Jumat, 31 Desember 2010
Ksatria Tanpa Tahun Baru
ini malam tahun baru
di mana seharusnya kau:
duduk manis di beranda rumah
bercengkrama dengan keluargamu
atau pula tidur saja di ranjangmu
ini malam tahun baru
tak seharusnya kau:
masih sibuk menyapu jalanan
masih mengejar setoran
berjualan terompet
sibuk mengatur lalulintas
menunggu jenazah datang
ini malam tahun baru
inilah seharusnya kau:
menikmati jagung bakar
menyaksikan televisi yang menunggu jam 12
menonton aksi selebriti di Monas
pergi dengan kekasihmu
ini malam tahun baru
tak seharusnya kau:
mengejar laba terompetmu
mengobati mereka yang terluka karena petasan
mencari nafkah untuk anakmu
ini malam tahun baru
dan aku tahu kau tak merayakannya
tidak tahu harus seperti apa
dan bagaimana cara merayakannya
selamat tahun baru untukmu, meski tak ada perayaan bagimu...
Jakarta, 31 Desember 2010 | 23.24
A.A. - dalam sebuah inisial
Kamis, 30 Desember 2010
Fragmentaris
ia memiliki kisahnya sendiri
meski di dalam sunyi, berderu sakit
meski di dalam hening, ia butuh sendiri
entah pagi, siang, atau malam
: butuh berlindung, sebelum lekas pergi
satu cerita
ia memiliki waktunya sendiri
kalau memang masih ada peluang kecil
yang masam atau manis
dan ada kalanya ia tak perlu dikecap
dan dibiarkan pergi
satu cerita
ia memiliki tafsir sendiri
kadang ia memang harus dikenang
kadang pula ia dibiarkan pergi
kadang juga dilepas
dan diamkan saja
sampai angin yang membawanya menghilang
A.A. - dalam sebuah inisial
Rabu, 29 Desember 2010
Gol
teriak mereka
bola bersarang di gawang
aku memungutnya
kami memang tidak juara
tapi kami menang
kami menang di hati kami
Jakarta, 29 Desember 2010 | 23.24
A.A. - setelah menyaksikan siaran bola
Empat Ceritera Musim denganmu
Satu...
Mari buat kesepakatan tentang musim semi yang akan meninggalkan kita. Musim semi akan datang tahun esok, maka biarkanlah ia pergi dengan membawa seribu kenangan di antara keping-keping mozaik yang telah kita susun rapi. Menyimpannya dalam kotak kenangan dan membiarkannya menjadi misteri di hari esok. Karena kita masih memiliki jalan dan kisah yang harus dijalankan sebagaimana mestinya. Hari memang harus silih berganti, pagi memang harus selalu datang, dan kita siap dan tidak siap harus menghadapinya. Kembali menyusun ceritera dan soal itu, nanti sajalah...
Dua...
Mari lagi-lagi kita buat kesepakatan tentang rahasia di musim gugur yang tetap setia untuk datang. Walau sudah kita kisahkan beribu macam tentang cinta dan asa, tetapi masih jutaan episode yang harus disusun agar terancang dengan rapi. Kita mesti berkelana untuk meneruskan ceritera-ceritera yang belum tersusun dengan apik, masih terus berkisah agar berbuah dengan manis sebelum hari yang jahat menggulingkan kita dan meninggalkan airmata dan rasa kehilangan yang kejam. Hidup memang soal menemukan tujuan akhir yang indah walau pun kita sudah tahu ke mana hidup akan bermuara pada akhirnya.
Tiga...
Menjelang musim panas, apakah kita pernah berpikir bahwa kita telah memetik buah-buah yang begitu manis dan indah sepanjang dua musim kemarin? Ada waktunya kita merentaskan kehidupan yang manis dan pula harus kembali menjadi gersang, panas, dan melawannya dengan perlahan. Semua orang memiliki kesempatan, asa untuk melawan atau bertahan untuk memiliki kehidupan yang manis. Tapi tidak untuk selamanya menjadi manis. Ada kalanya mereka harus turun dari babak pertandingan dan merenungi diri.
Empat...
Kita telah menjalankan kehidupan dengan sebaik-baiknya. Sebenar-benarnya. Dengan segala macam ceritera dan sisi humanisme yang menghiasi seluruh jalan yang harus memang dijalani. Dengan terjatuh dan bangkit lagi, kita menemukan satu mozaik. Dengan berdiri dan berjalan lagi, kita menuliskan sebuah ceritera. Dengan berjalan dan menikmati, kita sudah menemukan sisi bagaimana kita harus menjalani kehidupan ini sampai pada akhirnya kita akan berkata: inilah saat untuk pergi dan semua tugas sudah dilaksanakan dengan baik.
Jakarta, 29 Desember 2010 | 16.53
A.A. - dalam sebuah inisial
Minggu, 26 Desember 2010
Kisah Langit Merah
Rating: | ★★★ |
Category: | Books |
Genre: | Literature & Fiction |
Author: | Bubin Lantang |
Mungkin kalimat ini yang membuat tangan saya bergerak menuju almari toko buku dan menaruhnya ke dalam daftar list untuk membacanya. Namun apa daya, saya lagi-lagi mengendapkannya di rak buku dan membuka antrian buku lain yang sudah sekian lama menunggu untuk dibaca.
Jujur, saya bukanlah pengikut setia Bubin Lantang. Saya belum pernah sekali pun menyentuh bukunya, tak pernah membaca cerpennya, apalagi esainya. Tak pernah mengenal seperti apa karakter tulisan dari seorang Bubin Lantang.
Membaca blurb dari Kisah Langit Merah ini, membuat saya tertarik dengan jalan ceritanya. Saya mulai berpikir bahwa ini adalah soal perjalanan seorang Langit Merah. (Nama karakternya pun sangat unik.)Dan blurb yang disajikan pada cover belakang, membuat saya ingin menarik buku ini dan membacanya.
Dengan sudut pandang orang ketiga dan Langit Merah yang menjadi tokoh sentral dari cerita ini, Bubin Lantang bercerita. Dengan alur maju-mundur dan cara bercerita yang dibawa oleh Bubin Lantang secara santai. Ceritanya pun bukanlah cerita yang membuat kita terheran-heran bahkan cenderung terjadi setiap hari di sekeliling kita.
Langit atau Merah adalah seorang yang idealis. Seorang jurnalis yang gelisah, yang tetap kepada pendiriannya untuk selalu jujur dan bersih meski ia berada di sekeliling yang tidak bersih. Jurnalis adalah cita-citanya yang selalu dijunjung tinggi sejak kecil dan berada di dalam redaksi yang kini ia duduki adalah tujuannya. Namun, semua itu berbeda dengan bayangannya di masa kecil. Kotornya dunia jurnalistik membuatnya bagaimana tetap bertahan atau mundur dari pertarungan.
Ditempatkan di desk kriminal sampai dengan dipindahkan ke desk ekonomi, idealismenya tetap bertahan. Kokoh, tak digoyahkan meski dengan rayuan uang dua ratus juta sekali pun. Bahkan ia pun akhirnya memilih mundur ketika atasannya tahu bahwa Langit adalah seorang yang cukup berbahaya, yang bisa mengancam keselamatannya karena Langit bukanlah orang yang bodoh, bahkan sangatlah pandai dalam melakukan penyidikan.
Cerita yang tak asing pula seperti percintaan Daria dan Langit yang berpacaran 12 tahun harus putus karena perbedaan kepercayaan, kasus penjodohan -yang tentu saja tidak asing-, dan tuntutan orangtua yang mendominasi.
Bubin Lantang bercerita apa adanya. Ia bercerita tanpa bermaksud menggurui, mengenal seluruh karakter tokohnya secara utuh, merancangnya dengan baik, merawinya dengan bijak. Ia tahu seorang Langit yang adalah lulusan luar negeri harus bersikap seperti apa dan bagaimana cara berbicaranya. Ia pula tahu bagaimana Langit harus bersikap terhadap wanita yang tak bisa ia miliki.
Bubin tak pula harus memaksa pembacanya untuk terus membaca. Ia memberi jeda bagaimana pembaca harus dimainkan emosinya sedemikian rupa atau membiarkan pembacanya berekplorasi terhadap imajinasinya sendiri. Ia memunculkan pertanyaan-pertanyaan semu dan itulah tugas pembaca Kisah Langit Merah untuk menemukan bagaimana seorang Langit yang gelisah untuk memilih kehidupannya.
