Jumat, 28 Oktober 2011

Sebuah Pagi


pagi ini tidak hujan meski mendung
seperti kemarau yang disapu hujan
pelangi adalah senyum
hujan adalah air mata
pagi ini langit sedang tersenyum
ditampiknya air mata
dan jadilah hari ini





Jakarta, 29 Oktober 2011 | 07.15
A.A. - dalam sebuah inisial



Rabu, 19 Oktober 2011

Tentang Sepi yang Meraja

Dear G,

Rasanya tidak begitu lama kita tidak bersua meski telah berapa bulan kita terbentang jarak. Apa kabarmu, itu yang hendak kutanyakan. Berkali-kali kutanya lewat angin, hujan, matahari, dan bulan, mungkin aku tahu jawabmu adalah sama. Tetapi lewat pertanyaan berbasa-basi itu, aku setidaknya ingin membuat sebuah persetujuan denganmu bahwa kita memang baik-baik saja dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Kalau kau bertanya tentang apa yang saat ini paling kunikmati, tentu akan kujawab adalah kesendirianku. Ternyata kesendirian itu lebih nikmat daripada hura-hura. Lewat kesendirian itu, aku lebih bebas dengan segala hal yang akan kulewati dan ingin kutempuh. Bahkan tulisan untukmu kali ini, kutulis dengan kesendirianku.

Semakin dewasa, aku semakin sadar ternyata kita akan semakin bergelut dengan kepentingan saja. Aku semakin mengerti bahwa keutuhan yang ada di dunia ini bersifat sementara. Ia akan melebur sendiri dengan keadaan, keberadaan, dan keberadaban. Dan semakin dewasa pula, kita pelan-pelan telah dilepas untuk sanggup berdiri sendiri dan melintasi segala hal yang ingin kita raih.

Sekarang aku cenderung memilih jauh dari hiruk-pikuk dan lebih memilih pulang, membuka laptop, membaca buku, atau mencari teman satu-dua orang untuk berdiskusi. Entah orang-orang mengatakan aku memang ingin mengasingkan diri atau tidak, tetapi dengan cara ini aku mendapatkan apa yang aku inginkan.

Dan aku pun sesekali rindu tentang rumah. Dengan cara ini, aku belajar berkawan, bukan melawan sepi. Aku mencintai sepi seperti aku mencintai diriku, seperti aku mencintai segala kenangan tentang kamu dan yang kutangkap dari segala medan perih ternyata tidak pernah menjadi nyata. Ia hanya lembaran yang begitu klise. Dengan mencintai sepi itu, selalu ada rasaku yang pulang meski jasmaniku masih berada di sini. Masih ada kehangatan tentang rumah yang tak pernah hilang dan kuketahui bahwa yang dinamakan rumah adalah ketika kita mampu menempatkan hati di mana saja kita bisa merasakan zona nyaman.

Di sini sangatlah sepi. Awan berarak ke timur, kata orang-orang dan aku percaya saja. Tidak ada suara kereta, mobil, atau kebisingan lain. Aku pun bisa memutar Enya dengan jelas meski volume suara yang sangat kecil. Cenderung pula aku menghabiskan waktuku dengan tidur meski tak pernah merasa nyenyak. Seringkali aku terbangun di tengah malam atau waktu tidurku tidak pernah sama dengan ketika aku berada di rumah. Tapi bagiku cukup.

G, aku akan pulang. Entah di hari apa, tetapi kurasa kita tidak akan sempat bertemu. Namun aku selalu mendapatkan bahagia ketika aku sanggup menuliskan surat kepadamu dan dengan cara ini kuketahui bahwa kekayaan kata-kata bisa membuatku lebih bernyawa. Lewat cara inilah, kita bertemu.



Bandung, 20 Oktober 2011 | 10.32
A.A. - dalam sebuah inisial

Selasa, 18 Oktober 2011

Suka, Duka, Murka

kau tahu, dengan mengenal sukamu kau akan dapatkan segala bahagia yang orang-orang nantikan, dengan mengenal dukamu kau akan dapatkan segala nestapa yang orang-orang asingkan, dengan mengenal murkamu kau akan dapatkan segala egois yang orang-orang abaikan. berangkat dari suka, duka, murka, kau telah menjadi manusia yang mengalami manis-pahit kehidupan dan tak perlu lagi mengeluh tentang hidup yang terasa sangatlah tawar.


Bandung, 19 Oktober 2011 | 08.08
A.A. - dalam sebuah inisial

Penyair

Penyair

Jika tak ada mesin ketik
aku akan menulis dengan tangan
jika tak ada tinta hitam
aku akan menulis dengan arang.

Jika tak ada kertas
aku akan menulis pada dinding
jika menulis dilarang
aku akan menulis dengan
tetes darah


Sarang Jagat Teater
19 Januari 1988.


Widji Thukul adalah seorang penyair dan aktivis yang lahir pada tanggal 26 Agustus 1963. Terlahir dari ayah yang seorang tukang becak. Rajin menulis puisi sejak SD dan bergabung dengan kelompok Sarang Jagat Teater. Sejak peristiwa 27 Juli 1996, Widji Thukul hilang dan diduga dilenyapkan oleh pemerintah orde baru karena kegiatan aktivisnya. Beberapa orang menyatakan masih melihatnya di tahun 1998. Sejak tahun 2000, ia dinyatakan hilang sampai kini. Salah satu buku kumpulan puisinya yang terkenal adalah 'Aku Ingin Jadi Peluru'.

