Jumat, 31 Desember 2010

Ksatria Tanpa Tahun Baru

: untuk mereka yang tak tahu ini malam tahun baru

ini malam tahun baru
di mana seharusnya kau:
duduk manis di beranda rumah
bercengkrama dengan keluargamu
atau pula tidur saja di ranjangmu

ini malam tahun baru
tak seharusnya kau:
masih sibuk menyapu jalanan
masih mengejar setoran
berjualan terompet
sibuk mengatur lalulintas
menunggu jenazah datang

ini malam tahun baru
inilah seharusnya kau:
menikmati jagung bakar
menyaksikan televisi yang menunggu jam 12
menonton aksi selebriti di Monas
pergi dengan kekasihmu

ini malam tahun baru
tak seharusnya kau:
mengejar laba terompetmu
mengobati mereka yang terluka karena petasan
mencari nafkah untuk anakmu

ini malam tahun baru
dan aku tahu kau tak merayakannya
tidak tahu harus seperti apa
dan bagaimana cara merayakannya

selamat tahun baru untukmu, meski tak ada perayaan bagimu...



Jakarta, 31 Desember 2010 | 23.24
A.A. - dalam sebuah inisial

Kamis, 30 Desember 2010

Fragmentaris



satu cerita,
ia memiliki kisahnya sendiri
meski di dalam sunyi, berderu sakit
meski di dalam hening, ia butuh sendiri
entah pagi, siang, atau malam
: butuh berlindung, sebelum lekas pergi

satu cerita
ia memiliki waktunya sendiri
kalau memang masih ada peluang kecil
yang masam atau manis
dan ada kalanya ia tak perlu dikecap
dan dibiarkan pergi

satu cerita
ia memiliki tafsir sendiri
kadang ia memang harus dikenang
kadang pula ia dibiarkan pergi
kadang juga dilepas
dan diamkan saja
sampai angin yang membawanya menghilang




Jakarta, 30 Desember 2010 | 20.23
A.A. - dalam sebuah inisial

Rabu, 29 Desember 2010

Gol

"goool"
teriak mereka
bola bersarang di gawang
aku memungutnya
kami memang tidak juara
tapi kami menang
kami menang di hati kami



Jakarta, 29 Desember 2010 | 23.24
A.A. - setelah menyaksikan siaran bola

Empat Ceritera Musim denganmu

Satu...

 

Mari buat kesepakatan tentang musim semi yang akan meninggalkan kita. Musim semi akan datang tahun esok, maka biarkanlah ia pergi dengan membawa seribu kenangan di antara keping-keping mozaik yang telah kita susun rapi. Menyimpannya dalam kotak kenangan dan membiarkannya menjadi misteri di hari esok. Karena kita masih memiliki jalan dan kisah yang harus dijalankan sebagaimana mestinya. Hari memang harus silih berganti, pagi memang harus selalu datang, dan kita siap dan tidak siap harus menghadapinya. Kembali menyusun ceritera dan soal itu, nanti sajalah...

 

Dua...

 

Mari lagi-lagi kita buat kesepakatan tentang rahasia di musim gugur yang tetap setia untuk datang. Walau sudah kita kisahkan beribu macam tentang cinta dan asa, tetapi masih jutaan episode yang harus disusun agar terancang dengan rapi. Kita mesti berkelana untuk meneruskan ceritera-ceritera yang belum tersusun dengan apik, masih terus berkisah agar berbuah dengan manis sebelum hari yang jahat menggulingkan kita dan meninggalkan airmata dan rasa kehilangan yang kejam. Hidup memang soal menemukan tujuan akhir yang indah walau pun kita sudah tahu ke mana hidup akan bermuara pada akhirnya.

 

Tiga...

 

Menjelang musim panas, apakah kita pernah berpikir bahwa kita telah memetik buah-buah yang begitu manis dan indah sepanjang dua musim kemarin? Ada waktunya kita merentaskan kehidupan yang manis dan pula harus kembali menjadi gersang, panas, dan melawannya dengan perlahan. Semua orang memiliki kesempatan, asa untuk melawan atau bertahan untuk memiliki kehidupan yang manis. Tapi tidak untuk selamanya menjadi manis. Ada kalanya mereka harus turun dari babak pertandingan dan merenungi diri.

 

Empat...

