Pada hening malam, aku masih sibuk dengan layar komputerku. Padahal waktu telah menunjukkan lewat tengah malam. Entah mengapa, jemari ini masih ingin terus membentuk pola – pola kalimat. Kegilaan besar untukku semalam. Seolah mata dan jemari telah bekerjasama untuk menyiksa malam – malamku dengan tak ingin berhenti beraktifitas.
Kadangpun aku juga mersakan jenuh. Ketika mengetik, aku kehilangan apa yang harusnya aku katakan. Atau aku hanya berdiam diri, menatapi layar komputer semalam suntuk.
Tapi tidak malam itu… Tidak… Malam itu, sungguh gila!
Mengapa dia harus datang pada dunia maya ini? Setelah akupun ingin terlelap dalam mimpi, malah dia mengajakku bercakap – cakap. Ah, kupikir tak ada salahnya juga untuk membicarakan hal yang sebenarnya kuanggap tak penting.
Sampai dia mengatakan: kamu sudah lihat foto perpisahan?
Aku tak menjawabnya untuk yang pertama kali. Sampai dia memanggilku yang ketiga kali: apakah kamu sudah lihat foto perpisahan?
Mengapa? Dan mengapa? Aku hanya ingin bertanya mengapa? Aku sudah mulai belajar melupakan hal – hal yang membuatku tenggelam dalam dunia yang sempit nan gelap. Namun mengapa dan mengapa lagi, dia menanyakan itu.
Pertanyaan itu, seperti ia membasuhku dengan segalon air pada dahaga malam.
Awalnya aku tak ingin melihatnya, tak ada keinginan sama sekali. Setelah ia menunjukkan tempat di mana foto itu, ah… seperti setan merujukku ke dalam dosa. Aku menekan mouseku.
Beberapa wajah yang kukenal menghiasi foto itu terpampang dengan manisnya. Tak ada aku. Aku tak ambil bagian pada kebahagiaan mereka. Kuanggap itu bukan acara perpisahan, tetapi acara selamat tinggal. Karena aku percaya, aku tak akan pernah lagi kembali pada hidup itu. Hidup pada imajinasi yang sungguh menyiksa.
Beberapa wajah bahkan pernah kuanggap sebagai saudaraku. Dan kini mereka telah menjadi pengkhianat. Seolah tak acuh lagi padaku. Aku terdiam. Terpaku pada seseorang. Orang pertama yang memulai sebuah pertengkaran yang kuanggap konyol.
Orang itu. Aku langsung tertawa melihatnya. Bukan mentertawakan wajahnya yang bulat, atau kulitnya yang hitam. Aku menertawakan hidupku yang konyol. Konyol karena harus bertemu dengannya. Konyol karena harus bercakap dengannya. Dan konyol karena dia menjadi dalang pada lakon permainan wayang yang bodoh.
Air mata? Untuk hari ini tak ada air mata. Aku puas mentertawakan hidupku yang konyol. Hidup… hahahaha… sebuah permainan yang berbatas pada waktu.
Mata dan jemari memang sepertinya telah bekerja sama menyiksaku dengan membawaku pada layar masa lalu kehidupanku.