Dan hidup memang tidak punya buku petunjuk, kitalah yang harus menjadi petunjuk atas diri kita sendiri. Bubin Lantang mengajak kita pada satu hal: pilihan di tangan kita dan caranya kita memilih, itu yang menjadi persoalan.
Belajar jadi manusia jujur selalu lebih menantang buatku. - hal. 29
Jakarta, 27 Desember 2010 | 13.48
A.A. - dalam sebuah inisial
Selasa, 21 Desember 2010
Ode Untuk Bunda
Hinggap di ubun-ubun, katamu aku manis
Maka ia menaruh dirinya di atas kepalaku
Aku tersipu manis, memanja diri
Ah, bunda... Bunda...
Pandai saja kau memuji anandamu, bukan kemarin sore kita baru berbelanja?
Kau butuh ini untuk pesta temanmu, katamu memberiku pakaian baru
Tak butuh, masih bisa kukenakan baju pesta kemarin
Makanlah sebelum dingin
Dan aku mengabaikan kata dingin
Membiarkannya begitu saja
Dan senja telah datang
Di ujung sana
Aku tahu betapa bahagianya
Aku pernah memiliki kamu
Aku pernah dimiliki kamu
Aku pernah belajar dan diajar untuk jatuh cinta
Aku pernah berbagi dan menerima kasih sayang
Aku pernah menjadi milikmu
Dan akan menjadi kamu
Jakarta, 22 Desember 2010 | 00.16
A.A. - dalam sebuah inisial
Senin, 20 Desember 2010
Akhir Petualangan
"Tiap orang harus berani mengembara, mematangkan diri, memetik tiap pengalaman menjadi guru, yang akan memberi makna hidup lebih dalam, dan boleh pulang kelak, bila ia sudah cukup paham akan apa arti hidup. Dan itu semua hanya akan diperoleh di tempat yang jauh dari kampung halaman, yang tak pernah punya janji masa depan." — Mohamad Sobary (Sang Musafir)
Edisi catatan akhir tahun saya memang selalu berbeda. Tahun 2008, ketika saya memindahkan laman blog saya dari Blogger ke Multiply, saya mengangkat tema catatan akhir tahun mengenai beresolusi di mana semua orang seakan-akan diwajibkan untuk menentukan tujuan hidupnya pada tahun berikutnya. Seakan-akan, bila kita tidak membuat resolusi, kita tak akan memiliki tujuan yang kita capai. Intinya adalah saya tidak membuat resolusi pada tahun 2009. Sampai kapan? Sampai sekarang juga saya tidak membuat resolusi.
Tahun 2009, saya mengangkat tema pesta kebun. Entah mengapa saya ingin mengangkat tema itu. Saya merasa setahun penuh pada tahun tersebut adalah tahun yang penuh dengan pesta; entah itu pesta yang bahagia atau pun pesta yang mengundang rasa duka. Tahun 2009 saya diisi dengan berbagai macam rasa tersebut. Antara pahit dan manis datang selang-seling.
Nah, tahun ini, tahun 2010, saya mengisinya dengan petualang. Mengapa harus petualang? Mungkin salah satunya saya sering jalan-jalan pada tahun ini. Hahaha...
Sebagaimana sebuah petualangan, kita tak akan menemukan hal yang biasa-biasa saja ketika mengangkat ransel, memutuskan untuk meninggalkan rumah, dan berangkat dari satu kota ke kota yang lain, merasakan keajaiban-keajaiban yang tentunya tak semua orang bisa rasakan. Jatuh-bangun, panas-dingin, bahagia-duka, atau pula hidup-mati menjadi suatu pilihan dalam menentukan keputusan kita bertualang.
Tahun ini pula, saya merasakan hal-hal yang tak pernah saya capai sebelumnya. Kalau ditanya apakah ini tahun yang cukup besar bagi saya, mungkin jawabannya ‘ya’ dalam pancawarsa ini. Saya menemukan esensi-esensi yang menjadi pengalaman seru, haru, menegangkan, bahkan menjadi pencapaian yang cukup besar bagi saya.
Itulah mengapa saya ingin mengangkat tahun ini sebagai tahun yang membawa saya bertualang. Saya menemukan dimensi-dimensi baru, saya menikmati tahun 2010 di mana tak semua orang bisa menikmatinya seperti saya. Saya melewatinya hampir tanpa rasa duka. Saya menjalaninya cukup dengan sukacita.
Pada tahun ini, saya berani menanggalkan satu mimpi saya. Saya merelakannya demi sebuah pencapaian yang jauh lebih besar. Saya tahu bahwa suatu hari saya akan meraihnya, dan kini saya sudah memilikinya. Saya sudah merasakannya. Saya sudah mendapatkan kebahagiaan dari semua itu.
Tahun ini juga tak lepas dari kepergian orang-orang yang pernah saya kasihi, yang pernah mengasihi saya. Bukankah hidup memang datang untuk pergi dan kembali datang? Maka saya tak begitu meratapi karena saya tahu tujuan kehidupan bukan ada di dunia ini, tetapi adalah cara kita untuk kembali, untuk pulang.
Suatu hari pasti petualang akan merasa gelisah. Begitu pula dengan saya, saya selalu merasa gelisah. Saya selalu menginginkan pencapaian-pencapaian yang lebih besar. Saya membebaskan diri saya berkelana, membiarkannya terjebak dalam dunia yang tak pula saya kenal. Menghadapinya sebagaimana saya memang harus menjalaninya. Keluar dari kesesatan entah dalam kondisi hidup dengan tubuh yang terluka atau tidak.
Itulah saya. Sayalah petualang itu. 2010 adalah kota di mana saya memulai. 2010 adalah kota di mana saya mengakhiri.
Petualang memang akan selalu memiliki satu jalan: berangkat.
Dan pula memiliki satu jalan yang lain: kembali.
Saya sudah menjalaninya. Saya berangkat dari kota 2010 dan kini saya kembali pula kepada kota 2010. Saya akan memulai petualangan-petualangan baru di tahun 2011. Seperti apa? Saya sendiri tak pula tahu akan seperti apa tahun-tahun yang akan saya jalankan.
Maka, petualang pun akan kembali, meski ia merasa sendiri dalam pilunya. Saya pun pulang dalam kerinduannya sendiri.
Jakarta, 21 Desember 2010 | 1.51
A.A. – dalam sebuah inisial
Pada Pelabuhan yang Senja
Hanya ada sekelumit kisah
menanti kepulangan
melepas kepergian
melambaikan tangan
memanggil
merelakan
cuma bagaimana kita menerima
sekelumit kisah itu
menjadi suatu sejarah
yang hanya aku dan kamu tahu
bagaimana menyimpannya dalam kotak kenangan
Hari ini...
aku tahu harus menjadi apa
mungkin memang tak lagi sama
memang tak akan sama
karena hari pun selalu berganti
sebagaimana kita mengurai cerita
meski perih
meski bahagia
meski haru
meski pedih
ini hanyalah soal kita menyimpan kotak kenangan
Esok...
ya, kita tak lagi sama
kita pergi dengan jalannya sendiri
kita melepas langkah kita
kita melepas setapak demi setapak
memilih jalan pergi sendiri
mencari rute pulang masing-masing
karena di ujung penantian
masih akan ada penantian
dan penantian tak bisa berakhir
bila kita masih belum bisa
menerima kehilangan dan mendapatinya
lebih dekat, lebih nyata
Lusa...
kotak kenangan akan berdebu
tapi yang tersimpan akan tetap selalu manis
meski ia terasa pahit
A.A. - dalam sebuah inisial
PS: Mas Dhave, numpang culik fotomu, kalau kau membuka catatanku ini. Matur tengkyuh :-)
Selasa, 14 Desember 2010
60 Tahun Karl May di Indonesia
Start: | Dec 21, '10 |
End: | Dec 22, '10 |
Buku-buku itulah yang kemudian menginspirasi para remaja Indonesia pada masanya seperti Emil Salim, Goenawan Mohamad, Taufik Ismail, Daniel Dhakidae, Seno Gumira Ajidarma, Gola Gong, Ayu Utami, dan ribuan orang lainnya untuk mengenal arti kemanusiaan; persahabatan orang-orang yang berbeda suku, bangsa , kepercayaan; cinta alam terbuka dan lingkungan hidup; membangkitkan rasa ingin tahu dan penyelidikan; yang kesemuanya dibungkus dalam karya berbentuk "Kisah Petualangan".
