
"Aku haus..."
Aku tidak diperbolehkan memberikannya minum. Paru-parunya sudah begitu basah. Dokter mengatakan cukuplah suplai dari infus saja yang hanya boleh masuk ke dalam tubuhnya. Zat kimia sudah begitu banyak menumpuk di dalam tubuhnya. Setiap jam, setiap menit, perawat dan tim medis lainnya hilir mudik. Entah mereka mengukur tensi dan suhu tubuh bapak, memeriksa infus, mengganti botol infus, memberikan suntikan, dan lainnya.
Bau obat ini cukup mengenyangkanku. Aku tak bisa makan. Perutku serasa penuh.
Bapak mencengkram tanganku, namun tidaklah keras. Aku tahu apa yang dikehendakinya. Air. Aku tetap berpura-pura mengacuhkannya. Ini demi kesembuhanmu, Pak...
Namun, bukannya bapak menyerah dan membiarkanku tetap pada pendirianku, bapak malah melambai-lambaikan tangannya ke dekat meja di mana gelas berisi air penuh diletakkan. Ia hampir menggapainya, namun gelas itu pecah.
"Praaaang...."
Aku hanya tercengang menatapnya. Bapak menjatuhkan tangannya lunglai. Perlahan ia menangis. Benar-benar air matanya jatuh. Aku berusaha mengembalikan posisi tidurnya sambil merayunya.
"Pak, paru-paru bapak sudah terlalu basah..."
"Aku hanya ingin minum. Aku haus."
"Tapi ini demi kesembuhan bapak."
"Aku akan mati, aku tahu. Aku tak akan sembuh."
Ketika ia mengatakan itu, pecahlah air mataku. Membelah pipiku sendiri.
"Bapak, jangan bicara seperti itu!"
"Berikan aku minum, setetes saja. Aku tak akan meminta lagi."
Aku meminta gelas baru dan menuangkan air untuknya. Sesuai dengan kesepakatan: setetes air. Kujatuhkan setetes ke dalam mulutnya. Bibirnya begitu kering.
"Tiba saatnya..."
Bapak tertidur, lelap... Lelap sekali. Dan tak pernah bangun lagi untuk meminta setetes air.
Jakarta, 15 November 2009 | 11.42
Terngiang menjagamu di kamar beku itu, Om...
ada yang sakit ya ave, siapa? Semoga cepat sembuh yach
BalasHapussemoga dia tenang disana mbak.. SABAR!
BalasHapusSABUDI (sastra budaya indonesia)
mari kita jaga bersama!
Paman saya, Mbak...
BalasHapusSejak lima tahun silam dia sudah mendapatkan kesembuhan abadi :-)
Saya selalu percaya ada kedamaian di kehidupan barunya, Mas Mus...
BalasHapusTerima kasih...
ketiadaan membuat kita sedih
BalasHapusnamun kematian adalah jalan menuju damai dan keabadian
wait for the truth
Tak ada merpati yang tak merindukan sarang, tak ada melati yang tak akan jatuh melayu...
BalasHapusSemua ada awalnya, maka juga akan ada akhirnya...
Tak ada merpati yang tak merindukan sarang, tak ada melati yang tak akan jatuh melayu...
BalasHapusSemua ada awalnya, maka juga akan ada akhirnya...
jd inget wkt alm. Papaku sakit dulu, mirip keadaan nyah... dan aq yg jaga sendirian... :'(
BalasHapusLarass bingung mo koment, trenyuh ma ceritanya ampe mo netes juga airmata ini. Semoga lebih baik disana ^^
BalasHapusPenyakit memang terbentuk sendiri, tapi manusia punya caranya sendiri untuk berpulang...
BalasHapusSesungguhnya saya tak pernah pandai merawi cerita melankolis dan tidak pernah meminta empati pembaca untuk meneteskan air mata, Mbak Laras :-)
BalasHapusMaaf untuk membuat Mbak Laras bersedih...
6 tahun yg lalu, saya pernah merasakan di ujung kematian. 3minggu terkapar di RS.
BalasHapusdalam pergulatan saya, seakan ada doa2 dan nyanyian2 tiada akhir. Sungguh waktu itu saya tidak merasa takut dan sedih. Yang saya rasa hanya pegangan tangan ortu dan temen2 di badan saya. Mereka yg menangis.
Bukan kematian yang menakutkan, tapi kehilangan.
:(
BalasHapus:D
BalasHapusSaya pernah menuliskan dalam bentuk seperti ini: http://smallnote.multiply.com/journal/item/230
BalasHapusSaya rasa bukan pada rasa kehilangannya itu, tetapi pada rasa berpisah
Jangan sedih, Mbak Rien...
BalasHapus:-)
BalasHapusAkan lbh bnyk air yg menyegarkan alm. Om disana....
BalasHapussemoga beliau mendapat tempat yang terbaik ya ave
BalasHapusmaaf tidak bisa berkata lebih baik lagi
saya cukup banyak ditinggalkan orang yang tercinta membuat saya menjadi sedikit benggong ketika menjumpai hal tsb larut dalam kenangan walau tak rapuh
Karena saya gak dekat dgan ayah saya, apalagi ibu.ketika ibu ku meninggal saya gak ada di dekatnya bahkan saat di RS berbulan2pun saya tidak menemaninya hingga saya merasa belum pernah berbuat apa2 utk ibu saya, setetes pun belum pernah. Maaf mba Ave...
BalasHapusKuamini kata-katamu, Mbak Dwi...
BalasHapusPram pernah mengatakan demikian:
BalasHapusHidup ini, Anakku, hidup ini tak ada harganya sama sekali. Tunggulah saatnya, dan kelak engkau akan berpikir, bahwa sia-sia saja Tuhan menciptakan manusia di dunia ini.
Dari lubuk hati terdalam, kuucapkan maaf... Cerita ini tak bermaksud -sama sekali tidak- untuk mengoreskan kembali luka lama Mbak Laras. Saya sungguh minta maaf...
BalasHapusrememberance untuk mengenang mereka yang telah berjasa bagi hidup kita. tanpa mereka, kita bukan apa-apa...
BalasHapussmg beliau mendapat tempat yang layak di sisi Nya. amin
BalasHapusMustinya dikasi minum Av!
BalasHapusSetegak aja kagak akan mempengaruhi cairan dalam paru-parunya.
kenapa harus minta maaf mba Ave, justru Larass merasa dibukakan bahwa selama ini Larass belom memberikan apa2 untuk ortu. thanks yah.....
BalasHapusYap... Manusia takkan pernah bisa menjadi orang yang sepi di dunia ini...
BalasHapusAmin...
BalasHapusTerima kasih Mbak Eka...
Ini hanya sekadar cerita, Om Amir...
BalasHapusSekadar cerita fiksi yang sungguh kubuatkan fiktif
Maka, kuucapkan terima kasih Mbak Laras atas kesudiannya membaca...
BalasHapusgw tau crita ini... :(
BalasHapuspersis seperti bumi yang menangis demi setetes air nanti ya ave...
BalasHapus:)
BalasHapus