Telah genap 63 tahun Tuhan melangkah bersama kami Baik dalam sisi suka maupun sisi duka Kau hantarkan negeri ini ke arah yang lebih baik Kau mengangkat kami ke arah era pembebasan
Telah Kau berikan tanah air yang tak hentinya menghasilkan Kejernihan kehidupan untuk kami sebagai yang ada di atasnya Telah Kau berikan gunung yang menjulan tinggi Telah Kau berikan laut yang tak henti menghasilkan
Semuanya telah Kau berikan sejak kami terlahir dan akan mati di tanah ini
Perjuangan bangsa ini tak akan terhenti di sini, Tuhan Kami sebagai generasi yang akan menjadi pengolah semua yang Engkau berikan Berikanlah kami kebijaksanaan dan hati yang bersih Hadirkanlah kami sebagai pengayom bangsa untuk generasi berikutnya
Untuk mereka yang berjuang di atas, berikanlah mereka kebijaksanaan Berikanlah mereka hati yang bersih dan bebas dari segala bentuk keharaman Biarkanlah mereka memimpin bangsa ini ke arah yang lebih baik, Tuhan
Memerdekakan bangsa ini juga perlu pengorbanan
Maka itu, kami juga berdoa untuk mereka yang telah gugur Demi sebuah kemerdekaan, mereka yang tertawan, mereka yang terfitnah Semoga doa ini menjadi balas jasa dari kami untuk mereka Yang rela merenggangkan nyawa demi kebebasan Yang rela meneteskan darah demi kebebasan
Untuk mereka yang belum bisa menikmati kemerdekaan Berikanlah mereka harapan untuk merdeka Agar mereka bisa merasakan arti kemerdekaan seperti dunia lainnya
Dan untuk kami sebagai masyarakat Semoga kami bisa mencintai bangsa kami Sebagai mana yang telah diberikan Tuhan kepada kami Sebagai anugerah tak ternilai...
jakarta, 1 jam menjelang perayaan kemerdekaan Indonesia
I used to think that I could not go on And life was nothing but an awful song But now I know the meaning of true love I'm leaning on the everlasting arms
If I can see it, then I can do it If I just believe it, there's nothing to it
[1] I believe I can fly I believe I can touch the sky I think about it every night and day Spread my wings and fly away I believe I can soar I see me running through that open door I believe I can fly I believe I can fly I believe I can fly
See I was on the verge of breaking down Sometimes silence can seem so loud There are miracles in life I must achieve But first I know it starts inside of me, oh
If I can see it, then I can do it If I just believe it, there's nothing to it
[Repeat 1]
Hey, cuz I believe in me, oh
If I can see it, then I can be it If I just believe it, there's nothing to it
[Repeat 1]
Hey, if I just spread my wings I can fly I can fly I can fly, hey If I just spread my wings I can fly Fly-eye-eye
Ke manakah aku tak bisa beranjak jauh Saat itu kesendirianku semakin terasa hebat Menjatuhkan segalanya Segala yang tersisa dalam hidupku
Ke manakah aku harus melangkah Aku semakin tak sanggup menjawabnya Biarkanlah aku menatapmu dalam mimpiku Karena hanya melalui itulah Aku bisa melihatmu sepenuhnya...
Guna mempererat tali silaturahmi antar sesama blogger, sekaligus memeriahkan Hari Kemerdekaan RI ke 63, http://andimujahidin.com “Komunikasi Tanpa Batas” menyelenggarakan lomba menulis bagi para blogger, dengan syarat dan ketentuan sebagai berikut:
* Memiliki alamat URL. * Menyertakan nomor rekening bank dan alamat jelas. * Tema : Memaknai Arti Kemerdekaan RI di Masa Kini. * Tulisan bebas (opini, analisis, atau catatan ringan mengenai HUT RI) * Tulisan harus karya yang orisinil dan belum di publikasikan dimanapun. * Jumlah karakter tulisan tak di batasi asal diketik dengan jarak 1.5 spasi. * Menggunakan Bahasa Indonesia dengan baik dan benar * Naskah dikirim ke email Panitia (andi.smu@gmail.com) paling lambat 12 Agustus 2008. * Panitia akan memilih 3 pemenang sebagai juara, dan masing masing pemenang berhak mendapatkan
Nama-nama pemenang akan di umumkan pada hari peringatan RI atau tepatnya pada 17 agustus 2008. Selain itu, karya tulis dari ke-tiga pemenang akan di tampilkan dalam bentuk Review blog di Komunikasi. Tanpa Batas Homepage. Dan Keputusan Juri bersifat mutlak dan tidak bisa diganggu gugat.
Jika anda seorang blogger pemberani, jangan ragu mengikuti lomba menulis yang tanpa dipunggut biaya pendaftaran. Salam.
