Dia adalah gabungan besi yang bernasib harus demikian adanya. Dia harus tergesek dengan kecepatan sepur. Dicongkel orang. Dijual atau diinjak oleh orang. Dia tak akan pernah menjadi tuan. Selamanya akan menjadi budak. Budak agar orang - orang yang berkejaran dengan waktu dapat dengan cepat menembus harinya.
Mungkin di atas rel itu kosong. Tak ada yang berbicara.
Sekalipun semut yang melintas di atasnya selain sepur.
Semua makhluk boleh melalu-lalang di atasnya. Tak ada yang berhak untuk membatasi keadaan sesungguhnya.
Tak ada yang mengawasi. Seorang tua yang tertatih - tatih berjalan di atasnya. Tanpa membawa apapun. Dia melewati setiap jalan di atas rel itu. Berjalan seperti orang yang hendak datang pada juragannya. Dia membungkukkan punggungnya.
Di ujung sana, sepur telah berjalan dengan cepatnya. Tak ada waktu untuk berhenti.
"Tereeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeet......................."
Dia tak berjalan ke pinggir. Entahlah, dia memang ingin mati atau tak mendengar.
"Tereeeeeeeeeeeeeeeeeeeeet......................"
Dia bahkan diam di tengah.
"Tereeeeeeeeeeeeeeeeeeeet........................"
Sapaan itu. Ah, bukan! Itu bukan sapaan!
Tubuh yang renta itu tak lagi berbentuk. Tak dapat lagi dibedakan mana kepala, badan, tangan, dan kakinya. Pakaiannya telah berlumur darah. Tak ada yang tahu bahwa tubuh renta itu telah dihajar oleh sepur. Tak ada yang tahu siapa dia. Tak ada yang menghampirinya, hanya sekedar mencari atau mengumpulkan bagian - bagian tubuhnya yang memang ingin mati di atas rel. Semutpun juga tidak. Dia hanya lewat dan melihat tubuh yang akan membangkai itu.
Sekalipun dia salah. Sekalipun dia benar. Atau hal apapun.
Tak ada orang yang berbondong - bondong melihat tubuh itu. Tak ada orang yang histeris. Tak ada orang yang mengumpulkan serpih - serpih tubuhnya. Semua diam. Tak ada orang di sekeliling rel itu. Sekedar untuk tahu bahwa ada yang mati. Semua tak tahu bahwa ada yang mati di atas rel.
Sepur itupun tak berhenti. Sekalipun dia telah membunuh seorang yang renta. Sekalipun dia telah salah atau benar. Penumpang yang menjerit histeris hanya menjadi abaian sejenak.
Dia telah mati dalam kesunyian. Pada sunyi yang paling sunyi.
Di atas rel yang juga mati.
Jakarta, setelah klakson sepur terdengar...
4 April 2009 | 10.20
A.A. - Dalam sebuah inisial
Foto: Rel kereta Bogor - Serpong, Banten
ih syerem..
BalasHapuskakek2 apa nenek2?
eh, foto sendiri ya?
BalasHapuskereeen!
Dua-duanya juga boleh :-)
BalasHapusHehehe... yang waktu itu gue share ke lo
BalasHapus:-D
''Dia telah mati dalam kesunyian.
BalasHapusPada sunyi yang paling sunyi.''
Hallah mbak, sedih dan dalam sekali.... : (
Bunuh diri 'kali ya, gara-gara kagak kebagian BLT?
BalasHapusPantesan jumlah orang miskin di Indonesia berkurang!
hahhhhhh,........
BalasHapusJust a note :-)
BalasHapusMakanya tanah di Jakarta habis untuk TPU saja :-))
BalasHapus:P
BalasHapusbikin orang mikir panjang nie.. artikelnya..
BalasHapuskenapa lagi ya...
BalasHapus*urat lagi error
apa bener penumpang kereta bisa sadar kalau kereta yang ditumpanginya sedang menabrak seorang renta? kalau bis mungkin iya...tapi..yahh gak tahu juga ya, lantaran cuma naik seper beberapa kalai saja, itupun disibukan dengan carut marutnya dan bisingnya penumpang
BalasHapusWhaaa, tragis
BalasHapusHehehe... bukan artikel, Pak Sensei ;-D
BalasHapusEntahlah... :P
BalasHapusBiasanya sadar, Om Damuh... Kereta pasti akan menjadi pelan. Apalagi kalau kereta dalam kota, pasti sadar dan biasanya kereta akan menjadi bergerak lambat bahkan berhenti pada jarak yang jauh. Biasanya keretanya jadi agak labil dalam berjalan.
BalasHapusKe mana perginya menggunakan sepur, Om Damuh?
Walah!
BalasHapusIni beneran terjadi? hiii, pas motret relnya apa nggak serem Ave? Tahu-tahu ada yang njawil dari belakang lho!
BalasHapusAhahahaha... sudah biasa main di rel sana. Jadi ga serem lagi. Paling kalau ada kereta lewat saja :-)
BalasHapusBerarti satu-satunya saksi atas kematian "sang tua renta" adalah Nona AA. Siap-siap jadi saksi di Pengadilan Akhirat nanti he...he...
BalasHapusBtw, cukup menggugah. TFS ya...
waktu itu ke Jakarta-Jogja
BalasHapuscuam beberapa kali saja, karena jarang juga ke Jakarta, dan tentunya jadi pilihan terakhir..hehehehe
Rel mati dan penuh misteri
BalasHapusManembangkan elegi-elegi yang tak terucap
Seperti layaknya manusia diantara Lidah Taring dan bibirnya :)
Tulisannya seep dah ^_^
Si AA tidak tahu apa-apa. Dia hanya sebagai imajinator saja...
BalasHapusHahaha... mencari-cari alasan agar tidak berurusan dengan pengadilan
Jakarta - Jogja? Wah... pasti banyak foto perjalanan!!!
BalasHapusDitampilkan, Om Damuh!
Dibuat puisi, Mbak Dewi :-)
BalasHapuswaduh...
BalasHapusjudulnya Balada Rel Mati :D
Hahaha... Balado Rel Mati :-D
BalasHapuscukup bergidik membacanya...so far tulisanmu bertambah bagus Ve...keep writing my fren :)
BalasHapusKeep writing too...
BalasHapussebuah tragedi kemanusiaan yang dianggap biasa oleh banyak orang.
BalasHapuskebiasaan2 inilah yg akhirnya pelahan mematikan nurani.
Thx, Av...telah membuka cakrawala hati ini...
Benar, Mas Suga. Kadang hal sepele dianggap biasa oleh pola pikir humaniora.
BalasHapusTerima kasih juga telah singgah