Kamis, 29 September 2011

Hari ini, 46 tahun yang lalu, Letkol Untung menjadi orang yang bengis. Enam perwira ditemukan di Lubang Buaya dalam keadaan tewas. Mengingat sejarah adalah melawan lupa, melawan matinya unsur kemanusiaan tentang masa kelam. Melawan lupa adalah tugas seorang manusia yang tak mengenal kata usai.

Epilog September

September hanya seperti pagi dan malam
ia datang untuk kemudian pergi lagi tanpa pamit
setidaknya kita tahu sehingga kita siap untuk kehilangannya lagi
mendoakannya di dalam perjalanannya dan membekalinya dengan asa
agar ia tak menjadi lenyap ketika dunia yang terlalu kejam memberangusnya
karena setiap orang berdoa agar September tidak lekas pergi
begitu juga aku dan kau, begitu juga kau dan aku

bukankah pergi memang untuk menemukan jalan pulang?
ketika itu gerimislah aku dengan air mata yang ada di pelupuk
tak hingga untuk melepas segala kenangan dan tak tampak wujud ikhlas
September menyimpan fajar dengan sebungkus ratap yang begitu manis
juga mengepak cinta yang tidak memandang sepi dan ramai
'aku harus pergi, sampai jumpa lagi di dimensi baru,' kata September

bukankah semua awal akan bertemu dengan akhir
bukankah semua pertemuan akan bertemu dengan perpisahan
bukankah kita hanya sekadar bertemu dan bertamu, duduk di beranda
seperti halnya September yang akan pamit, untuk pergi

entah ke negeri mana



Bandung, 29 September 2011 | 17.54
A.A. - dalam sebuah inisial

Rabu, 28 September 2011

Nasional.Is.Me

Rating:★★★
Category:Books
Genre: Nonfiction
Author:Pandji Pragiwaksono
Nasional.Is.Pandji

Awal ketika saya melihat Pandji adalah ketika ia tampil di salah satu televisi dengan gayanya yang tidaklah terlihat seperti orang yang mencintai Indonesia. Berpakaian santai dan cara bicaranya yang juga sudah mengikuti tren masa kini. Ya, silakan Anda mengatakan ini adalah hasil dari globalisasi dan memang tidak dapat dipungkiri jawaban tersebut. Saya pun mengaminkannya.

Globalisasi, seperti kata Robert Jackson dan Georg Sorensen, bisa mengubah hal-hal yang ada di dalam sebuah negara. Mau tak mau, kita harus bisa memilih dan memilah hasil dari proses kebudayaan tersebut. Adalah menjadi kewajiban kita untuk menentukan hendak memilih yang mana. Di situlah bukti yang sangat nyata bagaimana kita mencintai negara kita, akan sejauh mana kita akan terseret oleh arus globalisasi yang tentunya saja bisa menanggalkan jati diri bangsa.

Globalisasi juga bisa menciptakan hal yang buruk seperti kemiskinan, perbedaan strata yang semakin jelas terlihat, dan kebudayaan yang lenyap. Indonesia sudah diambang itu semua. Silakan lihat berapa banyak pengamen dan pengemis yang berkeliaran di satu perempatan jalan. Tidak terbayangkan lagi keadaan ini menjadi sebuah perhatian yang harus dipandang serius.

Dengan gayanya tersebut, siapa pernah menyangka seorang Pandji benar-benar jatuh cinta kepada negerinya sendiri. Lewat tulisanlah ia mengapresiasi, mendukung, dan mewujudkan rasa nasionalisnya. Bukankah kita tak perlu mati untuk membuktikan bahwa kita cinta akan tanah air kita? Bukankah kita tak perlu mengangkat senjata dan berperang untuk menunjukkan sejauh apa kita cinta akan tanah air ini?

Pandji mengajak kita untuk mencintai bangsa ini lewat cerita-cerita dan pengalaman hidupnya yang tentu saja tak bisa dimiliki oleh orang lain. Setidaknya, dengan berbagi itu, ia telah mewujudkan apa yang diharapkan banyak orang: cinta akan tanah air.