Seorang perempuan yang duduk di sebelahnya menyodorkan tangannya. Aku menyambutnya.
“Lisa.” “Laras.”
“Lis, Laras ini temanku pas SMP. Dulu kita sering naik sepeda warna biru yang ada di rumahku itu kalau ke sekolah atau ke mana – mana.” “Iya, Lis. Bram ini sering main ke rumahku dan dekat dengan saudara – sauradaku. Jadi kita sudah seperti saudara.” “Lar, bulan depan kami akan menikah. Aku mau kamu datang.”
Sebuah udangan terbungkus plasti dengan rapi terletak di atas meja. Di sampul depan ada foto Bram dan Lisa dalam kebahagiaan yang teramat sangat. Namun aku merasa senyum Bram agak dipaksakan, beda dengan foto bersamaku di atas sepeda biru itu.
Percakapan siang tadi masih saja membekas di pikiranku. Adalah yang menjadi pikiranku ketika Bram masih lancing menanyakan hal yang tak lagi seharusnya ia tanyakan. Ketika Lisa pergi ke toilet, tak kusangka Bram akan menanyakan ini. “Lar, kamu masih mencintaiku?”
Aku tak datang pada hari pernihakan mereka. Aku cemburu karena perbuatan yang kulakukan sendiri. Padahal malam sebelumnya, aku telah berjanji padanya ketika ia menelponku. Aku pasti datang dalam hari bahagia Bram. Namun realitanya, aku tak ambil bagian dari kebahagiaan mereka.
Gaun yang akan kukenakan pada acara resepsi mereka kukembalikan ke dalam almari. Diam. Undangan pernikahan yang seharusnya kuhadiri masih tergeletak di atas meja.
Sedih. Iri. Kesal.
Tiga keadaan yang kuputuskan sendiri. Penyesalan bukan menjadi saat yang amat tepat. Dan setidaknya aku harus melupakannya. Segera. Itu yang kubutuhkan saat ini.
***
Laras… ketika kamu memutuskan tidak ingin menikah denganku, itu adalah sebuah jawaban yang amat menyakitkan. Namun kini aku memetik buah kebahagiaan dari jawabanmu itu. Ada yang mengisi tempatmu di hatiku, Lisa dan Bram kecilku.
Ketika kamu tak ada dalam acara itu, aku tahu kamu tak sanggup melihatku dengan Lisa. Karena kamu masih mencintaiku. Maka kuharap, ada orang yang akan menempatkan dirimu lebih tinggi daripada aku menempatkanmu. Aku percaya…
Bram, Lisa, dan Bram kecilnya terlihat bahagia. Aku hanya bisa tersenyum. Senyum pedih. Senyum kehilangan. Senyum tangisan. Gambar itu seolah – olah hidup dan menyisipkan pedih untukku. Aku tahu apa yang membuat foto itu menjadi amat pedih.
***
Melupakan Bram adalah fenomena hidup yang amat berat. Karena waktu terus berputar untuk membantuku melupakan Bram, aku mulai tak mengharapkan cinta itu lagi datang kembali untukku.
Bertemu Rudi. Suatu kesempatan emas. Keping hidup.
Rudi memposisikan dirinya sebagai lelaki yang amat pas untukku. Setia dan perhatian. Sama seperti Bram. Selalu menjagaku seperti rajawali yang terus menjaga anaknya.
Aku mulai merasa dia adalah orang yang tepat untuk hidupku.
***
Malam itu, ketika Rudi dan Andri – buah hati semata wayangku dan Rudi -telah terlelap. Aku masih sibuk dengan tugas kantor yang kubawa pulang.
Telpon berdering.
Kuangkat. Suara laki – laki.
“Laras.” Suara itu tak berubah. Serak basah namun terdengar mesra di telingaku.
“Laras, aku mau ketika Tuhan memanggilku, aku mau menemuimu di surga.”
“Bram, maksudmu?”
“Ketika aku mati esok hari atau satu jam lagi, aku ingin kamu adalah yang pertama kali kutemui di surga.”