 

Kita telah menjalankan kehidupan dengan sebaik-baiknya. Sebenar-benarnya. Dengan segala macam ceritera dan sisi humanisme yang menghiasi seluruh jalan yang harus memang dijalani. Dengan terjatuh dan bangkit lagi, kita menemukan satu mozaik. Dengan berdiri dan berjalan lagi, kita menuliskan sebuah ceritera. Dengan berjalan dan menikmati, kita sudah menemukan sisi bagaimana kita harus menjalani kehidupan ini sampai pada akhirnya kita akan berkata: inilah saat untuk pergi dan semua tugas sudah dilaksanakan dengan baik.

 

 

Jakarta, 29 Desember 2010 | 16.53
A.A. - dalam sebuah inisial

Minggu, 26 Desember 2010

Kisah Langit Merah

Rating:★★★
Category:Books
Genre: Literature & Fiction
Author:Bubin Lantang
Petualangan adalah pergi tanpa titik tujuan, membiarkan dirimu tersesat, mencari, dan memilih; dan kamu tak tahu kapan harus pulang.

Mungkin kalimat ini yang membuat tangan saya bergerak menuju almari toko buku dan menaruhnya ke dalam daftar list untuk membacanya. Namun apa daya, saya lagi-lagi mengendapkannya di rak buku dan membuka antrian buku lain yang sudah sekian lama menunggu untuk dibaca.

Jujur, saya bukanlah pengikut setia Bubin Lantang. Saya belum pernah sekali pun menyentuh bukunya, tak pernah membaca cerpennya, apalagi esainya. Tak pernah mengenal seperti apa karakter tulisan dari seorang Bubin Lantang.

Membaca blurb dari Kisah Langit Merah ini, membuat saya tertarik dengan jalan ceritanya. Saya mulai berpikir bahwa ini adalah soal perjalanan seorang Langit Merah. (Nama karakternya pun sangat unik.)Dan blurb yang disajikan pada cover belakang, membuat saya ingin menarik buku ini dan membacanya.

Dengan sudut pandang orang ketiga dan Langit Merah yang menjadi tokoh sentral dari cerita ini, Bubin Lantang bercerita. Dengan alur maju-mundur dan cara bercerita yang dibawa oleh Bubin Lantang secara santai. Ceritanya pun bukanlah cerita yang membuat kita terheran-heran bahkan cenderung terjadi setiap hari di sekeliling kita.

Langit atau Merah adalah seorang yang idealis. Seorang jurnalis yang gelisah, yang tetap kepada pendiriannya untuk selalu jujur dan bersih meski ia berada di sekeliling yang tidak bersih. Jurnalis adalah cita-citanya yang selalu dijunjung tinggi sejak kecil dan berada di dalam redaksi yang kini ia duduki adalah tujuannya. Namun, semua itu berbeda dengan bayangannya di masa kecil. Kotornya dunia jurnalistik membuatnya bagaimana tetap bertahan atau mundur dari pertarungan.

Ditempatkan di desk kriminal sampai dengan dipindahkan ke desk ekonomi, idealismenya tetap bertahan. Kokoh, tak digoyahkan meski dengan rayuan uang dua ratus juta sekali pun. Bahkan ia pun akhirnya memilih mundur ketika atasannya tahu bahwa Langit adalah seorang yang cukup berbahaya, yang bisa mengancam keselamatannya karena Langit bukanlah orang yang bodoh, bahkan sangatlah pandai dalam melakukan penyidikan.

Cerita yang tak asing pula seperti percintaan Daria dan Langit yang berpacaran 12 tahun harus putus karena perbedaan kepercayaan, kasus penjodohan -yang tentu saja tidak asing-, dan tuntutan orangtua yang mendominasi.

Bubin Lantang bercerita apa adanya. Ia bercerita tanpa bermaksud menggurui, mengenal seluruh karakter tokohnya secara utuh, merancangnya dengan baik, merawinya dengan bijak. Ia tahu seorang Langit yang adalah lulusan luar negeri harus bersikap seperti apa dan bagaimana cara berbicaranya. Ia pula tahu bagaimana Langit harus bersikap terhadap wanita yang tak bisa ia miliki.

