Rabu, 29 Februari 2012

Menggenggam Dunia

Rating:★★★
Category:Books
Genre: Biographies & Memoirs
Author:Gol A Gong
Ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara, karena bila jurnalisme bersumber dari fakta, maka sastra bersumber dari kebenaran. ... Kebenaran bisa sampai apapun bentuknya. Bagi saya, dalam bentuk fakta maupun fiksi, kebenaran adalah kebenaran - yang getarannya bisa dirasakan setiap orang. - Seno Gumira Ajidarma

Membuka halaman pertama dari buku Gol A Gong ini membuat saya sempat ragu apakah saya akan berpikiran sama dengan apa yang dituliskannya. Ia menuliskan bahwa dirinya sendiri pun ragu apakah Menggenggam Dunia harus diterbitkan sebagai autobiografi dari dirinya. Apa kata orang setelah membaca buku ini? Mengecap dirinya sebagai penulis yang narsis dan angkuh? Mengecap dirinya tak berbeda dengan penulis yang membanggakan hasil kerjanya sendiri.

Nyaris saya tutup buku ini. Sudah dapat dipastikan kalau buku ini akan saya tutup dan enggan saya baca kalau bukan sedang menunggu di depan Ruang Radiologi RS Borromeus nyaris empat jam dan saya sudah membawa buku bacaan lain selain Menggenggam Dunia ini karena Gol A Gong menuliskan tentang kepercaya-diriannya untuk menggenggam dunia lewat Rumah Dunia hanya untuk mewujudkan mimpinya yang dianggap sebagian orang adalah mimpi yang konyol.

Tapi, pada akhirnya, saya habiskan juga buku ini selama enam hari. Tepat di hari terakhir bulan Februari yang kabisat ini, saya menuliskan resensi saya untuk kali pertama di tahun ini. Ha! Silakan ditertawakan betapa malasnya saya untuk menulis resensi.

Membalik halaman demi halaman, hampir habis separuh buku ini saya baca ketika menunggu tersebut. Sisanya, saya baca beberapa halaman sebelum tidur atau pagi sebelum berangkat mengikuti kuliah. Berselingan dengan buku lainnya yang saya baca. Dan saya pun candu. Gol A Gong patut menuliskan buku ini sebagai sebuah peringatan bahwa negeri ini masih butuh bacaan.

Ketidakpedulian pemerintah terhadap keberadaan literasi terungkap jelas dengan rincian yang (seharusnya) bisa dibuktikan. Gol A Gong -secara tidak langsung- menjadikan buku perjalanannya membangun Rumah Dunia dengan kata-kata sebagai pondasi dan dindingnya ini menjadi sebuah laporan betapa 'korupsinya' pemerintahan di mana Rumah Dunia berdiri dan menjadi sebuah petaka apabila pemerintah hanya memperhatikan hal-hal yang sifatnya tidaklah begitu penting bila mereka tidak memperhatikan bahwa Banten bisa menjadi provinsi yang malas membaca. Gol A Gong melakukan pergerakan untuk itu.

Dikisahkan pula mengapa Gol A Gong berani memutuskan untuk menjadi penulis, menghidupi Tias Tatanka, keempat anaknya, dan Rumah Dunia. Siapa bilang menjadi penulis tidak dapat hidup? Penulis serial Balada Si Roy ini telah membuktikannya. ia pun mengisahkan juga bagaimana ia bisa candu untuk berjalan-jalan dan melahirkan Balada Si Roy, nekat menikahi Tias, dan perkembangan Banten dengan keberadaan Rumah Dunia.