Senin, 17 Oktober 2011

Bila Aku Dilarang Menulis

bila aku dilarang menulis, pun itu bukan masalah besar bagiku
aku akan menulis dengan tetes darah sebagai tinta*
dan tembok di muka rumahmu kujadikan kertas tak habis

bila aku dilarang menulis, aku tak akan pernah marah
akan kucabik setiap kata dan menempelkannya di pintumu
biar kau tahu kata-kata itu yang akan memenjarakanmu

bila aku dilarang menulis, aku memilih untuk diam
karena kau tidak akan pernah sadari dari diam itu
jantungmu telah berhenti karena jutaan aksara menyumbat detakmu




*) dari puisi Widji Thukul



Bandung, 18 Oktober 2011 | 01.46
A.A. - dalam sebuah inisial

Jumat, 14 Oktober 2011

'Senyawa Apologi' merdeka di dalam 21 Juara Harapan LMCR 2011. Eureka!

Perihal: Berangkat

mungkin memang pulang yang mesti menjadi jawaban
dari semua kegelisahan yang lahir dari rahim waktu
yang dikandung oleh perempuan bernama rindu
dari sana ia menjadi seonggok anak yang sempurna

mungkin memang pulang memberi kecukupan
tentang haus akan cinta dan kasih di dalam dekap
tentang peluk di dalam setiap sapaan yang lembut
tentang cium yang mesra di bibir usia yang menua

dan pula mungkin pulang yang memberikan kecup kenang
biar kamu enggan untuk pergi lagi karena kamu tahu langkahmu
kamu tahu semestinya kamu memang berada di mana
dan di sanalah sesungguhnya rumahmu, letak hatimu bersemayam





Jakarta, 14 Oktober 2011 | 20.12
A.A. - dalam sebuah inisial

Kamis, 13 Oktober 2011

A Part of A Farewell

be a part of you
be a part of your heart
be a part of your journey
and be a part of your life

thank you
to make my life wonderful
to make my love colorful
to make my day beautiful

nice to meet you
but (very) not nice to separate you






Jakarta, October 14th 2011 | 08.04
A.A. - in an initial

Selasa, 11 Oktober 2011

Perihal: Perih

mungkin tuhan tahu seberapa engkau menderita karena perih itu
perih yang tak bisa kau bagikan kepada sekitarmu, kepadaku
perih yang hanya boleh kau nikmati seorang diri di dalam waktumu
atau kau memang hanya ingin menjadikannya bagian dari dirimu

tentang sakit itu bisa saja terobati, tetapi sejarah sudah lebih lekas mencatat
boleh kulit hatimu terluka, ditahirkan, tetapi akan meninggalkan bekas
biar kau ingat lagi rasa sakitmu, rasa perih yang tak bisa kau lupakan
biar kau selalu berusaha untuk tidak menggores luka kepada lawan bicaramu

mungkin tuhan tahu seberapa perih luka jiwamu yang meradang
ia hanya butuh tempat untuk beristirah dan memulihkan isi batin
lebih mengenal siapa dirinya dan tahu caranya untuk menjadi pulih
dari sana, ia menghargai perih sebagai bagian dari darah waktunya



Bandung, 12 Oktober 2011 | 07.27
A.A. - dalam sebuah inisial

Sabtu, 08 Oktober 2011

Ia yang Disebut dengan Cinta

Bukankah kau yang memanggilnya demikian? Adapun aku tidak pernah melarang akan kehadirannya.

Aku hanya membuka pintu agar ia hendak bertamu, menikmati segala suguhan yang ada di rumah hati.

Kau memanggilnya dengan nama itu, aku pun demikian.

Memang mungkin ia yang disebut dengan cinta, ia yang dikenal dengan cinta.

Sehingga bukanlah hal yang tidak indah bila orang-orang bahagia karena ia, pula berlara karena ia.

Ia bisa menjadi sumber bahagia dan sumber nestapa. Ia seperti air yang melegakan, tetapi juga air yang menjadi bah.

Tapi tanpanya, hidup adalah tawar, tak lagi beragi.


Jakarta, 8 Oktober 2011 | 11.18
A.A. - dalam sebuah inisial

Selasa, 04 Oktober 2011

Perihal: Air Mata

bukankah kita pernah mendiskusikan hal ini
di mana kita hanya bisa menderita sakit seorang diri
menyimpan dendam yang tak terbalaskan
mengubur rasa sakit hati yang tak terbuka
dan benar-benar sungguh kesepian
air mata menjadi jawaban untuk memilih langkah
sebagaimana kita pernah pergi kepada waktu
untuk mengemis agar ia tak cepat berlari
agar tak sia-sialah semua hari yang ada
agar tetap ada harapan meski di tengah sepi
meski kau dan aku benar-benar merasa kesepian
air mata menjadi jawaban, untuk kau tahu tentang sebuah kehidupan
yang tak selalu semua orang tahu tentangnya



Bandung, 5 Oktober 2011 |5.01
A.A. - dalam sebuah inisial