
Rating: | ★★★ |
Category: | Books |
Genre: | Teens |
Author: | Iwok Abqary |
Kadang humor amat dibutuhkan untuk menghibur orang. Tetapi tidak semua humor itu berhasil menghibur. Malah ada humor yang ingin menghibur jadi tersesat. Maksudnya, tersesat dalam arti humornya ada tetapi yang ingin dihibur malah tidak bisa menerjemahkan apa yang ingin dihibur.
Kalau humor Indonesia lebih identik dengan unsur sindiran dan gaya sinisme. Mungkin kalau diterjemahkan dalam bahasa mudahnya seperti ini.
A: ”Gue cinta sama dia, tapi...”
B: ”Tapi tampang lo terlalu jelek makanya ga laku.”
Pembaca atau penonton biasanya langsung tertawa. Unsur sindiran itu (katanya) yang bikin menarik.
Yap, menceritakan sebuah perusahaan jasa yang nyaris gulung tikar karena keempat karyawannya yang jauh dari seorang karyawan. Lilis yang fans berat Adjie Massaid. Dasep yang tukang ngebut. Dirman yang mengantar dengan modal sepeda. Dan Kusmin yang berevolusi ketika harus bertugas ke Damkar. Dengan bos baru, TIKIL mencoba untuk bangkit. Tetapi bos baru, Pak Pri malah lebih senang memasak. Bahkan memasak di kantor. Semakin hari TIKIL semakin kacau. Sampai ada kesadaran untuk bangkit dari keterpurukan itu yang dimulai dari karyawan – karyawannya.
Konflik – konflik yang dihadirkan cukup menarik tetapi kurang terarah. Misalnya pada bagian Lilis, Dasep, dan Dirman yang sedang berlari dari ”racun” Pak Pri dan mencoba memecahkan masalah yang dialami TIKIL tiba-tiba terputus dengan alur Kusmin.
Apa hubungan dengan tulisan pengantar? Ada!
Pada awal tadi saya mengatakan bahwa Humor Indonesia mengandung unsur indiran, TIKIL membawa nuansa baru, membuat pembaca tertawa tanpa menyindir. Seperti pada halaman 20, 114, 149, dan 189. Tetapi tetap masih ada unsur sindiran tetapi tak begitu banyak.
Keterlibatan penulis dalam penceritaan juga masih terlihat. Mungkin ini yang menjadi ciri khas seorang Iwok Abqary. (Bisa dibandingkan dengan review saya
di sini).
Not creative idea, but character of writing. Kalau menulis humor itu susah, memang benar! Membuat orang tertawa sama saja sesulit membuat orang menangis. Beberapa bagian yang (saya tahu pada bagian ini) harusnya saya tertawa, malah gagal. Bahkan di mata saya menjadi bagian yang tak diperlukan. (Sekali lagi, ini soal selera...)
Satu lagi, pada bagian pegawai TIKIL yang saling mengirim surat ke sesamanya patut diacungkan jempol. Saya berhasil besimpati dengan situasi yang sedang dialami TIKIL. Bukan dalam bentuk candaan, melainkan dalam bentuk perenungan bahwa mencari pekerjaan itu susah...
Over all, warna baru dalam dunia humor Indonesia yang cukup jenius.
PS:Hal. 31 -
”Tangan kanannya memberi tanda hormat…”: bukannya Kusmin mengepit pigura di tangan kiri? Maka kalau piguranya jatuh, artinya dia memberi hormat dengan tangan kiri. (Baca paragraf sebelumnya)
Hal 95 -
”... kelangsungan kantor caban,” : seharusnya ”cabang”
Hal 191 -
”… ada lancar tancep nanti…” : seharusnya “layar tancep”.
Aveline Agrippina Tando