Bukankah masih banyak yang bisa dibanggakan dari Indonesia? Silakan percaya atau tidak, orang-orang di luar negeri begitu mencintai Indonesia. Pernah mendengar nama Alfred Riedl? Apa yang diberitakan oleh media massa tentang dirinya? Ia mengatakan ia sudah terlanjur mencintai Indonesia dan berharap dapat kembali ke negeri ini.

Kita memiliki tanah yang sangat subur, alam yang luas, air yang mengalir, sawah yang bisa ditanami dengan bibit apa pun. Kita bisa berkeliling dan menikmati matahari terbit-terbenam tepat pada waktunya. Kita boleh berbangga dengan semua hal yang negeri lain belum tentu memilikinya.

Pandji boleh memilih untuk mewujudkan cinta akan tanah airnya dengan menulis tanpa harus menanggalkan jati dirinya yang terikat akan proses globalisasi. Demikian pula dengan kita. Tidaklah seharusnya kita hanya bisa mengkritik tanpa berani memberi saran. Dengan demikian, ada timbal balik antara negara dan penduduknya untuk saling mencintai dan saling memberi. Begitu sayang, ketika kita berada di negeri ini, kita hanya bisa mengeluh dan ketika meninggalkan negeri ini, kita hanya mendapatkan balasan: rasa rindu akan negeri sendiri.

Bisa saja benar apa yang dikatakan oleh Pramoedya Ananta Toer:

“Karena kau lahir, tumbuh, hidup dan bekerja di sini, dan kelak kau pun mungkin akan mati terbaring di tanah ini – tanah tumpah darahmu, maka itu sudah lebih dari cukup sebagai alasan untuk mencintai negerimu.”





Bandung, 29 September 2011 | 08.10
A.A. - dalam sebuah inisial

Life Traveler

Rating:★★★
Category:Books
Genre: Travel
Author:Windy Ariestanty
Perihal: Surat untuk Seorang Penulis


Kak Windy,


Tentu kau tahu saya bukanlah seorang pembaca yang baik dan bukanlah seorang penulis resensi yang arif. Saya hanya menulis tentang apa yang ingin saya tulis, saya tidak pernah peduli dengan pembaca yang akan menilai apa dan apakah tulisan saya kelak dipuji atau dicerca. Dengan menyandangi apa yang dikatakan oleh Seno Gumira Ajidarma, setidaknya tulisan yang sudah dilemparkan ke tengah masyarakat, ia sudah menjadi milik publik dan penulis tidak berhak menghujat sang pembaca.

Demikian pula tentang surat yang saya tulis dan saya publikasikan ini. Tentu orang akan menilainya dengan cara mereka sendiri. Mungkin ada yang tersenyum, mengerutkan dahinya, atau pula langsung menutup laman ini tanpa acuh. Saya pun juga tidak harus memaksa orang lain membacanya. Termasuk seorang Windy Ariestanty.

Ini hanyalah sebuah surat dari seorang pembaca kepada seorang penulis yang jatuh cinta kepada aksara yang ditulisnya. Ya, seorang pembaca yang tanpa rasa malu menuliskan suratnya kepada sang penulis tanpa ia tahu harus dituju ke mana surat itu, atau haruskah dengan cara diam-diam mengirimkannya lewat email sang penulis? Ah, saya bukan tipikal orang yang sanggup mengirim pesan untuk menyatakan langsung dan terang-terangan. Biarkan saja, dengan cara ini, ketika kau tanpa sengaja melintas di dunia maya dan membaca apa yang kutulis ini. Tapi posisikanlah kau sebagai penulis sedangkan saya sebagai pembaca. Itu sangatlah cukup.

Kali pertama saya membaca tulisanmu ketika ada di dalam buku Kepada Cinta. Kali itu juga, saya memberikan penilaian secara pribadi bahwa memang seorang Windy Ariestanty ini bukanlah penulis yang tidak bisa tidak meninggalkan kesan ketika saya mengakhiri apa yang ditulisnya. Sederhana, itu yang saya kecap saat mata melintasi baris-baris aksara yang dirawinya.

Dan saya sebut Life Traveler ini tak lain dan tak bukan adalah catatan perjalanan dari seorang pelancong yang bekerja dan berjalan-jalan, Windy Ariestanty.

