 komentar:

  1. weeeeeeeeeeeeeee
    neh cerpen lg
    knp seh?

    BalasHapus
  2. Hahaha... Kurang ajar!
    Daritadi dikerjain terus! Tutup sajalah kotak komennya :P

    BalasHapus
  3. wwwwweeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeee
    gw sms tuh, bls dong

    BalasHapus
  4. I lost something and I need something to make complete...

    BalasHapus
  5. Yang penting kotak komentar sudah dibuka setelah diprotes...
    Hahaha...

    BalasHapus
  6. Ga ngilang. Tadi makan dulu di bawah...
    Hahaha...

    BalasHapus
  7. HPnya perlu dilem biru kayaknya, Rut...
    Hahaha...

    BalasHapus
  8. Sumpah!!! Sudah gue balas.
    nanti gue resend saja deh

    BalasHapus
  9. Soalnya kemaren juga ada yang komplain...
    Jadi dibuka deh, dududu... :-"

    BalasHapus
  10. jd u k smrg
    nitip ikan bndg kt nykp gw

    BalasHapus
  11. Semoga terealisasi. Tahu darimana lo?

    BalasHapus
  12. astrid blg td
    gw kn lg telp ma dy
    wkwkwkwkwkw

    BalasHapus
  13. Hahaha... Ember pisan!!!
    Mau nitip apa?

    BalasHapus
  14. Ada yang nyata dan ada yang fiksi
    Tetapi semuanya diupayakan dibuat sefiksi mungkin, Om Damuh...

    BalasHapus
  15. keren vlin....kisah sebuah rasa.... *waaah...takjub gw sama omongan gw sendiri....?!?*

    BalasHapus
  16. tumben ya
    tapi bagus koq
    kenapa nggak coba dikirim ke mana gitu
    apa dikirim elok nyatr elok edit elok kirim ke majalah tapi klo dapat honor buat elok yaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa

    BalasHapus
  17. ini cerita nyatakah ?
    Bagus, kok seperti diriku jadinya merasa sendiri dan sepi walau sebenarnya jika mau ditelusuri dan disyukuri banyak yang peduli padaku :-D
    kenapa ya...

    BalasHapus
  18. Hahaha... Silahkan atuh diedit, dikirim, honornya diambil. Tapi rekening tetap atas nama saya hahaha...

    BalasHapus
  19. Hahaha... Jangan salahkan aku kalau sampai terpengaruh cerita ini!
    Sudah kuupayakan cerita ini lahir secara fiksi dan memang hidup untuk difiktifkan.

    BalasHapus
  20. Walah...
    Ternyata memang tulisan ini bagus :-D

    BalasHapus
  21. Ah, berlebihan Mbak Dewi...
    Dia hanya lahir sebagai fiksi dalam sebuah kesederhanaan saja.
    Terima kasih untuk pujiannya.

    BalasHapus