Jangan lupa, jadikan alam sahabatmu; pantai, sungai, gunung, fajar, senja, angin, hujan, laut. Dari sana kamu akan menemukan arti kehidupan sesungguhnya." - hal. 62

Kupikir Gol A Gong patut mendapatkan apa yang telah ia lakukan dan perjuangkan selama ini. Ia patut mendapatkan Rumah Dunia, rumah yang selalu diimpikannya sejak kecil. Kini, mimpi itu tergapai. Bangunan di Komplek Hegar Alam, Serang, tersebut sudah terbangun sedikit demi sedikit. Dari berbagai bantuan, dari berbagai kucuran dana, dari setiap tetes darah Gol A Gong dan Tias Tatanka. Gol A Gong dan Tias boleh berbangga di sebelah rumahnya untuk tinggal ada rumah lain untuk membuat Banten lebih bertumbuh besar dan dewasa lewat bacaan dan media lainnya.

Kupikir terlalu berlebihan Gol A Gong itu di dalam kata pengantarnya. Ia bukanlah penulis yang angkuh, yang membangga-banggakan prestasinya dalam membangun Rumah Dunia. Ia hanya bercerita apa adanya. Ia telah berhasil menggenggam dunia dengan caranya sendiri, dengan mimpinya sendiri, dengan perjuangannya sendiri. Ia mengungkapkan apa yang jarang ditulis di dalam media massa. Ia mengungkapkan kebenaran yang sesungguhnya ketika jurnalisme tidak bisa menuliskannya.

Adalah hal yang tepat -kupikir- bila aku mencantumkan kutipan dari Seno Gumira Ajidarma itu sebagai prolog dari resensiku terhadap buku ini. Gol A Gong akan semakin kuat dengan bukti-bukti tersebut bila ia berani memasukkan artikel atau sekadar cuplikan atau kutipan dari apa yang telah dipublikasikan kepada media massa, terutama di bagian-bagian yang berbau dengan ketidakpedulian pemerintah itu.

Kini, Gol A Gong telah menggenggam mimpinya, menggenggam dunianya. Rumah Dunia menjadi bukti bahwa mimpi masa kecil yang dibangun dalam pikirannya bisa berdiri di halaman rumahnya di kota yang selalu dinantikannya untuk bergerak lebih baik.


Bandung, 29 Februari 2012
A.A.- dalam sebuah inisial



PS: Kalau buku ini cetak ulang, berani kusarankan kepada Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) untuk melakukan penyelarasan aksara berkali-kali terhadap buku ini. Maka, penilaian terhadap buku ini pun kuturunkan dari empat menjadi tiga karena untuk penerbit sebesar KPG, aku keberatan menemukan kesalahan eja yang banyak.

Epilog Februari

Kita akan berjumpa lagi
Di tahun mendatang, di tahun yang istimewa
Untuk sekali lagi perjalanan yang mahamanis

: terima kasih selalu




Bandung, 29 Februari 2012 | 16.19
A.A. - dalam sebuah inisial

Senin, 27 Februari 2012

Secarik Surat yang Tak Ditunggu

Kepada kamu,

 

Memang benar kalau seseorang yang sudah jatuh cinta, semua terasa indah. Bahkan sampai kopi yang rasanya pahit pun tetap dikecap manis, bunga yang layu pun tetap terlihat segar, dan masakan yang seperti makan garam di lidah tetap gurih di hati. Mereka yang pernah jatuh cinta adalah orang yang gila.

Aku pernah jatuh cinta. Kepada lelaki yang tak pernah menantikan kedatangan surat ini. Lelaki yang pernah menjadi teman seperjalananku. Hei, apa kabarmu kini? Masih suka bermain gitar dengan kunci G? Sudah berapa lagu yang kamu bisa sejak kita tak lagi bersua? Terakhir kuingat ada 23 lagu yang sudah kamu mainkan dalam kunci G.

Sebentar. Aku coba menebak isi kepalamu. Ah, pasti kamu sedang bertanya-tanya untuk apa aku mengirim surat ini kepadamu ‘kan? Aku juga tak tahu harus menjawab apa pertanyaanmu. Surat ini tertulis dengan sendirinya. Dirawi di luar kendaliku. Aku tak bisa menghentikannya, tapi aku menikmatinya. Kuharap juga kamu menikmatinya seperti aku menuliskannya sambil mengenang jutaan detik yang kita lalui bersama yang pada akhirnya kita memang harus tak menjadi satu.