Adapun kisah Life Traveler sendiri adalah kisah menatap orang, bertemu dan berpisah, berbicara dan berinteraksi dari kota ke kota, negara ke negara, dan benua ke benua. Tugasmu hanya menceritakannya kembali apa yang kau rasa ketika melintas dan bertemu dengan orang-orang yang tak pernah kau temu sebelumnya. Mungkin dengan cara inilah, Life Traveler lahir dengan proses yang berbeda daripada anak-anak pada umumnya. Karena itu pula, Life Traveler dinanti-nantikan banyak orang sejak di dalam rahim.

Awalnya, biasa saja menurutku di bab-bab awal, seperti cerita-cerita yang kau celotehkan di Twitter, seperti ketika kau beranjak dari kota ke kota dan mengunduh foto di Twitter dan bercerita sedikit banyak mengenai perjalananmu. Sampai pada akhirnya, aku terantuk di dalam surat teruntuk Pak Mula yang ternyata telah memimpikanmu untuk pergi ke Eropa, menghadiri Frankfurt Book Fair. Sayang seribu sayang, Pak Mula sudah mendahuluimu untuk berangkat ke Eropa yang sangat abadi, entah di mana. Yang tersisa adalah Eropa di dalam kefanaan yang sungguh dapat kau tapaiki jejakmu dan surat yang tak akan pernah sampai itu setidaknya dibaca Pak Mula. Itu yang kuaminkan.

Lagi, yang berkesan bagiku adalah sosok Marjolein yang mencintai Indonesia meski ia taklah berdarah bumi ini dan untuk pandai berbahasa Indonesia pun ia harus jauh-jauh belajar. Kadang, untuk menjadi seorang yang nasionalis, kita harus diperingatkan dahulu oleh orang yang berada jauh jaraknya dari tanah Indonesia. Itulah Marjolein yang kurasa sesungguhnya ia adalah orang yang rindu pulang. Tak akan ada petualang yang tak rindu pulang seperti halnya tak ada merpati yang lupa akan kediamannya. Setidaknya bagi Marjolein, Indonesia adalah 'rumah' baginya untuk melepas rindu.

Beberapa bulan yang lalu, di dalam sebuah perjalanan pulang, saya menemukan ke mana memang seharusnya kita berada. A home is a house, but a house is not always a home. Itu yang saya katakan kepada teman saya. Ia hanya mengerutkan dahinya sembari berujar dan berpikir bagaimana menerjemahkan arti 'rumah' sesungguhnya. Dan memanglah esensi pulang adalah esensi yang menakjubkan. Jarak yang membuat perpisahan begitu nyata dan menjadikan perjalanan lebih menemukan eksistensinya. Makna di dalam perjalanan pun tak akan hilang begitu saja.

Kerap kali, saya menemukan hati saya bukanlah berada di rumah, tetapi di dalam perjalanan. Entah sedang di pelosok desa, di puncak gunung, di tepi danau, atau di tengah jalan. Juga kebahagiaan yang ditemukan tak melulu ada di rumah. Saya sering menemukan apa yang dinamakan dengan cinta di tempat yang begitu jauh dari rumah. Saya pun bersepakat dengan apa yang dikatakan oleh perempuan itu,"Home is a place where you can find your love."



Kak Windy,

Mungkin perjalanan sederhana bisa menciptakan pelajaran yang tidaklah sederhana untuk kita cerna. Tetapi perjalanan sendiri membuat kita lebih banyak belajar tentang apa yang tak pernah diajarkan oleh bangku sekolah, mungkin guru-guru pun tak tahu ketika mereka harus mendefinisikan hidup seperti apa. Di dalam perjalanan, dunia lebih mendidik kita untuk lebih berani menantang kehidupan itu sendiri.

Di dalam kata-katamu, selalu ada kekuatan yang meninggalkan jejak yang membekas ketika saya mengakhiri dari keping-keping ceritamu. Inilah dari kepiawaianmu merawi dan berangkat dari sesuatu yang terlihat sepele dan bernilai nihil dijadikan olehmu lebih berisi dan tak lagi bernilai kosong begitu saja. Adalah perjalanan yang menjadikan itu semua menjadi ada. Tentang hidup yang tak akan pernah habis untuk dieksplorasikan dan catatan perjalanan ini yang merupakan dokumentasi dari langkah demi langkah sudah memuatnya dari ribuan bahkan jutaan cerita yang ada di dunia ini setiap harinya.