Bubin tak pula harus memaksa pembacanya untuk terus membaca. Ia memberi jeda bagaimana pembaca harus dimainkan emosinya sedemikian rupa atau membiarkan pembacanya berekplorasi terhadap imajinasinya sendiri. Ia memunculkan pertanyaan-pertanyaan semu dan itulah tugas pembaca Kisah Langit Merah untuk menemukan bagaimana seorang Langit yang gelisah untuk memilih kehidupannya.

Dan hidup memang tidak punya buku petunjuk, kitalah yang harus menjadi petunjuk atas diri kita sendiri. Bubin Lantang mengajak kita pada satu hal: pilihan di tangan kita dan caranya kita memilih, itu yang menjadi persoalan.

Belajar jadi manusia jujur selalu lebih menantang buatku. - hal. 29



Jakarta, 27 Desember 2010 | 13.48
A.A. - dalam sebuah inisial

Selasa, 21 Desember 2010

Ode Untuk Bunda

Sepasang kupu-kupu terbang
Hinggap di ubun-ubun, katamu aku manis
Maka ia menaruh dirinya di atas kepalaku

Aku tersipu manis, memanja diri

Ah, bunda... Bunda...
Pandai saja kau memuji anandamu, bukan kemarin sore kita baru berbelanja?

Kau butuh ini untuk pesta temanmu, katamu memberiku pakaian baru
Tak butuh, masih bisa kukenakan baju pesta kemarin

Makanlah sebelum dingin
Dan aku mengabaikan kata dingin
Membiarkannya begitu saja

Dan senja telah datang
Di ujung sana
Aku tahu betapa bahagianya
Aku pernah memiliki kamu
Aku pernah dimiliki kamu
Aku pernah belajar dan diajar untuk jatuh cinta
Aku pernah berbagi dan menerima kasih sayang

Aku pernah menjadi milikmu
Dan akan menjadi kamu





Jakarta, 22 Desember 2010 | 00.16
A.A. - dalam sebuah inisial

Senin, 20 Desember 2010

Akhir Petualangan


"Tiap orang harus berani mengembara, mematangkan diri, memetik tiap pengalaman menjadi guru, yang akan memberi makna hidup lebih dalam, dan boleh pulang kelak, bila ia sudah cukup paham akan apa arti hidup. Dan itu semua hanya akan diperoleh di tempat yang jauh dari kampung halaman, yang tak pernah punya janji masa depan."  — Mohamad Sobary (Sang Musafir)

 

Edisi catatan akhir tahun saya memang selalu berbeda. Tahun 2008, ketika saya memindahkan laman blog saya dari Blogger ke Multiply, saya mengangkat tema catatan akhir tahun mengenai beresolusi di mana semua orang seakan-akan diwajibkan untuk menentukan tujuan hidupnya pada tahun berikutnya. Seakan-akan, bila kita tidak membuat resolusi, kita tak akan memiliki tujuan yang kita capai. Intinya adalah saya tidak membuat resolusi pada tahun 2009. Sampai kapan? Sampai sekarang juga saya tidak membuat resolusi.

Tahun 2009, saya mengangkat tema pesta kebun. Entah mengapa saya ingin mengangkat tema itu. Saya merasa setahun penuh pada tahun tersebut adalah tahun yang penuh dengan pesta; entah itu pesta yang bahagia atau pun pesta yang mengundang rasa duka. Tahun 2009 saya diisi dengan berbagai macam rasa tersebut. Antara pahit dan manis datang selang-seling.

Nah, tahun ini, tahun 2010, saya mengisinya dengan petualang. Mengapa harus petualang? Mungkin salah satunya saya sering jalan-jalan pada tahun ini. Hahaha...

Sebagaimana sebuah petualangan, kita tak akan menemukan hal yang biasa-biasa saja ketika mengangkat ransel, memutuskan untuk meninggalkan rumah, dan berangkat dari satu kota ke kota yang lain, merasakan keajaiban-keajaiban yang tentunya tak semua orang bisa rasakan. Jatuh-bangun, panas-dingin, bahagia-duka, atau pula hidup-mati menjadi suatu pilihan dalam menentukan keputusan kita bertualang.

Tahun ini pula, saya merasakan hal-hal yang tak pernah saya capai sebelumnya. Kalau ditanya apakah ini tahun yang cukup besar bagi saya, mungkin jawabannya ‘ya’ dalam pancawarsa ini. Saya menemukan esensi-esensi yang menjadi pengalaman seru, haru, menegangkan, bahkan menjadi pencapaian yang cukup besar bagi saya.