Air mataku meleleh di pipi. Bram masih terus berkata – kata. Mengapa Bram masuk kembali dalam duniaku? Dan apa maksud dari kata – katanya?
“Ketika tubuhku telah hancur tergerogoti penyakit ini, lalu aku tanpa sengaja memisahkan jiwaku dari ragaku, aku ingin Tuhan tetap menjaga orang – orang yang kukasihi tetap dijagaNya. Dan Laras juga termasuk dalam bagian itu.”
“Bram, maksudmu? Aku tak mengerti.”
“Sebentar lagi, Lar… Sebentar lagi… Penyakit ini akan membunuhku.”
“Bram… kamu sakit apa?”
“Aku hanya ingin mengatakan maaf dan mengucapkan terima kasih atas warna hidupmu yang membuat hidupku tak hanya hitam atau putih saja.”
Telepon itu terputus.
Bram sakit. Bram, mengapa engkau mengatakan itu? Mengapa kau harus mengatakan hal kematian? Bram…
Aku tertegun. Aku membisu. Air mata terus meleleh. Atas ke bawah. Membuat garis kepedihan. Nafasku sesak. Isak tangisku terdengar perlahan.
Saat ini aku hanya berharap Bram tetap bertahan dan tegar.
Bram, jiwa hidup yang akan mati. Bram, cinta hidup yang akan mati. Bram, utuh lalu akan menghilang
***
Mengapa Bram begitu setia padaku? Karena Tuhan memang telah mengskenariokan itu semua.
Mengapa aku harus mengenal Bram? Mengapa Bram harus mencintaiku sampai tak terhingga? Itulah misteri kehidupan antara aku dan Bram.
***
Aku harus sadar, Bram hanya saudara. Aku dan dia telah memiliki suatu garis pemisah. Bram, Lisa, dan Bram kecilnya. Aku, Rudi, dan Andri. Kita harus tahu perbatasan ini. Kita tak boleh saling mencintai lagi.
Aku akan selalu berharap dan terus berharap, Bram akan memilih jalan hidupnya sendiri. Walau akhirnya aku tahu dia akan kalah karena “pembunuh” di tubuhnya. Setidaknya ada senyum yang tersisipi di balik jerit sakitnya.
Bram dan aku, hanya saudara. Dan itu semua hanya klise masa lalu.
Dalam Rangka Kemerdekaan Republik Indonesia Ke-63 maka diadakan lomba penulisan essay dan fotografi di BlueFame dengan tema:
"Untuk Kebangkitan Indonesia Seutuhnya"
Lomba Penulisan Essay
Topik Penulisan Essay : "Seandainya Indonesia Diserang Negara Tetangga"
Berikut ini hadiah yang akan diberikan kepada 3 pemenang utama Lomba Penulisan Essay:
Juara Pertama: Account Premium Rapidshare 3 bulan + Status Elite Member + BF$ 100juta + BF Gold 100juta Juara Kedua: Account Premium Rapidshare 1 bulan + Status Elite Member + BF$ 50juta + BF Gold 50juta. Juara Ketiga: Account Premium Rapidshare 1 bulan + Status Elite Member + BF$ 25juta + BF Gold 25juta.
Syarat-syarat penulisan essay:
1. Member BlueFame. 2. Minimal 500 kata 4 alinea. 3. Original dalam artian belum pernah dipublikasikan di tempat lain.
Tema acuan dalam pembuatan essay ini adalah:
1. Mengapa Indonesia bisa diserang? 2. Konsolidasi kekuatan untuk melawan musuh bersama. 3. Tindakan preventif untuk mencegah kejadian serupa terjadi kembali.
Sistem Penilaian: Diambil nilai tertinggi kumulatif dari 4 juri yang tersedia di BF. Keputusan Juri tidak dapat diganggu gugat!