Siapa mengira, siapa menduga, buku-buku itu selama 60 tahun tetap dibaca hingga masa kini, dan kiranya akan berjalan terus dari generasi ke generasi berikutnya.
GOETHE INSTITUT bekerja sama dengan Paguyuban Karl May Indonesia (PKMI) mengundang Anda untuk menghadiri acara: "60 Tahun Karl May di Indonesia" yang diselenggarakan di Goethe Institut, Jalan Sam Ratulangi, Menteng, Jakarta Pusat dengan acara sbb:
Selasa, 21 Desember 2010
17.00 - 18.00 Pembukaan dilanjutkan pemutaran film: "100 Tahun Karl May di Indonesia" (40 menit)
18.30 - 19.30 Bedah buku: "Kehidupan dan Upayaku: Suatu Otobiografi dari Karl May", dengan pembahas: Seno Gumira Ajidarma. 19.30 - 21.00 Pemutaran film "Karl May" (bagian pertama) karya Hans Juergen Syberberg (90 menit), subtitel Bahasa Indonesia.
Rabu, 22 Desember 2010
17.00 - 18.00 Pemutaran film biopic: "Si Pengkhayal dari Saksen" (40 menit) subtitel Indonesia
18.30 - 19.30 Diskusi panel "Peran dan Pengaruh Karl May: Masa-kini, Sekarang, Masa-mendatang" dengan pembicara: Franz Magnis-Soeseno, Goenawan Mohamad, dan Akmal Nasery Basral.
19.30 - 21.00 Pemutaran film feature "Karl May" bagian kedua, karya Hans Juergen Syberberg (90 menit), subtitel Bahasa Indonesia.
Minggu, 12 Desember 2010
Berapa Buku yang Anda Baca Tahun 2010?
Sudah berapa buku yang saya baca tahun ini? Ini sebuah pertanyaan yang membuat saya sendiri bingung. Tiba-tiba pertanyaan itu hadir sendiri tanpa saya memintanya. Ya, sudah berapa buku yang saya baca tahun ini. Memang saya bukan orang yang rajin untuk membuat daftar berapa banyak buku yang saya baca setiap bulannya. Yang jelas memang setiap bulan saya pasti menghabiskan buku, entah berapa banyaknya buku itu.
Nah, sambil menjawab pertanyaan itu, saya akan membuat daftar buku-buku yang pernah saya baca tahun ini. Ini masih yang benar-benar saya punya dan yang memang benar saya baca, terlepas dari yang saya pinjam atau saya lupa buku yang pernah saya baca tersebut saya berikan kepada orang lain. (List tidak menunjukkan peringkat)
1. Sejuta Hati untuk Gus Dur, Damien Demantra, Gramedia Pustaka Utama
2. Perahu Kertas, Dewi “Dee” Lestari, Bentang Pustaka
3. Epitaph, Daniel Mahendra, Kakilangit Kencana
4. Memory And Destiny, Yunisa KD, Gramedia Pustaka Utama
5. 100+ Fakta Unik Piala Dunia, Asep Ginanjar dan Agung Harsya, Serambi
6. Marmut Merah Jambu, Raditya Dika, Bukune
7. Larasati, Pramoedya Ananta Toer, Lentera Dipantara
8. Kevin: Belenggu Masa Lalu, Torey Hayden, Qanita
9. Cinta Mati, Armaya Junior, GagasMedia
10. Hummingbird, Lavyrle Spencer, GagasMedia
11. Mendua, Indah Hanaco, GagasMedia
12. Kisah Langit Merah, Bubin Lantang, GagasMedia
13. The Edge of Impropriety, Pam Rosenthal, GagasMedia
14. Cecilia dan Malaikat Ariel, Jostein Gaarder, Mizan
15. Cinta itu Kamu, Moammar Emka, GagasMedia
16. Padang Bulan dan Cinta di Dalam Gelas, Andrea Hirata, Bentang Pustaka
17. The Winner Stands Alone, Paulo Coelho, Gramedia Pustaka Utama
18. The Naked Traveler 2, Trinity, B First
19. Gege Mengejar Cinta, Adhitya Mulya, GagasMedia
20. Pillow Talk, Christian Simamora, GagasMedia
21. Here, After, Mahir Pradana, GagasMedia
22. Leaving Microsoft To Change The World, John Wood, Bentang Pustaka
23. Refrain, Winna Efendi, GagasMedia
24. Negeri 5 Menara, A. Fuadi, Gramedia Pustaka Utama
25. Soe Hok-gie... Sekali Lagi, Rudy Badil, Luki Sutrisno Bekti, Nessy Luntungan R., Kepustakaan Populer Gramedia
26. Satin Merah, Brahmanto Anindito dan Rie Yanti, GagasMedia
27. Bintang Anak Tuhan, Kirana Kejora, Hifest Publishing
28. The Pilot’s Woman, Dahlian, GagasMedia
29. Cruise On You, Margareta Astaman, Atria
30. How to Simplify Your Love, Marion Kustenmacher & Werner Tiki Kustenmacher, GagasMedia
31. The Wednesday Letters, Jason F. Wright, GagasMedia
32. 42 Trik Manipulasi Foto di Internet, Ali Zaenal, Mediakita
33. Petals From The Sky, Mingmei Yip, GagasMedia
34. Forgiven, Morra Quatro, GagasMedia
35. Around The World in 80 Dinners, Cheryl & Bill Jamison, GagasMedia
36. Bad Kitty, Michelle Jaffe, GagasMedia
37. Jawablah Aku, Susanna Tamaro, Gramedia Pustaka Utama
38. East Wind West Wind, Pearl S. Buck, Gramedia Pustaka Utama
39. Iluminasi, Lisa Febriyanti, Kakilangit Kencana
40. The Man Who Loved Books So Much, Allison Hoover Bartlett, Alvabet
41. Mr. Darcy, Vampyre, Amanda Grange, GagasMedia
42. You Belong To Me, Johanna Lindsey, GagasMedia
Untuk buku terbaik tahun ini versi saya jatuh kepada “Negeri 5 Menara”
Untuk buku dengan gaya bahasa terbaik versi saya jatuh kepada “Kisah Langit Merah”
Untuk desain cover terbaik versi saya jatuh kepada “The Wednesday Letters”
Untuk buku yang pailing tebal yang saya baca tahun ini tentu saja “Soe Hok-gie... Sekali Lagi”
Untuk penulis dengan ide kreatif terbaik versi saya jatuh kepada “Satin Merah”
Untuk penulis dengan tema menarik versi saya jatuh kepada “Epitaph”
Untuk penulis terbaik versi saya pastilah “Pramoedya Ananta Toer”
Oh ya, tahun ini juga saya mendapatkan beberapa kiriman buku dan beberapa juga yang tidak sempat saya baca. Hehehe...
Ada dari Ali Zaenal alias Kang Jenk Planet yang (akhirnya) menerbitkan bukunya yang terbaru, “42 Trik Manipulasi Foto di Internet”. Ada hadiah World Book Day dari GagasMedia yaitu “The Wednesday Letters”, “Refrain”, dan “You Belong To Me”.
Saat berkunjung ke World Book Day di Museum Bank Mandiri juga saya mendapatkan dua buku tetapi saya lupa judulnya. Ada hadiah (iseng-iseng) dari Kick Andy yaitu “Berdamai dengan Kematian”.
Dan karib maya (dan nyata) saya, Tante Rike Jokanan itu, memberikan saya tiga buku sekaligus yait
u “Larasati”, “East Wind West Wind”, dan “Cecilia dan Malaikat Ariel”. Saat bertemu dengannya di Festival Pembaca Indonesia, lagi-lagi buku diberikannya kepada saya, “The Man Who Loved Books So Much”. Ada lagi dari teman Goodreads Indonesia, Om Momo yang memberikan saya “City of Ember”.
Nah, begitulah untuk menjawab pertanyaan saya tadi. Kalau Anda, berapa buku yang sudah Anda baca tahun ini?