Tak semua harus menjadi satu, aku masih teringat dengan katamu.

Dan kita memang tidak bisa bersatu, masih kamu ingat dengan kataku?

Ya, tak selamanya harus menjadi indah. Kadang juga harus ada air mata.

Kalau mengingat masa-masa dulu, lucu juga. Hujan-hujanan di atas motor tuamu yang mogok. Meski kamu selalu mampu membeli motor yang harganya berkali-kali lipat dari motor yang sering batuk-batuk saat di-starter, tetap kamu memilih motor tua itu. Juga ketika ada di laboratorium fisika, kamu selalu bingung membedakan rangkaian paralel dan rangkaian seri walau sudah berkali-kali kugambarkan di papan tulis.

Semua cerita itu masih ada di album tua yang kutemukan saat aku hendak pindah ke Jakarta. Memang, aku menyimpannya khusus di kotak kado itu. Bersama dengan semua benda pemberianmu. Aku tetap menyimpannya rapi.

Harus kuakui, awal pertama berjumpa denganmu, aku memang berdebar-debar. Seperti debaran yang sama saat aku menuliskan surat ini kepadamu. Kalau aku tahu kamu membuka dan membacanya, mungkin debarannya akan semakin membuncah.

Ini soal rasa rindu. Kamu tahu?

Harus kuakui, kali terakhir bersua denganmu, aku menangis. Mataku sembab. Meski aku tahu bahwa kita memang tidak akan bertahan lama, tetap saja air mata selalu membelah pipiku. Ia selalu melanggar perintahku agar tidak turun membasahi pipiku yang selalu dilapisi bedak. Kamu tak pernah tahu soal ini. Ya... aku memang sengaja menahan semua rasa sakit di depanmu. Seolah-olah tak terjadi apa-apa di antara kita. Aku tak mau terlihat cengeng di hadapanmu. Aku tak mau kamu mengatakanku gadis manja seperti sebelumnya di akhir pertemuan kita.

Kini aku menjadi perempuan yang mandiri sejak kita berpisah tiga tahun lalu. Tapi yang tetap sama adalah rambut yang panjang sebahu tak kupotong. Seperti katamu, aku terlihat manis kalau dengan rambut yang digerai dan berkibas di bahu. Kalung yang kamu berikan kepadaku juga masih kusimpan. Iya, kini leherku sudah berhias kalung yang lain. Pemberian laki-laki lain. Tapi bukan berarti aku lupa dengan pemberianmu.

Sekali lagi, apa kabarmu? Malam ini aku mengenang semua cerita kita. Canda kita, tawa kita, air mata kita, duka kita, dan cinta kita.

Aku, perempuan yang pernah mengisi relung hatimu yang kosong. Kemudian meninggalkannya setelah negosiasi di antara kita yang sebenarnya tak bisa kukatakan indah. Selalu mengganjal di hatiku sampai hari ini. Aku lupa mengucapkan tiga kata ajaib: maaf, tolong, terima kasih.

Sepele? Tentu. Tapi maknanya luar biasa.

Tak percaya? Ya ini buktinya. Surat yang sedang kamu hadapi ini.

Aku selalu kesulitan mengucapkan kata itu, terutama kepada kamu. Maka sampai saat kita berjumpa untuk yang terakhir, aku tetap tak bisa mengucapkannya.

Mungkin lewat ini, aku hanya mampu.