Kurasa perjalanan yang kulintasi bersama anak rohanimu sudah lebih dari cukup.

Terima kasih untuk sebuah sajian di mana kau ternyata masih bersedia untuk selalu berbagi tentang pengalaman di dalam perjalanan, di mana tak semua orang pernah seberuntung engkau yang menikmati perjalanan dan berinteraksi dengan masyarakat. Doaku, jangan pernah lelah untuk tetap berbagi dan tetap menulis.

Tabik!



Bandung, 28 September 2011 |
A.A. - dalam sebuah inisial


Minggu, 25 September 2011

Petang Bersama Ayah

adalah petang yang paling mengagumkan
dan tak akan pernah terlupakan.






Bandung, 25 September 2011 | 17.26
A.A. - dalam sebuah inisial

Kamis, 22 September 2011

Lowongan Kerja Admin Kutukutubuku

Start:     Sep 22, '11
End:     Sep 30, '11
Dibutuhkan: Admin

Persyaratan :
Wanita/Pria, usia maksimal 25 tahun
Pendidikan minimal SMA atau sederajat
Terbiasa mengoperasikan Microsoft Word, Excel, dan internet.
Cekatan, teliti, rapih, bersih dan disiplin
Jujur dan berkepribadian baik
Tinggal di wilayah Jakarta Selatan lebih disukai
Bisa bekerja dalam tim
Suka membaca dan tahu dunia perbukuan
Non / Pengalaman
bersedia dikontrak selama 1 tahun

Kirimkan lamaran melalui email ke : taniaedoardo@gmail.com disertai pernyataan gaji yang diharapkan (expected salary)
Lowongan berlaku sampai tanggal 30 September 2011


Source here

Senin, 19 September 2011

LOMBA CERPEN JILFEST 2011

Start:     Sep 20, '11 12:00a
End:     Oct 15, '11
THE 2nd JAKARTA INTERNATIONAL LITERARY FESTIVAL (JILFest) 2011



LOMBA MENULIS CERPEN

“Spirit Persaudaraan dan Multikulturalisme”



Kerja Sama:

Komunitas Sastra Indonesia (KSI)

Komunitas Cerpen Indonesia (KCI)

Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud)

Provinsi DKI Jakarta







Dasar Pemikiran



Jakarta sebagai ibukota negara, pusat pemerintahan, kota internasional, dan berbagai predikat lainnya –yang melekat pada reputasi dan nama baik Jakarta yang merepresentasikan citra Indonesia— memiliki arti penting tidak hanya bagi warga Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia, tetapi juga bagi masyarakat dunia. Artinya, posisi Jakarta sangat strategis bagi usaha mengangkat keharuman Indonesia serta menjalin kerja sama budaya untuk memperkenalkan Indonesia ke pentas dunia.

Dalam khazanah kesusastraan Indonesia, Jakarta dengan berbagai kekayaan kebudayaannya, keberagaman masyarakatnya, percepatan pembangunannya, serta latar geografik dan latar alamnya yang memancarkan perpaduan modernisme dan eksotisme, telah sejak lama menjadi lahan garapan para sastrawan Indonesia, bahkan juga sastrawan dari mancanegara. Kini, selepas memasuki alaf baru dan zaman ingar-bingar reformasi, sejauh manakah Jakarta masih memancarkan pesonanya, auranya yang menyebarkan daya tarik, dan semangat yang merepresentasikan keindonesiaan.

Dalam kaitan itulah, lomba penulisan cerita pendek berlatar Jakarta dengan tema “spirit persaudaraan dan multikulturalisme”, akan menawarkan catatan estetik yang khas, sekaligus juga universal dalam sebuah kemasan karya sastra. Maka, karya itu hadir sebagai totalitas kreativitas pengarang. Tanpa itu, latar atau tema Jakarta hanya akan menjadi sesuatu yang artifisial, tempelan, dan tidak menyodorkan ruh Jakarta sebagai representasi keindonesiaan.



Tema

“ Sprit persaudaraan dan multikulturalisme “.