Jakarta, 13 Desember 2010 | 1.03
A.A. – Perayap Buku
Selasa, 07 Desember 2010
Here, After
Rating: | ★★★ |
Category: | Books |
Genre: | Literature & Fiction |
Author: | Mahir Pradana |
Itu yang saya katakan ketika seorang Mahir Pradana hendak mengirimkan sebuah file yang diharapkannya agar saya membaca dan memberikan kesan apa yang tertinggal setelah saya membacanya. Belum naik cetak dan belum melewati proses proofreading. Saya tahu reaksinya setelah saya menuliskan kalimat itu di dalam gadget saya.
Setelah e-mail darinya saya terima, saya hanya mengunduhnya. Mendiamkannya dalam memori komputer dua hari. Setumpuk pekerjaan sudah menanti saya dan saya pikir tak ada salahnya menomorduakan D.I.A.N.A. itu. Ah, apa pula Diana itu? Manalagi sebagai tagline-nya adalah “Depressing Infatuation about a Never-ending Agony”. Maaf, tak ada waktu untuk menikmati bacaan yang membuat orang menjadi berhalusinasi luas.
Rasa berdosa lahir ketika saya teringat bahwa saya masih berhutang. Saya berjanji kepada Mahir bahwa saya akan mengatakan apa kesan saya setelah membacanya. Saya baru membaca dua halaman saya, kemudian berpindah lagi pada file lainnya. Ketika usai saya menyelesaikannya, tak ada salahnya saya membacanya.
Menginjak bab pertama dari novel ini, saya tertawa saja. Adi. Oh, ini dia rupanya Adi yang menjadi tokoh utama. Dan pikiran saya kembali menari bahwa Adi dan Diana pasti akan menjadi tokoh utamanya. Klise! Begitu juga ketika masuk ke bab kedua. Untuk apa Mahir yang sedang menjadi dewa di novel ini seenaknya saja menulis Adi dan Diana sepanjang itu?
“Gila!”
Tanpa sadar saya mengucapkan kata itu ketika saya berada di bab keempat dalam novel ini. Ketika Putra telah usai bercerita. Saya sedang membaca apa saat ini?
Pantas saja, di senja ketiga di bulan April 2010, tim dewasa berusaha untuk menetaskan naskah yang saya pegang ini sebagai sebuah buku. Saya tahu jawabannya. Tahu mengapa tim firstreader memperjuangkan naskah ini. (Bukan karena sang penulisnya ada dalam rapat besar tersebut)
Hendak apa si Mahir ini? Saya bertanya-tanya sendiri. Siapa tokoh utamanya? Saya benar-benar jengkel sekali dengan novel ini. Mana klimaks dan antiklimaksnya? Eh, apakah ini soal cinta? Saya terdiam dengan pertanyaan terakhir. Di tengah rasa jengkel saya yang semakin membuncah setelah pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam pikiran saya menari-nari, saya insafi satu hal: dia bermain dengan cinta.
Matilah saya malam itu. Saya semakin gencar menghabiskan bab demi bab novel tersebut. Persetan dengan tengah malam di mana esok hari saya masih ditunggu oleh tugas yang membumbung tinggi. Semakin malam, saya semakin dilarutkan oleh D.I.A.N.A. Egh! Novel macam apa ini? Lancangnya ia menarik saya masuk ke dalam dimensi lain dan mengajak saya bermain-main dengan dongengnya di tengah malam.
“Aku adalah karakter jahat dalam cerita ini dan aku memang pantas untuk dibenci.” – hal. 90
Mana ada penulis yang mengadakan pengakuan dosa kepada pembacanya dengan menulis seperti ini? Benar-benar gila penulis yang satu ini. Mengajak pembacanya untuk lekaslah membenci karakter yang ia ciptakan sendiri. Saya terus menjelajahi setiap karakter, setiap tokoh, dan setiap penceritaan yang lahir. Mahir mampu melarutkan saya dalam ceritera rekaannya sendiri.
Rasa bergidik ngeri, takut, bahagia, marah, dan apapun itu beraduk satu. Seorang Mahir menyeret saya untuk menghabiskan D.I.A.N.A. lebih utuh tengah malam. Seolah-olah semua karakter tersebut menjebak saya dalam dimensi yang berbeda-beda. Saya berada pada karakter demi karakter yang berbeda dan saya sadar: novel ini akan membuat suatu lingkaran terhadap seluruh tokoh yang ada.
Seperti halnya menggambar lingkaran, kita tak boleh berhenti. Jika berhenti, kita belum tentu berada pada titik yang sama. Itulah Here, After. Itulah D.I.A.N.A. Saya tidak diperkenankannya berhenti membaca sebelum menuntaskannya.
Cinta yang klise? Saya tarik lagi ucapan saya sebelumnya. Sampai bab ketujuh pun saya tak tahu misteri apa yang disimpan oleh Mahir bersama dengan kesepuluh tokoh rekaannya itu. Semakin menelusuri, misteri semakin runyam, semakin mengajak saya berpikir dan tak lagi memandang waktu yang sudah menginjak jam dua pagi.
Entahlah, ini sebuah novel atau kumpulan cerpen yang saling bertautan, atau juga seperti Dan Brown yang mengajak saya terus berpikir apa yang dewa-dewa kehendaki dalam karyanya ini. Seorang Mahir di dalam 197 halaman mampu mencampurkan semua rasa: pahit, ngeri, takut, marah, sedih, pilu, dan bahagia.
Menginjak bab kesepuluh, saya tahu apa yang hendak Mahir ceritakan. Tapi, bagaimana dengan pertanyaan-pertanyaan saya tadi? Mana jawabannya?
“Bagaimana dengan ‘cinta’?
Aah, itu bisa menyusul!”
Kekuatan-kekuatan yang lahir sendiri dari novel ini memberikan satu pelajaran bagaimana kita menikmati hidup dan cinta. Here, After bukan hanya mengajak berpikir bagaimana berfilosifi mengenai hidup tetapi juga caranya untuk bercinta dan terjebak di antara segmentasi cerita. Bagaimana merasakan perjumpaan dan kehilangan dalam waktu yang bersamaan. Bagaimana untuk berusaha memberikan rasa sayang dalam konflik-konflik benci yang timbul dari antara keduanya. Ini menjadi satu prestise untuk proses bercerita yang memberikan misteri dan menjebak.
Nah, Bung Mahir, benar bukan apa kata saya? Saya bukanlah orang yang pandai dalam meresensi, tak pandai dalam mencerca. Rasakan sendiri bukan kalau saya malah menulis cerpen di sini?! Jadi, jangan salahkan saya bila saya memang bukan menulis resensi. Dan syukurlah kalau memang ini masih bisa dianggap sebagai resensi.
Oh ya, satu lagi, ini yang ingin saya katakan pada saat saya membaca Here, After. Novel ini memberikan .... *Ah, sial! Tulisannya terputus!*
Jakarta, 7 Desember 2010 | 14.35
A.A. – dalam sebuah inisial
Senin, 06 Desember 2010
Konklusi
buka lapakmu dengan setia
dari kaki tanah sampai ke ubun-ubun langit
dan tolehkan kepalamu di muka toko
bernas padimu mulai berbumbung
tak perlu serau, kan? - untuk melihat jauhnya radius padimu
ah bagaimana aku bercanda
memang dulu kau berjualan emas
bahkan gaun istrimu dari emas
dan di dompetmu melautlah uang
bukankah horizon selalu menciptakan keajaiban tak terduga
hiperbola aku?
kau katakan ini eulogi?
dari emas menjadi pendulang padi?
ah, mari berbisnis!