Maaf. Jika aku mencintai laki-laki lain selain daripadamu. Kemudian kamu merelakan aku untuk bahagia dengannya. “Dan memang aku tidak bisa membahagiakanmu selain daripada melepaskanmu untuk pergi dengannya, menjalankan kehidupan yang lebih realistis. Ini adalah cara untuk membuatmu merasa cukup.” Setiap kuingat katamu, bendungan air di mataku pecah. Di mana pun keberadaanku, aku pasti menangis. Bahkan aku pernah menangis di depan laki-laki lain yang tak lama lagi akan menjadi milikku seutuhnya.

Tolong. Bila memang kita tidak dapat bersatu, tolong maafkan aku. Untuk semua kesalahanku. Tak bisa kukatakan itu adalah sebuah khilaf. Cinta membuat seseorang menjadi buta, bukan hanya gila. Membuat kita bisa tertawa, menjadi orang yang paling bahagia di dunia ini. Membuat kita bisa menangis, menjadi orang yang paling malang di dunia ini. “Tolong lupakan aku dan bahagialah dengan dia. Ini menjadi bahagiaku juga yang berasal darimu.” Kata-katamu masih ada di dalam catatan harianku. Kutulis beberapa menit kemudian setelah kita tak pernah bertemu lagi.

Terima kasih. Terima kasih untuk jalan yang pernah kita jalani bersama, waktu yang pernah kita putar bersama, langkah yang pernah kita tapaki bersama, kata yang pernah kita ucap bersama, cerita yang pernah kita dongengkan bersama, cita yang pernah kita mimpikan bersama, lagu yang pernah kita lantunkan bersama, dan samua yang pernah kita semuakan bersama. “Terima kasih untuk kebersamaan yang indah.” Kata-kata itu, ia memang berlalu dibawa angin, tapi tidak untukku.

Ini hanya soal rindu, rindu aku kepadamu. Apakah kamu merasakan hal serupa?

 

Seorang yang pernah mencintaimu,

 

A, pemujamu sampai kini.





*) untuk sebuah proyek yang selalu ditunggu dengan senyum :-)

SAYEMBARA MENULIS NOVEL DEWAN KESENIAN JAKARTA 2012

Start:     Feb 27, '12
End:     Aug 30, '12
Untuk merangsang dan meningkatkan kreativitas pengarang Indonesia dalam penulisan novel, Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) kembali menyelenggarakan Sayembara Menulis Novel. Lewat sayembara ini DKJ berharap lahirnya novel-novel terbaik, baik dari pengarang Indonesia yang sudah punya nama maupun pemula, yang memperlihatkan kebaruan dalam bentuk dan isi. Adapun persyaratannya adalah sebagai berikut.

Ketentuan Umum

Peserta adalah warga negara Indonesia (dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk atau bukti identitas lainnya).
Peserta boleh mengirimkan lebih dari satu naskah.
Naskah belum pernah dipublikasikan dalam bentuk apa pun, baik sebagian maupun seluruhnya.
Naskah tidak sedang diikutkan dalam sayembara serupa.
Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia yang baik.
Tema bebas.
Naskah adalah karya asli, bukan saduran, bukan jiplakan (sebagian atau seluruhnya).

Ketentuan Khusus

Panjang naskah minimal 150 halaman A4, spasi 1,5, Times New Roman ukuran 12.
Peserta menyertakan biodata dan alamat lengkap pada lembar tersendiri, di luar naskah.
Empat salinan naskah yang diketik dan dijilid dikirim ke:

Panitia Sayembara Menulis Novel DKJ 2012

Dewan Kesenian Jakarta

Jl. Cikini Raya 73

Jakarta 10330

Batas akhir pengiriman naskah: 30 Agustus 2012 (cap pos atau diantar langsung).



Lain-lain

Para Pemenang akan diumumkan dalam Malam Anugerah Sayembara Menulis Novel DKJ 2012 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada bulan Desember 2012.
Hak Cipta dan hak penerbitan naskah peserta sepenuhnya berada pada penulis.
Keputusan Dewan Juri tidak dapat diganggu gugat dan tidak diadakan surat-menyurat.
Pajak ditanggung pemenang.
Sayembara ini tertutup bagi anggota Dewan Kesenian Jakarta Periode 2009-2012 dan keluarga inti Dewan Juri.
Maklumat ini juga bisa diakses di www.dkj.or.id.
Dewan Juri terdiri dari kalangan sastrawan dan akademisi sastra.