Itulah mengapa saya ingin mengangkat tahun ini sebagai tahun yang membawa saya bertualang. Saya menemukan dimensi-dimensi baru, saya menikmati tahun 2010 di mana tak semua orang bisa menikmatinya seperti saya. Saya melewatinya hampir tanpa rasa duka. Saya menjalaninya cukup dengan sukacita.

Pada tahun ini, saya berani menanggalkan satu mimpi saya. Saya merelakannya demi sebuah pencapaian yang jauh lebih besar. Saya tahu bahwa suatu hari saya akan meraihnya, dan kini saya sudah memilikinya. Saya sudah merasakannya. Saya sudah mendapatkan kebahagiaan dari semua itu.

Tahun ini juga tak lepas dari kepergian orang-orang yang pernah saya kasihi, yang pernah mengasihi saya. Bukankah hidup memang datang untuk pergi dan kembali datang? Maka saya tak begitu meratapi karena saya tahu tujuan kehidupan bukan ada di dunia ini, tetapi adalah cara kita untuk kembali, untuk pulang.

Suatu hari pasti petualang akan merasa gelisah. Begitu pula dengan saya, saya selalu merasa gelisah. Saya selalu menginginkan pencapaian-pencapaian yang lebih besar. Saya membebaskan diri saya berkelana, membiarkannya terjebak dalam dunia yang tak pula saya kenal. Menghadapinya sebagaimana saya memang harus menjalaninya. Keluar dari kesesatan entah dalam kondisi hidup dengan tubuh yang terluka atau tidak.

Itulah saya. Sayalah petualang itu. 2010 adalah kota di mana saya memulai. 2010 adalah kota di mana saya mengakhiri.

Petualang memang akan selalu memiliki satu jalan: berangkat.

Dan pula memiliki satu jalan yang lain: kembali.

Saya sudah menjalaninya. Saya berangkat dari kota 2010 dan kini saya kembali pula kepada kota 2010. Saya akan memulai petualangan-petualangan baru di tahun 2011. Seperti apa? Saya sendiri tak pula tahu akan seperti apa tahun-tahun yang akan saya jalankan.

Maka, petualang pun akan kembali, meski ia merasa sendiri dalam pilunya. Saya pun pulang dalam kerinduannya sendiri.

 

Jakarta, 21 Desember 2010 | 1.51
A.A. – dalam sebuah inisial

Pada Pelabuhan yang Senja



Kemarin...
Hanya ada sekelumit kisah
menanti kepulangan
melepas kepergian
melambaikan tangan
memanggil
merelakan
cuma bagaimana kita menerima
sekelumit kisah itu
menjadi suatu sejarah
yang hanya aku dan kamu tahu
bagaimana menyimpannya dalam kotak kenangan

Hari ini...
aku tahu harus menjadi apa
mungkin memang tak lagi sama
memang tak akan sama
karena hari pun selalu berganti
sebagaimana kita mengurai cerita
meski perih
meski bahagia
meski haru
meski pedih
ini hanyalah soal kita menyimpan kotak kenangan

Esok...
ya, kita tak lagi sama
kita pergi dengan jalannya sendiri
kita melepas langkah kita
kita melepas setapak demi setapak
memilih jalan pergi sendiri
mencari rute pulang masing-masing
karena di ujung penantian
masih akan ada penantian
dan penantian tak bisa berakhir
bila kita masih belum bisa
menerima kehilangan dan mendapatinya
lebih dekat, lebih nyata

Lusa...
kotak kenangan akan berdebu
tapi yang tersimpan akan tetap selalu manis
meski ia terasa pahit





Jakarta, 20 Desember 2010 | 16.27
A.A. - dalam sebuah inisial


PS: Mas Dhave, numpang culik fotomu, kalau kau membuka catatanku ini. Matur tengkyuh :-)

Selasa, 14 Desember 2010

60 Tahun Karl May di Indonesia

Start:     Dec 21, '10
End:     Dec 22, '10
Tidak banyak buku fiksi terjemahan yang bisa bertahan hingga 60 tahun (1950-2010) lamanya. Seusai pengakuan kedaulatan RI pada 1949, industri perbukuan di Indonesia mulai menggeliat, dan penerbit NV Noordhoff-Kolff, Batavia, menerbitkan buku: RAJA MINYAK karangan Karl May (1842-1912), seorang penulis buku petualangan asal Jerman, dalam bahasa Indonesia. Tak lama kemudian, karena animo bagus, buku-buku itu diikuti oleh lebih dari 20 judul lainnya.