Juri Lomba Penulisan Essay:
1. om hiro 2. OhYesOhNo 3. Emfeld 4. Cassanopah
Silahkan kirimkan essay anda via email ke : lombakemerdekaan2008@bluefame.net disertai dengan nick anda di BF, cap email paling lambat 17 Agustus 2008.
Pemenang akan diumumkan di BlueFame paling lambat pada 20 Agustus 2008.
Deadline: 18 Oktober 2008. (CAP POS) Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, ProMedia dan Orangutan Conservation Services Program (OCSP) mengadakan Lomba Jurnalistik dengan Tema Konsevasi Orangutan dan Habitatnya. SYARAT
Jurnalis media cetak dan online yang terbit di Indonesia (dilengkapi dengan fotokopi kartu pers dan melampirkan surat pengantar dari pemimpin redaksi medianya) Karya jurnalistik yang diikutsertakan adalah karya yang pernah dipublikasikan [...]
Deadline: 18 Oktober 2008. (CAP POS)
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, ProMedia dan Orangutan Conservation Services Program (OCSP) mengadakan Lomba Jurnalistik dengan Tema Konsevasi Orangutan dan Habitatnya.
SYARAT
1. Jurnalis media cetak dan online yang terbit di Indonesia (dilengkapi dengan fotokopi kartu pers dan melampirkan surat pengantar dari pemimpin redaksi medianya) 2. Karya jurnalistik yang diikutsertakan adalah karya yang pernah dipublikasikan antara Juli 2008 sampai akhir 15 Oktober 2008.
DEADLINE Karya jurnalistik diterima panitia paling lambat 18 Oktober 2008. (CAP POS)
PENGUMUMAN PEMENANG 5 Nopember 2008
TEMA KONSERVASI ORANGUTAN DAN HABITATNYA
Sub TEMA
1. Pentingnya konservasi orangutan bagi Indonesia 2. Alih fungsi habitat orangutan sebagai ancaman terhadap populasi orangutan. 3. Perburuan dan perdagangan orangutan. 4. Illegal loging sebagai ancaman terhadap orangutan dan habitatnya 5. Formulasi dan implementasi regulasi tentang konservasi orangutan dan habitatnya..
DEWAN JURI Dwi Setyo Irawanto (Jurnalis Senior), Dr. Sri Suci Atmoko (Asosiasi Pemerhati dan Peneliti Primata Indonesia/APAPI) , dan Jamartin Sihite (OCSP).
HADIAH
* Hadiah I : Rp. 10.000.000 * Hadiah II : Rp. 7.500.000 * Hadiah III : Rp. 5.000.000 * Hadiah IV : Rp 5.000.000 (Untuk Kategori pengirim berita terbanyak dan kontekstual)
Kirimkan karya jurnalistik ke SEKRETARIAT AJI JAKARTA Jl. Prof. Dr Soepomo No. 1A, Menteng Dalam, Jakarta Selatan Telp/fax 021-83702660 Email : ajijak@cbn.net. id
Atau hubungi panitia 1. Hari Nugroho, 08161854142, harinugr@yahoo. com 2. Shanti Fitria, 08123354877, shanty_fitria@ yahoo.com
Sumber: Kontribusi dari M. Solekhudin (inbox infolomba[at]gmail.com)
Aku masih mencintamu Mengagummu… tak ’kan lelah hati merasa Sesungguhnya aku kalah Namun cintaku tak ‘kan lemah
Keletihan menyergapku malam ini. Sebenarnya aku ingin terlelap dalam mimpi. Tapi aku belum bisa tidur. Pikiranku membawa pada masa lalu setelah Glenn Fredly bersenandung, menyanyikan “Kalah”. Entah mengapa kata – kata yang diucapkan Glenn mengingaktkan diriku pada seseorang yang lama kutinggal jauh dan nyaris kulupakan. Dan dia kembali membuatku menjadi pedih. Membawa kabar yang membuatku menyesal karena masa lalu. Dan sungguh, aku tak ingin kehilangan dia.
***
Sore itu, dua puluh tahun lalu.