Jakarta, 7 Desember 2010 | 9.06
A.A. - dalam sebuah inisial
Sabtu, 04 Desember 2010
Jumat, 03 Desember 2010
Festival Pembaca Indonesia
Start: | Dec 5, '10 10:00a |
End: | Dec 5, '10 6:00p |
Pukul 10.00-18.00 WIB
di Plaza Area GOR Soemantri Brojonegoro
Pasar Festival, Kuningan Jakarta
Jumat, 26 November 2010
Satu Sudut, Tiga Pandang
pandang pertama...
semua orang sibuk dengan dirinya sendiri. genggaman telepon, jemari yang menari di catatan digital, diskusi dengan kawannya, dan hanya duduk diam sembari mengetuk meja dengan jemari. ada kebutuhan dan kesibukan orang-orang dari sini. tak ada yang saling peduli, hendak apa di sebelahnya. juga aku, mungkin aku tak peduli dengan apa yang orang di sebelahku melakukan apa. meski aku tahu mereka sedang sibuk dengan makalahnya dan aku sibuk merawi catatan ini.
ya, aku tahu, aku sedang sibuk menunggu sebenarnya.
pandang kedua...
meski tak saling peduli, tapi semua orang di tempat ini saling memperhatikan apa yang terjadi. mereka melirik, mendelik, atau menontoni aktivitas sesama yang duduk di tempat ini. kemudian mereka kembali sibuk dengan aktivitasnya yang tadi sembari menunggu. ah, semua orang di sini pasti menunggu - pikirku. sebagaimana juga aku menunggu. mungkin yang ditunggu adalah hal yang berbeda.
ya aku tahu, aku sedang sibuk menunggu sebenarnya.
pandang ketiga...
orang yang kutunggu tak jua datang. hubungan komunikasi masih lewat jaringan seluler. ah, kamu takut sendirian? - sindir nurani. aku hanya tertawa kecil, meledeknya saja. toh aku juga tak peduli kapan yang kutunggu itu datang. semua orang di sini menunggu, bukan? hanya kami sibuk menunggu siapa dan siapa.
ya aku tahu, aku sedang sibuk menunggu sebenarnya.
menunggu waktu agar menjadi malam.
dan catatan ini menjadi tiga pandang dari satu sudut, di mana aku duduk di sini.
starbucks cp, 27 November 2010 | 12.40
A.A. - menanti gerombolan siberat :-)
Kamis, 25 November 2010
Aku Hanya Ingin Menjadi Peluru
aku hanya ingin menjadi pembunuh
itu saja
mungkin granat yang kulemparkan
hanya membuat dosa hitam di depan lapangan tembak
dan kau hangus di dalamnya
mungkin pula pisau yang kutusukkan
hanya membuat kau geli meski ususmu berjejal di jalan
dan kau dilihat jijik orang
mungkin pula gas air mata yang kusemprotkan
hanya membuat kau puas bersedu sedan
dan kau ditertawakan anak kecil
mungkin pula racun yang kutaburkan
hanya membuatmu menikmati makanan yang kusajikan
dan kau belum pulalah mati
aku hanya ingin menjadi pembunuh
itu saja
aku hanya ingin menjadi peluru
hanya ingin menjadi peluru
ingin menjadi peluru
menjadi peluru
peluru
peluru yang dapat membuatmu merasakan nyaman
peluru yang dapat mengurangi rasa sakit
peluru yang dapat merenggut nyawamu pelan
aku hanya ingin menjadi peluru
hari ini
yang bersarang mesra di dadamu
yang melubangi hatimu
aku hanya ingin menjadi peluru
hanya ingin menjadi peluru
ingin menjadi peluru
menjadi peluru
peluru
peluru
pelu... ru. Uh!
Jakarta, 14 November 2010 | 6.24
A.A. - dalam sebuah inisial
Jumat, 19 November 2010
Melawat Pagi
musim membawa daun menjadi gugur
aku cuma ingin mendambamu lewat lawat pagi
meski lewat topi yang kau letakkan
di terban selasar ilusi yang tak lagi kejur
segala asa yang dibangun
hanya bisa kau diktekan kepada anakmu
bagaimana seorang bertongkat
berani untuk mencintaimu
mengabaikan satir yang mencambuknya
dan cinta itu terlalu obsolet...
obsolet sekali.
Jakarta, 19 November 2010 | 20.20
A.A. - dalam sebuah inisial
Sabtu, 13 November 2010
Batas Angan dan Cita-cita
Apa yang menjadi batas antara angan dan cita-cita hari ini, kemarin, esok, lusa, atau kapan pun itu semua?
Terlalu subyektif untuk mencari parameternya karena tentulah setiap orang memiliki persepsinya masing-masing.
Lalu apa yang menjadi satu landasan untuk mengatakan bahwa inilah cita-cita yang pernah kita cita-citakan?
Kemudian, bagaimana kita mewujudkannya? Apakah sekadar pemanis hidup atau memang sebagai angan yang terbang bebas dan berpindah-pindah seperti elektron?
Mari kita berbicara!
Jakarta, 14 November 2010 | 7.03
A.A. - dalam sebuah inisial
Minggu, 07 November 2010
Sajak Seorang Tua di Bawah Pohon
inilah sajakku
seorang tua yang berdiri di bawah pohon meranggas
dengan kedua tangan kugendongt di belakang
dan rokok kretek yang padam di mulutku
aku memandang jaman
aku melihat gambaran ekonomi
di etalase toko yang penuh merk asing
dan jalan – jalan bobrok antar desa
yang tidak memungkinkan pergaulan
aku melihat penggarongan dan pembusukan
aku meludah di atas tanah
aku berdiri di muka kantor polisi
aku melihat wajah berdarah seorang demonstran
aku melihat kekerasan tanpa undang – undang
dan sebatang jalan panjang
penuh debu
penuh kucing – kucing liar
penuh anak – anak berkudis
penuh serdadu – serdadu yang jelek dan menakutkan
aku berjalan menempuh matahari
menyusuri jalan sejarah pembangunan
yang kotor dan penuh penipuan
aku mendengar orang berkata :
"hak asasi manusia tidak sama di mana-mana
di sini, demi iklim pembangunan yang baik
kemerdekaan berpolitik harus dibatasi
mengatasi kemiskinan
meminta pengorbanan sedikit hak asasi"
astaga, tahi kerbo apa ini !!
apa disangka kentut bisa mengganti rasa keadilan ?
di negeri ini hak asasi dikurangi
justru untuk membela yang mapan dan kaya
buruh, tani, nelayan, wartawan dan mahasiswa
dibikin tidak berdaya
o, kepalsuan yang diberhalakan
berapa jauh akan bisa kau lawan kenyataan kehidupan
aku mendengar bising kendaraan
aku mendengar pengadilan sandiwara
aku mendengar warta berita
ada gerilya kota merajalela di eropa
seorang cukong bekas kaki tangan fasis
seorang yang gigih, melawan buruh
telah diculik dan dibunuh
oleh golongan orang – orang marah
aku menatap senjakala di pelabuhan
kakiku ngilu
dan rokok di mulutku padam lagi
aku melihat darah di langit
ya ! ya !
kekerasan mulai mempesona orang
yang kuasa serba menekan
yang marah mulai mengeluarkan senjata
bajingan dilawan secara bajingan
ya!
inilah kini kemungkinan yang mulai menggoda orang
bila pengadilan tidak menindak bajingan resmi
maka bajingan jalanan yang akan mengadili
lalu apa kata nurani kemanusiaan ?
siapakah yang menciptakan keadaan darurat ini ?
apakah orang harus meneladan tingkah laku bajingan resmi ?
bila tidak, kenapa bajingan resmi tidak ditindak ?
apakah kata nurani kemanusiaan ?
o, senjakala yang menyala !
singkat tapi menggetarkan hati !
lalu sebentar lagi orang kan mencari bulan dan bintang – bintang !
o, gambaran – gambaran yang fana !
kerna langit di badan tidak berhawa
dan langit di luar dilabur bias senjakala
maka nurani dibius tipudaya
ya ! ya !
akulah seorang tua !
yang capek tapi belum menyerah pada mati
kini aku berdiri di perempatan jalan
aku merasa tubuhku sudah menjadi anjing
tetapi jiwaku mencoba menulis sajak
sebagai seorang manusia
W.S. Rendra - Potret Pembangunan dalam Puisi
7 November 1935 - 7 November 2010
Sabtu, 06 November 2010
Kepergian Seorang Penyair
tak lagi kudengarkan asamu, hai penyair
tak juga berhembus asap dari mulutmu
melepas hari demi hari dengan aksara
lanyau di mejamu hanyut diombang waktu
jingga langit mengantar memendam jasadmu
meski puisi masih bergayung di mesin percetakan
kobar namamu tak dipadamkan badai
apa? kamu masih ingin menulis
yang benar saja dirimu itu, hai penyair
apa Tuhan menyediakan kertas dan pena?
atau mesin tik yang terbaru?
atau pula komputer yang mengerti isi otakmu?
hatif dari rantai bergema mencambuk huruf yang nakal
enggan untuk diam, aku tahu itu ulahmu, hai penyair
mengapa kau masih enggan untuk menerima mati
jasadmu sudah disadap tanah, bung penyair
ha? kau mengatakan aku hanya suka bercerabih?
hai penyair, sampai kapan kau menolak mati?
sudahlah, kau sudah mati, penyair!
tapi, kamu masih berpuisi di surga 'kan?