Buku-buku itulah yang kemudian menginspirasi para remaja Indonesia pada masanya seperti Emil Salim, Goenawan Mohamad, Taufik Ismail, Daniel Dhakidae, Seno Gumira Ajidarma, Gola Gong, Ayu Utami, dan ribuan orang lainnya untuk mengenal arti kemanusiaan; persahabatan orang-orang yang berbeda suku, bangsa , kepercayaan; cinta alam terbuka dan lingkungan hidup; membangkitkan rasa ingin tahu dan penyelidikan; yang kesemuanya dibungkus dalam karya berbentuk "Kisah Petualangan".

Siapa mengira, siapa menduga, buku-buku itu selama 60 tahun tetap dibaca hingga masa kini, dan kiranya akan berjalan terus dari generasi ke generasi berikutnya.

GOETHE INSTITUT bekerja sama dengan Paguyuban Karl May Indonesia (PKMI) mengundang Anda untuk menghadiri acara: "60 Tahun Karl May di Indonesia" yang diselenggarakan di Goethe Institut, Jalan Sam Ratulangi, Menteng, Jakarta Pusat dengan acara sbb:

Selasa, 21 Desember 2010
17.00 - 18.00 Pembukaan dilanjutkan pemutaran film: "100 Tahun Karl May di Indonesia" (40 menit)
18.30 - 19.30 Bedah buku: "Kehidupan dan Upayaku: Suatu Otobiografi dari Karl May", dengan pembahas: Seno Gumira Ajidarma. 19.30 - 21.00 Pemutaran film "Karl May" (bagian pertama) karya Hans Juergen Syberberg (90 menit), subtitel Bahasa Indonesia.

Rabu, 22 Desember 2010
17.00 - 18.00 Pemutaran film biopic: "Si Pengkhayal dari Saksen" (40 menit) subtitel Indonesia
18.30 - 19.30 Diskusi panel "Peran dan Pengaruh Karl May: Masa-kini, Sekarang, Masa-mendatang" dengan pembicara: Franz Magnis-Soeseno, Goenawan Mohamad, dan Akmal Nasery Basral.
19.30 - 21.00 Pemutaran film feature "Karl May" bagian kedua, karya Hans Juergen Syberberg (90 menit), subtitel Bahasa Indonesia.

Minggu, 12 Desember 2010

Berapa Buku yang Anda Baca Tahun 2010?


Sudah berapa buku yang saya baca tahun ini? Ini sebuah pertanyaan yang membuat saya sendiri bingung. Tiba-tiba pertanyaan itu hadir sendiri tanpa saya memintanya. Ya, sudah berapa buku yang saya baca tahun ini. Memang saya bukan orang yang rajin untuk membuat daftar berapa banyak buku yang saya baca setiap bulannya. Yang jelas memang setiap bulan saya pasti menghabiskan buku, entah berapa banyaknya buku itu.

Nah, sambil menjawab pertanyaan itu, saya akan membuat daftar buku-buku yang pernah saya baca tahun ini. Ini masih yang benar-benar saya punya dan yang memang benar saya baca, terlepas dari yang saya pinjam atau saya lupa buku yang pernah saya baca tersebut saya berikan kepada orang lain. (List tidak menunjukkan peringkat)

 