“Laras… Laras…” Aku mendengar suara itu dari lorong laboratorium kimia. Aku menoleh ke belakang. Bram berlari ke arahku. Kulihat dia menggenggam buku di tangan kanannya. Dia berhenti tepat di hadapanku. Menyodorkan buku itu.
“Laras, ini bukumu yang kupinjam kemarin. Terima kasih untuk pinjamannya.” “Sama – sama, Bram.”
Kumasukkan buku itu ke dalam tas. Aku berbalik arah dan pergi meninggalkannya.
“Laras, kamu mau pulang?” Tak perlu lagi kutebak apa kata – kata berikutnya yang akan Bram ucapkan. Pasti ia akan mengajakku pulang dengan sepedanya yang baru dibeli dari uang yang ia kumpulkan sejak kelas tiga SMP – tujuh belas tahun silam-.
“Laras, aku sedang mengumpulkan uang. Kamu tahu untuk apa?” Aku hanya menggeleng.
“Aku mau beli sepeda itu!” Ia menunjuk ke arah sepeda yang berwarna biru. “Aku mau ajak kamu jalan – jalan naik sepeda itu, Lar,” lanjutnya. “Kok kamu tidak minta sama bapakmu?” “Aku mau kamu menikmati hasil usahaku.” “Kenapa harus aku?” “Karena aku… cinta kamu, Laras.”
Pinjam catatan adalah hal biasa untuk Bram. Sejak SMP, dia memang suka meminjam catatan dibandingkan menulis catatan sendiri dari yang dijelaskan oleh guru. Anehnya, seseorang yang minta dipinjami olehnya hanya aku. Awalnya aku menanggapi biasa saja. Tetapi lama – lama jurus pinjam catatan itu menjadi cara tersendiri untuknya agar bisa mendekatiku.
Cara pinjam catatan ini sudah sering dipraktekkan di semua kalangan siswa yang sedang berusaha mengejar cintanya, termasuk Bram.
Satu alasan yang membuatku tak bisa menolak untuk tidak meminjami catatan adalah kita ini bersaudara.
Jika aku tak meminjaminya, maka ia akan mengatakan “begitu ya sama saudara?”
Sebenarnya kita bukan saudara kandung. Hanya karena ia sering berkunjung ke rumahku dan sering kali menemuiku tak ada di rumah, ia dianggap ibuku sebagai anak sendiri. Ia sering mengajak ibu dan adik – adikku ngobrol. Sebenarnya itu hanya triknya untuk mengatasi penat menungguku pulang.
Sepeda itu terus ia kayuh, mengantarkanku ke rumah.
***
“Nanti sore, aku mau main ke rumahmu.” Jika ia mengatakan itu, pikiranku beralih pada seseorang sahabatku, Rita. Dia yang menjadi tujuan pelarianku dari Bram ketika Bram mengatakan kalimat itu.
“Rit, nanti sore aku ke rumahmu.” “Pasti Bram datang, iya kan? Kenapa harus menghindar?” “Karena aku takut catatanku dipinjam lagi.”
Sebuah alasan tak relevan untukku. Jawaban konyol selalu kulontarkan.
“Catatan dipinjam saja. Huh! Memang tak boleh?” “Soalnya dia kembaliinnya lama banget.”
***
Selesai sudah masa SMA, masa terakhir taraf pendewasaan seorang insan. Ia akan mendaki puncak yang lebih tinggi lagi, berangkat ke bangku kuliah.
Kuhabiskan waktu di bangku SMA dalam suasana suka dan duka. Terlebih lagi aku bisa mendekati Bram adalah suatu kesempatan tak ternilai. Namun, kesempatan tak ternilai itu selalu kubuang dengan sia – sia, menyakitkan hatinya. Namun cintanya tetap tegak berdiri. Tak mengenal duka untuk terus mendekat pada hidupku.
***
Sore itu, dua puluh tahun lalu.