Jakarta, 7 November 2010 | 12.43
A.A. - dalam sebuah inisial
Kamis, 04 November 2010
Cerita Tentang Kehilangan
Tak lagi dapat kupungkiri bahwa aku memang kehilanganmu. Kehilanganmu memang seperti kehilangan matahari di mana aku tak menemukan cahaya yang dapat melepaskan kegulitaan daripadaku. Meski semua hari berlari begitu cepat, melepaskanmu untuk pergi berlalu meninggalkanku seperti angin. Ia berhembus datang, bermain-main sedetik, kemudian pergi lagi. Walau sekuat apapun kita melawan, toh pada akhirnya kita juga harus menerima.
Bahwa kita tak akan pernah menemukan perjumpaan tanpa adanya perpisahan, seperti juga kelahiran tanpa adanya kematian. Jugalah seperti kata orang Jepang bahwa semua harus seimbang seperti Yin dan Yang. Mau sepeti apa kita melawan, toh kita juga akan kembali mengikuti arus. Percaya atau tidak, buktikan saja.
Malam ini aku kehilanganmu. Betapa jujurnya aku bukan? Ini bukan hal yang mudah untuk diterima tetapi mudah untuk kau mengerti bagaimana aku mendapatkan bahagia selama ini.
Mungkin hari ini aku bahagia, tapi semu. Tapi apakah aku menyadarinya? Aku tak tahu juga. Aku sendiri masih larut dalam kehilanganmu, di mana letak kebahagiaanku tertambat dalam jatimu.
20.44
A.A.- dalam sebuah inisial
Minggu, 31 Oktober 2010
Ada Luka dari Barat ke Timur
: kepada kamu
tak ada yang abadi daripada ketidakabadian itu
kamu pun juga tahu tentang semua itu
tak seorang pun ingin dileraikan dengan air mata
kamu pun juga tahu tentang semua itu
handuk yang basah, memerah tertumpah darahmu
aku pun juga tahu tentang kepala yang berdarah
tertunduk perih, pedih, meski tak tahu bagaimana harus mengerang
aku tak dapat menjamah hati yang terkoyak darimu
apa kamu tahu, kamu tak pernah merasa sendiri
bukankah dunia memang selalu berputar tanpa kita sadari
ketika itu juga nasib kita ikut berputar juga tanpa kita sadari
atau ini hanya sebuah pertanda hari prakiamat
aku tak tahu, mungkin juga Tuhan meragukan
ayam yang mengerami telurnya berlari cepat
telur itu tak menetas, ia terhanyutkan air bah
ayam itu pun juga tak tahu kabarnya kini seperti apa
apakah ia memperoleh keberuntungannya
ibu yang lalai meninggalkan anaknya begitu saja
rumah sudah terendam, bayi masih di dalam rumah
terlalu kecil untuk tahu bagaimana melompati tempat tidur
tak ada asa untuk kehidupan kedua, semua tahu itu
erupsi yang semakin membahana
abu berkeliaran sebebas-bebasnya
merapi bergetar, tak seorang pendaki berani berdiam di puncaknya
meski kamu berani membayarnya bergalon-galon emas
mungkin kamu
cuma kamu yang berani untuk tetap pergi
menarik ia yang bersujud terakhir kali
membawanya lekas turun untuk ke mana yang lain
mungkin kamu
cuma kamu yang berani untuk tetap bergerak sebagai pejuang
yang memiliki nurani dan cinta
untuk menyelamatkan, memberikan rasa aman
mungkin kamu
cuma kamu yang berani untuk tetap membayar murahnya nyawamu
untuk mereka, ia bukan saudaramu atau temanmu
ia bukan siapa-siapamu
pejuang, selamat jalan...
meski kamu telah pergi
kamu tetap sebagai kenangan banyak orang
pahlawan memang selalu kesiangan
jika ia tak terlambat, ia tak bisa menjadi pahlawan
selamat bertemu di dunia baru kelak!
Teruntuk seorang wartawan dan seorang relawan yang pergi, dan untuk seorang yang setia akan tugas sampai akhir hayat.
Jakarta, 31 Oktober 2010 | 20.18
A.A. - dalam sebuah eulogi
Selasa, 26 Oktober 2010
Everybody Hurts
And the night
The night is yours alone
When you're sure you've had enough of this life
Well hang on
Don't let yourself go
Cause everybody cries
And everybody hurts
Sometimes
Sometimes everything is wrong
Now it's time to sing along
(When your day is night alone)
Hold on, hold on
(If you feel like letting go)
Hold on
If you think you've had too much of this life
Well hang on
Cause everybody hurts
Take comfort in your friends
Everybody hurts
Don't throw your hand
Oh, no
Don't throw your hand
When you feel like you're alone
No, no, no, you're not alone
If you're on your own
In this life
The days and nights are long
When you think you've had too much
Of this life
To hang on
Well, everybody hurts
Sometimes, everybody cries
And everybody hurts
Sometimes
And everybody hurts
Sometimes
So, hold on, hold on
Hold on, hold on
Hold on, hold on
Hold on, hold on
(Everybody hurts
You are not alone)
Everybody Hurts - The Corrs
Di Kotamu, Aku Singgah Entah Ke Mana Hendak Pergi
sekadar ucapan salam
dan selamat tinggal
karena aku hendak pergi berkelana
dalam pedih dan luka yang menyayat.
Untuk Mentawai, Jakarta, Jogjakarta.... Masih ada air mata di sana?
Jakarta, 26 Oktober 2010 | 21.00
A.A. - dalam sebuah inisial
Minggu, 24 Oktober 2010
Yang Memang Tak Pernah Tertambatkan
berputar di bawah kenangan yang suram
tak pernah ada lagi diorama yang bisa dikenang
meski hari telah berganti ribuan kali
harapan yang tumpah dalam kanvas terlihat pedih
walau memang sejarah tidak bisa mengungkap
bagaimana lara berbagi di dalam cerita indahnya
topan di kepalamu
katamu kepadaku sebelum kita bercerai
memecahkan ceria di antara kita
ah, betapa hipokritnya diriku ini
tak jua kusadari waktu mendiktekan banyaknya ia dibuang
hanya untuk mengharapkan sesuatu yang tak akan kembali
tak akan
meski caramu yang sadis itu mendentumkan aku
aku tetap berdiri
tapi aku goyah
tak lagi kau melihatku berjingkat-jingkat
yang ada lagu yang menggambarkan betapa sampah itu semua
kutulis apologi, apologi kepada diriku
dan pahitnya itu kupendam semu
Jakarta, 24 Oktober 2010 | 9.20
A.A.- dalam sebuah inisial
Minggu, 17 Oktober 2010
Kau, Aku
Kau
Kau
Ka
Kaa
Kaaau
Kaaaau
Kaaaaaau
Akkkkkku
Akkkku
Akkku
Akk
Ak
Aku
Aku
Aku
Aku
Aku?
A.A. - dalam sebuah inisial
Sabtu, 16 Oktober 2010
Riwayat Blog
Cukup lama sudah saya mulai menulis catatan di blog. Untuk yang sudah dekat dengan saya, tentu tahu berapa lama dan berapa banyak blog saya di jagat maya ini. Tahu berapa banyak tulisan yang sudah saya tuliskan dan pikiran saya sudah tertumpah di dalamnya. Suatu jagat maya memberikan fasilitas menampung memori otak yang kadang kita sendiri tak sanggup lagi menampungnya.
Blog menjadi sebuah ranah yang membuat kita bisa mengenang masa lalu, siapa diri kita, dan kelak kita akan menjadi apa. Dia menjadi sebuah catatan pribadi di mana semua orang bisa membuka dan membacanya. Catatan pribadi tak selamanya harus bersifat privasi. Kita juga bisa belajar dari pengalaman seseorang berdasarkan catatan yang ada di dalam teknologi digital kini.