1.       Sejuta Hati untuk Gus Dur, Damien Demantra, Gramedia Pustaka Utama

2.       Perahu Kertas, Dewi “Dee” Lestari, Bentang Pustaka

3.       Epitaph, Daniel Mahendra, Kakilangit Kencana

4.       Memory And Destiny, Yunisa KD, Gramedia Pustaka Utama

5.       100+ Fakta Unik Piala Dunia, Asep Ginanjar dan Agung Harsya, Serambi

6.       Marmut Merah Jambu, Raditya Dika, Bukune

7.       Larasati, Pramoedya Ananta Toer, Lentera Dipantara

8.       Kevin: Belenggu Masa Lalu, Torey Hayden, Qanita

9.       Cinta Mati, Armaya Junior, GagasMedia

10.   Hummingbird, Lavyrle Spencer, GagasMedia

11.   Mendua, Indah Hanaco, GagasMedia

12.   Kisah Langit Merah, Bubin Lantang, GagasMedia

13.   The Edge of Impropriety, Pam Rosenthal, GagasMedia

14.   Cecilia dan Malaikat Ariel, Jostein Gaarder, Mizan

15.   Cinta itu Kamu, Moammar Emka, GagasMedia

16.   Padang Bulan dan Cinta di Dalam Gelas, Andrea Hirata, Bentang Pustaka

17.   The Winner Stands Alone, Paulo Coelho, Gramedia Pustaka Utama

18.   The Naked Traveler 2, Trinity, B First

19.   Gege Mengejar Cinta, Adhitya Mulya, GagasMedia

20.   Pillow Talk, Christian Simamora, GagasMedia

21.   Here, After, Mahir Pradana, GagasMedia

22.   Leaving Microsoft To Change The World, John Wood, Bentang Pustaka

23.   Refrain, Winna Efendi, GagasMedia

24.   Negeri 5 Menara, A. Fuadi, Gramedia Pustaka Utama

25.   Soe Hok-gie... Sekali Lagi, Rudy Badil, Luki Sutrisno Bekti, Nessy Luntungan R., Kepustakaan Populer Gramedia

26.   Satin Merah, Brahmanto Anindito dan Rie Yanti, GagasMedia

27.   Bintang Anak Tuhan, Kirana Kejora, Hifest Publishing

28.   The Pilot’s Woman, Dahlian, GagasMedia

29.   Cruise On You, Margareta Astaman, Atria

30.   How to Simplify Your Love, Marion Kustenmacher & Werner Tiki Kustenmacher, GagasMedia

31.   The Wednesday Letters, Jason F. Wright, GagasMedia

32.   42 Trik Manipulasi Foto di Internet, Ali Zaenal, Mediakita

33.   Petals From The Sky, Mingmei Yip, GagasMedia

34.   Forgiven, Morra Quatro, GagasMedia

35.   Around The World in 80 Dinners, Cheryl & Bill Jamison, GagasMedia

36.   Bad Kitty, Michelle Jaffe, GagasMedia

37.   Jawablah Aku, Susanna Tamaro, Gramedia Pustaka Utama

38.   East Wind West Wind, Pearl S. Buck, Gramedia Pustaka Utama

39.   Iluminasi, Lisa Febriyanti, Kakilangit Kencana

40.   The Man Who Loved Books So Much, Allison Hoover Bartlett, Alvabet

41.   Mr. Darcy, Vampyre, Amanda Grange, GagasMedia

42.   You Belong To Me, Johanna Lindsey, GagasMedia

 

Untuk buku terbaik tahun ini versi saya jatuh kepada “Negeri 5 Menara

Untuk buku dengan gaya bahasa terbaik versi saya jatuh kepada “Kisah Langit Merah

Untuk desain cover terbaik versi saya jatuh kepada “The Wednesday Letters

Untuk buku yang pailing tebal yang saya baca tahun ini tentu saja “Soe Hok-gie... Sekali Lagi

Untuk penulis dengan ide kreatif terbaik versi saya jatuh kepada “Satin Merah

Untuk penulis dengan tema menarik versi saya jatuh kepada “Epitaph

Untuk penulis terbaik versi saya pastilah “Pramoedya Ananta Toer

 

Oh ya, tahun ini juga saya mendapatkan beberapa kiriman buku dan beberapa juga yang tidak sempat saya baca. Hehehe...

Ada dari Ali Zaenal alias Kang Jenk Planet yang (akhirnya) menerbitkan bukunya yang terbaru, “42 Trik Manipulasi Foto di Internet”. Ada hadiah World Book Day dari GagasMedia yaitu “The Wednesday Letters”, “Refrain”, dan “You Belong To Me”. 



Saat berkunjung ke World Book Day di Museum Bank Mandiri juga saya mendapatkan dua buku tetapi saya lupa judulnya. Ada hadiah (iseng-iseng) dari Kick Andy yaitu “Berdamai dengan Kematian”.