Aku membantu ibuku mengemas barang – barang. Bapak menyiapkan mobil. Adik – adikku mengangkat barang – barang yang sudah dimasukkan ke dalam dus. Hari itu hari terakhir kami menempati rumah itu. Rumah di sudut jalan. Rumah yang kutempati sejak aku lahir dan kini harus kutinggalkan karena bapak dipindahkan ke Semarang.
Bram datang bersama sepeda birunya. Kulihat dia dari jendela.
“Laras… Laras… ada Bram.” Ayah memanggilku. Ibu menyuruhku menemui Bram. Aku beranjang keluar dan menemuinya. Kami duduk di kursi bambu yang sebentar lagi akan diangkut ke atas truk.
“Laras, besok kamu pindah ke Semarang, ya?” ”Iya.” Kujawab pelan. “Mengapa kamu tidak memberitahuku?” “Karena aku tak mau melihatmu sedih karena aku pergi.” “Salah? Jika aku sedih karena kamu pergi, itu wajar. Tetapi jika kamu pergi tanpa memberitahuku akan menimbulkan sedih yang berbeda. Terasa aku tak ada lagi harapan untuk menemuimu.” “Oh ya? Masak?” Aku mencoba memancing perasaannya. “Iya, karena kamu bukan hanya saudaraku, tetapi juga orang yang aku kasihi.”
Aku terdiam dengan jawabannya. Dia mulai menatapku tajam. Namun tetap ada senyum di bibirnya.
“Setidaknya kamu tahu bagaimana rasanya ditinggal oleh saudara. Mulai besok pagi, aku akan kehilangan penumpang sepedaku. Tak ada lagi yang akan meminjamkan catatan padaku. Dan aku, akan seperti lirik tanpa melodi.”
“Ah, Bram. Itu kan hanya basa – basimu saja.”
“Basa – basi, itu menurutmu! Menurutku, aku akan belajar seperti anak kecil lagi, belajar berdiri dan berjalan. Aku pasti akan jatuh karena kehilanganmu.”
“Aduh, kamu tuh berlebihan banget ya?”
“Berlebihan? Baiklah jika itu tanggapanmu. Tapi setidaknya sebelum kamu memisahkan diri dariku, kamu tahu bahwa aku amat menyayangimu. Aku amat mencintaimu, Laras.”
Aku terdiam dengan jawabannya. Ternyata isi hati kita sama. Aku juga mencintaimu, Bram. Tapi aku tak bisa mengungkapkan perasaanku ini padamu. Sulit sekali rasanya untuk menyatakan apa yang aku rasakan. Bram, dan sebelum batas kota memisahkan aku dan engkau, aku juga ingin engkau tahu, aku juga mencintaimu tapi cinta ini hanya sanggup kuungkap sampai batas hati. Tak bisa melewati pita suaraku.
Bram pergi meninggalkanku. Kulihat ia mengayuh pedal sepedanya lalu menghilang dari halaman depan rumahku bersama sepeda birunya.
***
Sepeda biru, Bram, dan aku.
Foto terakhir aku dan Bram sebelum aku berangkat ke Semarang. Kumasukkan ke dalam buku catatan harianku, terselip di tengahnya. Buku berwarna biru – warna kesukaanku – meluncur ke dalam tas yang akan kubawa esok hari.
“Laras… Ada Rita di bawah!” Aku langsung turun ke bawah. Rita telah menunggu di ruang tamu. Dia memegang kotak kecil yang telah dibungkus kertas kado dengan rapi. Ia menyerahkannya padaku.
“Rita…” “Laras…”
Kami berpelukan dalam sedu sedan. Hari terakhir aku bisa memeluk Rita, sahabatku sejak kecil. Ia menyeka air mataku.
“Rit, tolong aku ya!” “Apa, Laras?” “Tolong jaga Bram, ya? Kalau ada sesuatu, tolong kabari aku!”
Rita diam. Menatapku dalam.
“Rit…” Aku memanggilnya kembali. “Kamu cinta sama Bram?” Otakku berputar mencari alasan agar ia tak tahu apa yang sebenarnya ada di hatiku.