Hadiah

Pemenang utama


Rp. 20.000.000

Empat unggulan


@Rp.4.000.000



Jadwal

Publikasi Maklumat : Maret 2012

Pengumpulan karya : April—Agustus 2012

Penjurian : September—November 2012

Pengumuman pemenang : Akhir Desember 2012


Sumber sini

Senja

ada senja yang hadir sebagai horizon
dan itulah yang kusebut dengan namamu
sebuah keabadian dari hari-hari yang datang
kemudian pergi

kemudian berlalu

mengikuti keberadaan angin




Bandung, 27 Februari 2012 | 18.12
A.A. - dalam sebuah inisial

Senin, 20 Februari 2012

Sebuah Suratan Pagi

:G

kuketahui hari ini
usia itu sangatlah siingkat
lebih singkat dari kata-kata
lebih singkat dari waktu


Jakarta, 21 Februari 2012 | 06.22
A.A. - dalam sebuah inisial

Minggu, 19 Februari 2012

Kepada Sebuah Malam

dan hidup ini terlalu fana, G
aku mengenal kamu bukan dalam waktu yang cepat
tapi aku juga kalut dalam takut untuk kehilangan
pada waktu yang terlalu cepat
sama cepatnya seperti malam menjadi pagi
dan pagi pun bisa menjadi tiada karena waktu

dan hidup ini terlalu perih, G
jika kita tahu sejak kecil tentang dunia yang sesungguhnya
aku tidak menginginkan kata-kata yang manis
kenapa tidak berani untuk tetap berkata jujur
kalau dunia adalah wahana di mana harus berjuang
peluh dan air mata adalah kawan yang paling karib

dan hidup ini terlalu singkat, G
aku tak tahu soal usia esok akankah masih ada
kalau ada, maka aku akan tetap bersukacita
kalau tiada, aku tidak akan memilih dukacita
cukuplah menjadi pertanda bahwa waktu
waktu bisa merenggut setiap kita
tanpa alarm yang berbunyi untuk menandakan
ada malaikat menunggu untuk berjalan-jalan
entah ke mana



Jakarta, 19 Januari 2012 | 23.35
A.A. - dalam sebuah inisial

Jumat, 17 Februari 2012

Perihal: Rahasia




:G



Ada di suatu waktu, kita hanya cukup mengetahui hal-hal yang cukup kita ketahui. Bila ingin tahu yang berlebih pun, kita harus siap dengan rasa sakit dengan rahasia-rahasia yang sebenarnya tak patut kita ketahui. Setiap rasa ingin tahu yang besar harus diikuti dengan persiapan akan rasa kecewa yang sama-sama besar. Tak semua harus kita ketahui dan tak semua harus dipecahkan sebagai hal yang bukan lagi rahasia.

Ada waktunya rahasia hanya perlu bersemayam sebagai rahasia.

Dengan rasa ingin tahuku yang begitu menggebu tentang kamu, aku memang harus siap dengan rasa kecewa yang akan menuntunku kepada seluruh sikapku kemudian hari. Berpura-pura tidak tahu, seakan semua biasa saja. Berpura-pura diam, seakan tak ada yang kusembunyikan. Itulah, mengapa ada kalanya rahasia cukup disimpan menjadi rahasia saja. Tak perlu diketahui orang pada umumnya.

Aku percaya, G.