Dan karib maya (dan nyata) saya, Tante Rike Jokanan itu, memberikan saya tiga buku sekaligus yaitu “Larasati”, “East Wind West Wind”, dan “Cecilia dan Malaikat Ariel”. Saat bertemu dengannya di Festival Pembaca Indonesia, lagi-lagi buku diberikannya kepada saya, “The Man Who Loved Books So Much”. Ada lagi dari teman Goodreads Indonesia, Om Momo yang memberikan saya “City of Ember”.





Nah, begitulah untuk menjawab pertanyaan saya tadi. Kalau Anda, berapa buku yang sudah Anda baca tahun ini?



Jakarta, 13 Desember 2010 | 1.03
A.A. – Perayap Buku

Selasa, 07 Desember 2010

Here, After

Rating:★★★
Category:Books
Genre: Literature & Fiction
Author:Mahir Pradana
“Saya bukan orang yang pandai mencerca.”



Itu yang saya katakan ketika seorang Mahir Pradana hendak mengirimkan sebuah file yang diharapkannya agar saya membaca dan memberikan kesan apa yang tertinggal setelah saya membacanya. Belum naik cetak dan belum melewati proses proofreading. Saya tahu reaksinya setelah saya menuliskan kalimat itu di dalam gadget saya.



Setelah e-mail darinya saya terima, saya hanya mengunduhnya. Mendiamkannya dalam memori komputer dua hari. Setumpuk pekerjaan sudah menanti saya dan saya pikir tak ada salahnya menomorduakan D.I.A.N.A. itu. Ah, apa pula Diana itu? Manalagi sebagai tagline-nya adalah “Depressing Infatuation about a Never-ending Agony”. Maaf, tak ada waktu untuk menikmati bacaan yang membuat orang menjadi berhalusinasi luas.



Rasa berdosa lahir ketika saya teringat bahwa saya masih berhutang. Saya berjanji kepada Mahir bahwa saya akan mengatakan apa kesan saya setelah membacanya. Saya baru membaca dua halaman saya, kemudian berpindah lagi pada file lainnya. Ketika usai saya menyelesaikannya, tak ada salahnya saya membacanya.



Menginjak bab pertama dari novel ini, saya tertawa saja. Adi. Oh, ini dia rupanya Adi yang menjadi tokoh utama. Dan pikiran saya kembali menari bahwa Adi dan Diana pasti akan menjadi tokoh utamanya. Klise! Begitu juga ketika masuk ke bab kedua. Untuk apa Mahir yang sedang menjadi dewa di novel ini seenaknya saja menulis Adi dan Diana sepanjang itu?



“Gila!”



Tanpa sadar saya mengucapkan kata itu ketika saya berada di bab keempat dalam novel ini. Ketika Putra telah usai bercerita. Saya sedang membaca apa saat ini?



Pantas saja, di senja ketiga di bulan April 2010, tim dewasa berusaha untuk menetaskan naskah yang saya pegang ini sebagai sebuah buku. Saya tahu jawabannya. Tahu mengapa tim firstreader memperjuangkan naskah ini. (Bukan karena sang penulisnya ada dalam rapat besar tersebut)



Hendak apa si Mahir ini? Saya bertanya-tanya sendiri. Siapa tokoh utamanya? Saya benar-benar jengkel sekali dengan novel ini. Mana klimaks dan antiklimaksnya? Eh, apakah ini soal cinta? Saya terdiam dengan pertanyaan terakhir. Di tengah rasa jengkel saya yang semakin membuncah setelah pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam pikiran saya menari-nari, saya insafi satu hal: dia bermain dengan cinta.



Matilah saya malam itu. Saya semakin gencar menghabiskan bab demi bab novel tersebut. Persetan dengan tengah malam di mana esok hari saya masih ditunggu oleh tugas yang membumbung tinggi. Semakin malam, saya semakin dilarutkan oleh D.I.A.N.A. Egh! Novel macam apa ini? Lancangnya ia menarik saya masuk ke dalam dimensi lain dan mengajak saya bermain-main dengan dongengnya di tengah malam.



“Aku adalah karakter jahat dalam cerita ini dan aku memang pantas untuk dibenci.” – hal. 90



Mana ada penulis yang mengadakan pengakuan dosa kepada pembacanya dengan menulis seperti ini? Benar-benar gila penulis yang satu ini. Mengajak pembacanya untuk lekaslah membenci karakter yang ia ciptakan sendiri. Saya terus menjelajahi setiap karakter, setiap tokoh, dan setiap penceritaan yang lahir. Mahir mampu melarutkan saya dalam ceritera rekaannya sendiri.