“Kami sudah seperti saudara. Jadi wajar jika aku khawatir padanya bila Bram ada masalah kan?”
Oh dusta. Aku telah mendustai Rita. Mendustai Bram. Mendustai perasaanku sendiri. Lagi dan lagi, aku tak berani mengakui jika aku amat menyayangi Bram, lebih dari sekedar teman dan saudara. Dia adalah anugerah terindah yang Tuhan berikan untukku.
Bram, Rita, maafkan kebohongan nurani itu!
***
Sejak aku pindah ke Semarang, Rita sering mengirimkanku surat. Entah kabar teman – temanku atau kabar tentang dirinya. Yang paling kutunggu adalah kabar Bram. Biasanya dia menuliskannnya pada akhir surat.
Bram dan Nia akan segera menikah.
Aku tertegun dengan kabar itu. Secepat itukah Bram berlari ke lain hati? Tak kusangka, baru enam bulan ia telah mencari yang lain, melupakanku. Padahal ia pernah berjanji padaku untuk satu hal ini. “Aku ingin menikahimu suatu hari nanti.” Ah tidak!
***
Sejak membaca kabar itu, aku tak pernah lagi berniat untuk menghubungi Bram. Aku tak lagi menulis surat untuknya. Surat – suratnya yang rutin ia kirimkan dua minggu sekali tak pernah lagi kubalas.
“Laras, aku datang ke sini untuk menikahimu!” Aku yang terdiam melihatnya kaget mendengar apa yang ia katakan terhadapku.
“Oh ya? Lalu Nia, bagaimana?” “Nia? Maksudmu?” “Bukankah kamu ingin menikah dengannya?” “Kami tidak pernah merencanakan pernikahan karena kami tidak saling mencintai.”
Rita menipuku. Ternyata rita masih mencintai Bram. Sudah kuduga, tidak mungkin Bram mengingkari janjinya padaku. Aku amat mengenal siapa Bram. Ia bukanlah orang yang mudah pindah ke lain hati.
“Jadi, maukah engkau menikah denganku sesuai dengan janjiku yang dulu?” “Tidak! Maksudku, kita tidak bisa menikah.” “Mengapa?” “Karena kita adalah saudara.” “Tapi kita tidak seibu, bukan?” “Ah, memang tidak seibu, tetapi kita tetaplah saudara.”
Ah, tidak! Aku telah berbohong padanya lagi. Bukankah aku mencitaimu seperti kamu mencintaiku? Namun mengapa aku selalu tak bisa mengatakan apa yang seharusnya atau aku meragu karena kita yang terlalu muda untuk menyatakan suatu pernyataan sakral?
Mungkin memang itu harus menjadi pilihan terbaik untukku dan juga untukmu. Bukankah mencintai tak harus selalu memiliki raganya atau mencintai hanya lewat batas cerita? Haruskah mencintaimu lewat imajinasi mimpi yang bersatu bersama malam yang hampa kehilanganmu?
Jika jawabanku membuatmu jatuh, maafkan aku…
Jika cintamu tak bisa kuterima, maafkan aku…
Jika aku dan kamu bertemu lewat khayal, ajarkan aku untuk bermimpi…
Bram hanya tertunduk lesu dengan jawabanku. Kulihat dari bola matanya, ia ingin menjatuhkan bulir – bulir air mata. Sebegitu hebatkah perkataanku menjatuhkan hidupnya?
“Jika itu yang engkau pilih, kuanggap benar. Karena pilihanmu akan membuatmu bahagia termasuk jika engkau dapat memiliki dan hidup bersama yang lain.”
“Artinya kamu bisa menerima jawabanku tadi?”
“Iya, walau akan menyakitkanku pada detik berikutnya. Namun aku selalu percaya, ketika engkau tersenyum dan tertawa, akan mengobati hatiku yang terluka.”
Bram, kumohon maafkan aku…
“Laras, izinkan aku untuk pertama dan terakhir kalinya! Aku ingin memelukmu, walau hanya sedetik.”