Setiap orang memiliki masa lalu. Entah masa lalu yang kelam atau yang manis. Seperti langit yang bisa saja mendung tiba-tiba, kemudian cerah kembali atau malah memilih hujan. Setiap waktu, masa itu akan seseorang kenang sendiri. Itu cukup. Tak perlu dibagikan kepada rahasia-rahasia yang perlu ia genapkan untuk diungkap. Dan setiap persoalan di dunia ini hanyalah berdimensi untuk dipecahkan dan dikekalkan di setiap sejarah hidup seseorang.

Hari ini, aku telah cukup belajar mengetahui.

Mengetahui pun memiliki batas. Barangsiapa yang memiliki rasa ingin tahu yang besar, ia pun harus siap memiliki rasa kecewa yang juga sama besarnya. Tidak semua hal harus kita ketahui.

Dan aku memilih hidup dalam menyimpan setiap rahasiamu. Rahasia kepada waktu. Rahasia kepada masa lalu. Terlanjur sudah kuketahui hal tersebut dan ada pula terlanjur aku berjanji agar membiarkan rahasia itu tetap terjaga seperti janin yang ada di dalam rahim ibu. Membiarkan rahasia itu terjaga seperti gelas yang siap retak untuk mempertahankan air di dalam suhu tertentu.

Tak akan kuungkapkan kepada seorang satu pun kepada mereka yang mengetahui tentang kamu. Biar mereka bersikap sewajarnya, sebagaimana aku bersikap pura-pura tidak tahu apa yang pernah terjadi di masa lalu kepada dirimu. Itu jalan yang kutempuh untuk membahagiakanmu selalu. Membiarkan di waktu yang ternyata semakin sedikit ini, aku bisa melihatmu. Bisa selalu merasakan kedekatan yang tidaklah sedikit orang bisa meraba tentang hal tersebut.

Setiap manusia yang bertumbuh dewasa akan memiliki tabir rahasianya sendiri.

Begitu pula denganku, denganmu. Dengan kita.

Dan ada jalan yang tetap kupilih: menyimpan rahasiamu sebagai rahasia.




Bandung, 18 Februari 2012 | 04.46
A.A. - dalam sebuah inisial

Rabu, 15 Februari 2012

Perihal: Kecewa

hari ini aku belajar
ada kalanya manusia harus belajar untuk kecewa
karena tak seharusnya semua ia ketahui
karena tak seharusnya ia menginginkan membuka tabir rahasia

hari ini aku belajar
ada kalanya manusia harus menerima kecewa bagai pil pahit
karena di dunia ini, setiap insan menyimpan masa lalu
dan masa lalu tidaklah selalu manis untuk dikenang

hari ini aku belajar
ada kalanya manusia harus bersikap seakan tiada apa pun
karena di dunia ini ada hal-hal yang memang tak perlu dijangkau
cukup rahasia menjadi rahasia dan diam tetap diam

hari ini aku belajar
kecewa lebih peka dirasakan daripada gembira itu sendiri
tetapi tanpa kehadirannya, gembira pun tak tahu bagaimana disyukuri
sementara itu, luka akan selalu mengering meski berbekas

hari ini aku belajar
bersiaplah menerima kecewa seperti menerima bahagia
bersiaplah menerima lara seperti menerima gembira
bersiaplah menerima duka seperti menerima suka

karena dari sana,
kecewa adalah hal yang baik
sama baiknya dengan hal-hal baik yang orang inginkan



Bandung, 16 Februari 2013 | 01.23
A.A. - dalam sebuah inisial

Sabtu, 11 Februari 2012

Menuju Timur

Category:   Books
Price:   Rp. 33.000,-

Ketika kita tak mampu kembali ke masa kemarin dan tidak lagi bisa menjadi kemarin, ada yang membuat kita kerasan dan tetap betah dalam mengingat masa kemarin yang begitu manis dan terlalu sayang untuk dilupakan, ada cerita yang harus terus terawi dengan bahagia dan membuat kita semakin cinta untuk pulang, yakni kenangan.