Saya memulai blog dengan iseng-iseng. Hanya dengan tujuan awal: ingin bercanda saja dengan diri sendiri. Menertawakan hidup. Saya menganggap bahwa hidup adalah sebuah film yang hanya patut ditertawakan karena kita tidak berperan sebagai figuran, tetapi pemain utama. Kita yang disorot langsung dalam kamera kehidupan. Untuk itu, saya hanya ingin selalu mengenang dan dikenang sebagai seorang pemain yang suka tertawa dalam sebuah film, di mana saya sedang menertawakan diri saya sendiri.
Lama-lama blog menjadi sebuah rutinitas bagi kehidupan saya. Saya menulis di sini. Saya berbagi di sini. Saya pula mendokumentasikan tulisan saya di sini. Dalam waktu sekejap, saya sudah mengarsip tulisan saya dengan rapi. Nilai tambahnya adalah saya bisa dikritik dan mendapatkan asupan saran yang semakin baik untuk diri saya.
“Saya berhenti nge-blog.”
Kata karib saya sambil berhenti mengetik di depan notebook-nya. Saya terdiam dan tersenyum saja. Saya berpikir bahwa dia hanya bercanda. “Blog saya sudah mati. Saya berhenti.”
Saya memandangnya serius kali ini. Mungkin dia adalah salah seorang yang membuat saya tertarik membangun rumah di dunia maya. Sekalipun rumah itu hanyalah rumah sederhana. Rumah yang saya bangun kini tidaklah mewah. Terdiri dari ruang arsip tulisan, koleksi-koleksi pribadi saya, lagu-lagu kegemaran saya, dan kala saya berkesempatan untuk pergi sambil mengambil gambar dan menyimpannya di sini.
Saya pernah berpikiran bahwa suatu hari nanti pasti saya akan meninggalkan dunia maya selamanya. Teman saya tetap tidak dapat jauh dari dunia maya sekalipun ia berhenti menulis blog. Mungkin saya tak akan seperti teman saya itu.
Riwayat blog ini kelak ketika saya memutuskan untuk berhenti nge-blog. Saya sudah memiliki keputusan bahwa blog ini masih akan terus berjalan sampai saya memang tidak bisa lagi menulis blog. Entah mau berapa lama blog ini mengendap, sampai benar-benar tak ada lagi yang dapat saya bagikan dalam dunia maya ini, sampai rumah saya ini tak memberikan dokumentasi cerita lagi.
Saya tidak tahu jelas kapan saya akan berhenti nge-blog. Cepat atau lambat. Jauh atau dekat. Blog ini akan tetap saya wariskan kepada seseorang yang saya percaya untuk memegang dan menggantikan saya bercerita di sini. Entah apapun kelak ceritanya, ini tetap rumah saya, rumah yang saya bangun dengan penuh cinta. Saya pernah tinggal dan berdiam di dalamnya dalam waktu yang lama.
Meski kelak bukan lagi saya yang bercerita di blog ini, saya tetap tidak menginginkan blog ini sebagai “rumah berhantu”. Saya ingin blog ini tetap menjadi blog yang berisi. Blog yang terbuka bagi semua orang, rumah yang selalu terbuka bagi siapa saja. Dokumentasi tulisan saya tak melulu harus dibuka dengan masuk ke dalamnya. Cukup Anda menuliskan alamat blog saya, maka masuklah Anda di rumah saya.
Rumah sederhana ini masih menjadi milik saya. Walaupun kepada siapa blog ini akan terwariskan, dokumentasinya tak akan berubah. Blog menjadi rumah bagi saya. Sebagaimana fungsi rumah adalah memberikan rasa nyaman dan kebebasan, blog ini seharusnya juga demikian bagi saya.
Mungkin suatu hari nanti saya memutuskan kepada siapa blog ini akan terwariskan dan pada akhirnya saya akan rindu, saya akan masuk ke dalam rumah saya di mana nanti bukan lagi rumah saya. Tapi saya pernah berdiam di dalamnya.
Saya tak akan pernah mematikan blog ini, entah riwayat blog ini akan seperti apa kelak.
Jakarta, 10 Oktober 2010 | 02.51
A.A. – dalam sebuah inisial
Rabu, 13 Oktober 2010
Taufik Ismail - Kerendahan Hati
Kalau engkau tak mampu menjadi beringin
yang tegak di puncak bukit
Jadilah belukar, tetapi belukar yang baik,
yang tumbuh di tepi danau
Kalau kamu tak sanggup menjadi belukar,
Jadilah saja rumput, tetapi rumput yang
memperkuat tanggul pinggiran jalan
Kalau engkau tak mampu menjadi jalan raya
Jadilah saja jalan kecil,
Tetapi jalan setapak yang
Membawa orang ke mata air
Tidaklah semua menjadi kapten
tentu harus ada awak kapalnya….
Bukan besar kecilnya tugas yang menjadikan tinggi
rendahnya nilai dirimu
Jadilah saja dirimu….
Sebaik-baiknya dari dirimu sendiri..
Taufik Ismail
Sabtu, 09 Oktober 2010
Bukit Hatimu
riuh orang mencoba keberuntungan merengutmu
seperti Senayan dikerubuti mamon
hanya saja aku terlalu beruntung, dapat kudaki bukitmu
muram wajah mereka yang kalah
mengutukiku agar menjadi abu yang angin membelah
tak lagi ada segelas susu di meja kerjamu
atau untaian mesra dari mereka-mereka
desirmu, cuma aku yang boleh memberimu segelas susu
izinkan aku mendata apa yang kubutuhkan
sebelum aku menambatkan jiwa insani di puncakmu
lembayung hati yang tak padam dilekang gulana
kulilitkan tambang agar aku tak jatuh
aku tak rapuh dalam setengah perjalanan
bukit hatimu yang terjal dapat kupijaki
meski derai hujan membuatku harus tergusar dari tanah
aku tak goyah, aku tetap berteguh
geriap tanpa gempita aku menuju bukitmu
aku bukan seorang yang manis
aku tak semesra mereka yang dapat membuatkanmu segelas susu
aku juga tak pandai berpuisi meski aku selalu menulis
tapi aku bisa memberikanmu kecukupan
sebagaimana hakiki cinta: memberilah dengan totalitas
aku, pendaki yang menuju bukit
bukit hatimu di mana aku akan berdiam
dan biar kiamat membunuhku di atasnya
layang-layang melayang di bukit itu, bukit hatimu
entah ke barat mana ia bergegas menemui tumpuan hati
Jakarta, 9 Oktober 2010 | 23.15
A.A. - dalam sebuah inisial
Imagine - Jhon Lennon
Imagine there's no Heaven
It's easy if you try
No hell below us
Above us only sky
Imagine all the people
Living for today
Imagine there's no countries
It isn't hard to do
Nothing to kill or die for
And no religion too
Imagine all the people
Living life in peace
You may say that I'm a dreamer
But I'm not the only one
I hope someday you'll join us
And the world will be as one
Imagine no possessions
I wonder if you can
No need for greed or hunger
A brotherhood of man
Imagine all the people
Sharing all the world
You may say that I'm a dreamer
But I'm not the only one
I hope someday you'll join us
And the world will live as one
Sabtu, 02 Oktober 2010
Membahagiakan dari Eulogi
Ketika saya berpindah rumah, frekuensi saya bermain dengan anak-anaknya juga berkurang. Saya yang dalam proses bertumbuh dewasa lebih banyak menghabiskan waktu di lingkungan saya yang baru, beradaptasi dengan keadaan sekitar. Tetapi saya tidak langsung meninggalkan teman-teman kecil saya. Saya masih sering mampir ke rumahnya.
Ibu teman sepermainan saya itu seorang penjual makanan. Saya sering membelinya. Kadang saya memesan nasi kuning buatannya. Sejak kanak-kanak saya sering menikmati nasi kuningnya pada saat istirahat di jam sekolah. Ya, saya membawanya pergi ke sekolah. Saya memang sering membuat iri teman-teman saya. Mereka yang sering membeli makanan di sekolah yang itu-itu saja, saya bisa membawa makanan yang saya suka. Pernah suatu ketika, saya memesan nasi goreng buatannya, habis diminta teman-teman saya.
Saya yang bertumbuh dewasa menemukan tubuh yang semakin menua itu beranjak sakit. Saya tahu paman itu sudah sakit sejak lama. Saya berdiri di muka halamannya untuk membayar pesanan makanan yang saya makan siang tadi.