Rasa bergidik ngeri, takut, bahagia, marah, dan apapun itu beraduk satu. Seorang Mahir menyeret saya untuk menghabiskan D.I.A.N.A. lebih utuh tengah malam. Seolah-olah semua karakter tersebut menjebak saya dalam dimensi yang berbeda-beda. Saya berada pada karakter demi karakter yang berbeda dan saya sadar: novel ini akan membuat suatu lingkaran terhadap seluruh tokoh yang ada.



Seperti halnya menggambar lingkaran, kita tak boleh berhenti. Jika berhenti, kita belum tentu berada pada titik yang sama. Itulah Here, After. Itulah D.I.A.N.A. Saya tidak diperkenankannya berhenti membaca sebelum menuntaskannya.



Cinta yang klise? Saya tarik lagi ucapan saya sebelumnya. Sampai bab ketujuh pun saya tak tahu misteri apa yang disimpan oleh Mahir bersama dengan kesepuluh tokoh rekaannya itu. Semakin menelusuri, misteri semakin runyam, semakin mengajak saya berpikir dan tak lagi memandang waktu yang sudah menginjak jam dua pagi.



Entahlah, ini sebuah novel atau kumpulan cerpen yang saling bertautan, atau juga seperti Dan Brown yang mengajak saya terus berpikir apa yang dewa-dewa kehendaki dalam karyanya ini. Seorang Mahir di dalam 197 halaman mampu mencampurkan semua rasa: pahit, ngeri, takut, marah, sedih, pilu, dan bahagia.



Menginjak bab kesepuluh, saya tahu apa yang hendak Mahir ceritakan. Tapi, bagaimana dengan pertanyaan-pertanyaan saya tadi? Mana jawabannya?



“Bagaimana dengan ‘cinta’?

Aah, itu bisa menyusul!”




Kekuatan-kekuatan yang lahir sendiri dari novel ini memberikan satu pelajaran bagaimana kita menikmati hidup dan cinta. Here, After bukan hanya mengajak berpikir bagaimana berfilosifi mengenai hidup tetapi juga caranya untuk bercinta dan terjebak di antara segmentasi cerita. Bagaimana merasakan perjumpaan dan kehilangan dalam waktu yang bersamaan. Bagaimana untuk berusaha memberikan rasa sayang dalam konflik-konflik benci yang timbul dari antara keduanya. Ini menjadi satu prestise untuk proses bercerita yang memberikan misteri dan menjebak.



Nah, Bung Mahir, benar bukan apa kata saya? Saya bukanlah orang yang pandai dalam meresensi, tak pandai dalam mencerca. Rasakan sendiri bukan kalau saya malah menulis cerpen di sini?! Jadi, jangan salahkan saya bila saya memang bukan menulis resensi. Dan syukurlah kalau memang ini masih bisa dianggap sebagai resensi.



Oh ya, satu lagi, ini yang ingin saya katakan pada saat saya membaca Here, After. Novel ini memberikan .... *Ah, sial! Tulisannya terputus!*









Jakarta, 7 Desember 2010 | 14.35
A.A. – dalam sebuah inisial




Senin, 06 Desember 2010

Konklusi

Mari berbisnis,
buka lapakmu dengan setia
dari kaki tanah sampai ke ubun-ubun langit
dan tolehkan kepalamu di muka toko
bernas padimu mulai berbumbung
tak perlu serau, kan? - untuk melihat jauhnya radius padimu

ah bagaimana aku bercanda
memang dulu kau berjualan emas
bahkan gaun istrimu dari emas
dan di dompetmu melautlah uang
bukankah horizon selalu menciptakan keajaiban tak terduga

hiperbola aku?
kau katakan ini eulogi?
dari emas menjadi pendulang padi?

ah, mari berbisnis!




Jakarta, 7 Desember 2010 | 9.06
A.A. - dalam sebuah inisial

Jumat, 03 Desember 2010

Festival Pembaca Indonesia

Start:     Dec 5, '10 10:00a
End:     Dec 5, '10 6:00p
Minggu, 5 Desember 2010
Pukul 10.00-18.00 WIB
di Plaza Area GOR Soemantri Brojonegoro
Pasar Festival, Kuningan Jakarta