Menuju Timur menandakan sebuah harapan selalu ada, selalu datang, selalu mampir dan bukanlah sekadar singgah. Dari timur, matahari terbit sebagai tanda bahwa hari baru telah tiba. Dari timur, matahari menandakan segala cinta dan asa akan selalu bermuara. Bergegaslah, jangan sampai terlambat menuju timur.




====

Pemesanan bisa dilakukan lewat sini atau aveline.agrippina@gmail.com

Harga di atas belum termasuk ongkos kirim.


Prolog: Menuju Timur



Sesungguhnya, tak pernah ada di benak saya bahwa suatu kali saya akan menulis dan terus menulis. Sampai kini. Sampai kini pun saya tetap menulis, entah di mana saja, entah kapan saja. Kini, menulis sudah seperti bernapas bagi saya dan kebutuhan itu bisa membuat saya tetap hidup hingga kini.

Sebuah tawaran menarik datang dari teman saya ketika sedang mengerjakan proyek untuk dua buku. Tanyanya,"mengapa blog-mu yang sudah dikunjungi ribuan orang itu tidak kamu bukukan?" Belum terlintas untuk menjawab apa, dia kembali berujar,"bukukan saja yang terbaik. Dengan cara apa pun."

Akhirnya, saya pun sadar saya memang bukan orang yang rapi dalam mendokumentasikan tulisan saya. Hampir seluruhnya berantakan di mana-mana. Entah di catatan kuliah, catatan sewaktu sekolah, di dalam catatan telepon genggam, blog yang berkeliaran di mana-mana, di blog mikro, entah di mana saja.

Pada akhirnya, Menuju Timur inilah yang menjadikan seluruh catatan saya sedikit rapi. Setelah melewati tahap seleksi, menyusunnya, dan memilih akan diterbitkan dengan cara apa, ia pun terlahir. Prosesnya tak memakan waktu sampai setahun. Bahkan hanya beberapa bulan saja. Ia lebih banyak diendapkan daripada diproses.

Isinya pun banyak mengambil dari blog ini dan pada catatan-catatan saya yang biasa berkeliaran di mana-mana. Dokumentasi yang apik, menurut saya secara pribadi.

Rencana awalnya adalah buku ini akan dipublikasikan bersamaan dengan usia blog ini yang keempat. Tetapi karena saya sudah terikat kontrak dengan salah sebuah penerbit untuk penulisan naskah dan ada proyek lain yang harus dituntaskan mendekati bulan April, maka ia terlahir prematur.

Terima kasih untuk selalu dan tetap mendukung keberadaan blog ini sehingga ia telah menjadi nyata di muka bumi ini. Terima kasih untuk sebuah dedikasi yang besar yang sesungguhnya ini adalah perwujudtan cinta itu sendiri yang tidak pernah pergi begitu saja.

Apa pun keadaannya, ia telah ada. Ia telah lahir.

Selamat datang di dunia ini. Selamat menuju timur.




Bandung, 12 Februari 2012 | 09.30
A.A. - dalam sebuah inisial

Selasa, 07 Februari 2012

Perihal: Pertemuan

tentang satu peristiwa
dan kami diam-diam berbisik
menatap
menyimpan misteri
rindu akan sesuatu
menahan sakit
kemudian berlalu

pergi

dan meninggalkan semua
tak ada jejak yang disimpan
semua terlihat sia-sia



Bandung, 7 Februari 2012 | 21.54
A.A. - dalam sebuah inisial

Jumat, 03 Februari 2012

Ode untuk Bunda

dan satu-satunya orang yang tak bisa kudefinisikan
tapi kurasakan cintanya

sesederhana itulah

adapun tak ada kata terlambat
dan aku anakmu, akan pulang
menemuimu di dalam bahagiamu

bagimu, selamat ulang tahun
meski kuucapkan petang
waktu adalah tetap sama, untukmu



Bandung, 3 Februari 2012 | 19.37
A.A. - dalam sebuah inisial