"Om..." sapa saya.
"Eh, kamu! Masuk!" balasnya.
Saya masuk ke dalam rumahnya. Tersenyum kecil. Beliau membalasnya juga dengan senyum kecil. Saya tahu perjuangannya melawan rasa sakitnya itu. Tetapi saya tak pernah ingin mengatakan kabarnya, saya tak mau beliau merasakan sesuatu dari pertanyaan saya.
Lagi dan lagi, saya terlibat diskusi kecil dengannya. Seperti pada masa sebelum saya berpindah. Yang membuat saya tersenyuh adalah: "om cuma ingin melihat anak-anak menikah sebelum om meninggal." Saya mendesahkan nafas. Tak sanggup berkata apapun dari perkataan itu.
Lama tak bertemu dengannya, tak berbincang dengan anak-anaknya pula, kemarin saya mendapatkan kabar bahwa beliau sudah berpulang. Terlalu cepat, ya, terlalu cepat. Impiannya untuk melihat anak-anaknya bahagia tidaklah tercapai. Lagi, saya mendesahkan nafas.
Kabar itu membuat saya berpikir: pernahkah saya membahagiakan orangtua saya?
Orang tua saya tak pernah membicarakan apa yang membuat mereka bahagia, apa yang harus saya berikan kepada mereka agar mereka dapat berbahagia. Mungkin saya harus menebak-nebaknya sendiri. Saya berada di dalam sebuah permainan yang saya tak tahu pasti jawaban sebenarnya apa.
Ketika saya lulus sekolah, saya dinyatakan naik kelas, saya mendapatkan kemenangan, saya terpilih menjadi orang-orang pilihan, atau apapun, saya tidak tahu apakah mereka bahagia dengan pemberian saya itu. Saya tak yakin mereka cukup bahagia dengan hal itu.
Sebenarnya ada sesuatu yang ingin saya katakan kepada mereka bahwa saya ingin membahagiakan mereka, itulah cita-cita saya. Saya rela mengorbankan apapun demi sebuah kebahagiaan yang lahir untuk mereka. Saya menyayangi mereka, simpel dan mudah bukan?
Namun membuat kebahagiaan bukanlah turun dari langit, ia harus diperjuangkan. Begitu kata Pram. Saya selalu berusaha membuat kebahagiaan itu lahir, meski kecil. Saya memperjuangkan kebahagiaan.
"Apakah kalian bahagia?"
Itu pertanyaan yang ingin saya ajukan kepada mereka.
"Apakah kalian bahagia memiliki saya?"
Itu pertanyaan yang ingin saya ajukan kepada mereka.
"I love you more than you know, more than you feel..."
Itu pernyataan yang ingin saya katakan kepada mereka.
Tapi saya tak pernah sanggup, tak pernah ada nyali untuk mengatakan kepada mereka semua hal tentang cinta, semua hal tentang bahagia. Sebelum kematian yang menjadi lubang besar pemisah, ingin saya ungkapkan semua itu. Tapi...
"Apakah saya pernah membahagiakan mereka?"
Itu pertanyaannya kini.
Jakarta, 3 Oktober 2010 | 12.12
A.A. - Pejuang Kebahagiaan
Kamis, 30 September 2010
Selasa, 28 September 2010
Katamu yang Meluluh
cakrawala sederhana mengitari waktu
lalu ia menciptakan kehidupan yang fana
dan dari segala kefanaan itulah
esensi nyata sebagai manusia terlihat
Katamu sewaktu di pantai:
cantiknya dunia bukan karena terpoles
bukan karena kau bedakkan wajahnya
atau kau kenakan lipstik pada bibirnya yang kering basah
seperti air mukamu yang memelas pelita
meski lesu berlari bagai ombak di tubuhmu
Katamu sewaktu di jalan:
meski kutahu awal dunia adalah kegelapan
pelita tetap ada walau hanya terang petromak
poster yang ada di kerak bumi menjadi jelas
atau kursi lapuk yang hampir kududuki
atau kupilih jatuh di depan warung gentana itu
rikuhku dimakan angin, berlalu dia ke utara
Katamu sewaktu di kereta:
Tuhan narsis! Dia hadir dalam wujud kilat
aku tertawa saja kala itu, hujan memecah kaca
tidak meretakkan jendela, tidak menembuskan angin
bergeminglah suara mereka menuju pulang
aku di mana? tanyaku. jawabmu: suatu ziarah
Tuhan di mana? tanyaku -lagi. Jawabmu: terselip di jejak sepatumu
Katamu sewaktu di rumah:
siluet aku dan kamu berbekas di lantai
bercermin seperti malaikat yang melayang
kita mabuk, tanpa anggur ataupun segelas bir
tak juga kita teguk berbutir-butir ala pecandu
tetapi di dalam pelarian nyata
aku, kamu, kita
kamu, aku, kita
kita, aku, kamu
kita, kamu, aku
kita tetap insan yang sama
meski hari telah berbeda, musim sudah pergi berganti-ganti
Jakarta, 28 September 2010 | 19.14
A.A. - dalam sebuah inisial
Minggu, 26 September 2010
Pramoedya dan Saya
Pengaruh Pram kepada kepenulisan saya juga terjadi. Buktinya, saya menjadi kurang dalam menulis. Kadang membuka Wordpad dan untuk mengejar tugas yang jadwalnya sudah di depan mata saja harus membuat saya terdiam sejenak. Bingung apa yang harus saya tulis. Apalagi dengan blog?
Sebenarnya banyak yang bisa saya bagikan dalam tulisan. Toh, banyak orang yang dekat dengan saya tahu bahwa saya tidak bisa melampiaskan suatu cerita dengan bertutur, melainkan dengan menulis. Semakin tidak jelas tulisan saya, pertanda semakin tidak jelas isi hati saya. Semakin tidak jelas juga apa yang sedang saya pikirkan.
Sontak saya merasa nyaman dengan kondisi seperti ini? Tidak. Malah sebaliknya, semakin sulit menulis, saya semakin gelisah. Saya semakin ingin menulis, maka apapun hasilnya adalah yang kedua. Yang pasti saya hendak ingin menulis. Kadang saya memang merasa ini bukan lagi seperti tulisan saya, tetapi di otak saya, setelah menumpahkan seluruh isi kepala, saya sudah merasa cukup.
Kemarin malam, sebelum saya berangkat ke Bandung, saya sempat menggeledah rak buku saya untuk mencari buku bacaan apa yang bisa saya bawa. Tangan saya melewati tumpukan buku-buku Pram. Langsung saja saya ambil salah satu. Dari sana saya sadar, saya mulai jarang menulis. Saya tidak produktif.
Pram lewat tulisannya mengajarkan saya banyak hal. Walaupun sampai akhir hayatnya, saya tak pernah tahu bagaimana sosok lelaki yang dibenci oleh Soeharto dan antek-anteknya itu. Lelaki yang masih meminta rokok saat nafasnya hampir habis. Pram bukan hanya bercerita, tetapi lebih menyentuh pembacanya lewat kata-kata agar si pembaca pun paham begitulah kehidupan yang penat ini memang harus dijalani.
Terlalu lama jeda ini jika saya tidak menulis. Nyaris empat bulan saya hanya mengupdate blog ala kadarnya, menulis di komputer secara sederhana, bahkan tak tahu apa yang harus ditulis dengan memori terbatas di otak ini. Ketika saya sudah menumpahkannya dalam tulisan, bukan alang kepalang rianya hati ini.
Kalau saya harus berterima kasih, kepada Pram-lah saya harus mengatakannya. Pram yang membawa saya selalu untuk tetap menulis, tetap membaca, tetap mencintai sastra apa adanya. Pram yang selalu menambah kosa kata dan gaya bahasa saya. Pram yang memberikan pelajaran bahwa keberanianlah sumber dari segala kehidupan. Jika kita tidak berani, maka jangan pernah untuk hidup. Termasuk juga berani untuk kembali dan tetap menulis.
Saya jatuh cinta kepada Pram, kepada kata-katanya. Dari sana saya selalu belajar memaknai hidup agar lebih berarti, meskipun kecil.
Bandung, 9 September 2010 | 1.06
A.A. – dalam sebuah inisial