Ketentuan Umum

Lomba ini terbuka bagi warga dunia (warga Indonesia dan warga asing)
Biodata dan alamat lengkap (termasuk nomor telepon, ponsel, dan e-mail) disertakan di luar naskah lomba.
Peserta boleh mengirimkan lebih dari satu naskah lomba.
Naskah lomba belum pernah dipublikasikan dalam bentuk apa pun, baik sebagian maupun seluruhnya.
Naskah lomba ditulis dalam bahasa Indonesia dan merupakan karya asli.
Naskah lomba dikirim kepada Panitia sebanyak 5 (lima) kopi, disertai CD atau flash disk berisi file naskah, selambat-lambatnya tanggal 15 Oktober 2011 (stempel pos).
Di sebelah kiri amplop hendaknya ditulis “Lomba Menulis Cerpen JILFets 2011”.
Naskah lomba dialamatkan kepada:

Sekretariat Panitia Lomba Menulis Cerpen

Jakarta International Literary Festival (JILFest) 2011

Bidang Pemberdayaan Masyarakat

Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) DKI Jakarta

Jl.Kuningan Barat No. 2, Gedung B Lt. 3, Kuningan, Jakarta Selatan

Telp. (021) 5263923



Ketentuan Khusus

1. Penjabaran tema dalam cerita dan penggambaran latarnya tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.

2. Panjang karangan antara 8.000-15.000 karakter (with space), atau 4-8 halaman ketik 1,5 spasi, kertas ukuran A4 dengan huruf standar (Times New Roman, 12).

3. Peserta lomba adalah perseorangan, bukan kelompok.

4. Merupakan karya asli, bukan terjemahan ataupun saduran. Penjiplakan atas karya orang lain dalam bentuk apa pun, tidak dibenarkan, dan panitia berhak membatalkan keikutsertaannya dalam lomba ini.

5. Keputusan Dewan Juri bersifat mutlak dan tidak diadakan surat-menyurat.



Ketentuan Lain

1. Pengumuman Lomba dan penyerahan hadiah akan diselenggarakan pada acara khusus dalam rangkaian JILFest 2011, bulan Desember 2011.

2. Juara 1 s.d 3 akan diundang untuk mengikuti JILFest 2011 di Jakarta.

3. Hak Cipta ada pada pengarang.

4. Sebanyak 20 cerpen pilihan berikut karya para pemenang akan diterbitkan dalam bentuk buku, bersama 20 cerpen pilihan dan juara lomba menulis cerpen JILFest 2011. Buku ini diupayakan akan diluncurkan serta didiskusikan dalam JILFest 2011 di Jakarta.

5. Panitia berhak mengedit kesalahan pengetikan dalam cerpen.



Hadiah dan Honorarium

Juara 1 Rp 10.000.000,00

Juara 2 Rp 7.500.000,00

Juara 3 Rp 5.000.000,00

Juara Harapan 1 Rp 3.500.000,00

Juara Harapan 2 Rp 2.500.000,00



Keterangan Lain:

Juara 1 s.d 3 akan diundang ke Jakarta untuk mengikuti Jilfest 2011 dengan fasilitas (akomodasi, dan konsumsi) ditanggung Panitia. Keterangan lengkap tentang lomba ini dapat dilihat pada laman (web site) www.jilfest.org.



Jakarta, 5 Agustus 2011

PANITIA PELAKSANA JILFest 2011

Menulis Kisah Reflektif “Man Jadda Wajada” bareng A. Fuadi

Start:     Sep 20, '11
End:     Sep 30, '11
Menulis Kisah Reflektif “Man Jadda Wajada” bareng A. Fuadi



Tema: Pengalaman Orangtua Merawat Anak



“Cinta orangtua sepanjang masa, cinta anak sepanjang galah” (Pepatah)

“Dua hal yang tidak bisa ditunda adalah beramal dan berbakti kepada orangtua Anda” (Master Cheng Yen)



Orangtua memiliki peran yang sangat penting dalam menanamkan pondasi yang kuat kepada anak. Mereka banyak berjasa dalam kehidupan seorang anak. Terlebih orangtua yang mempunyai anak dalam kondisi yang tidak diharapkan sebelumnya, seperti terkena narkoba, autis, difabel, kecanduan merokok, dan lain sebagainya. Kita salut kepada para orangtua yang mengerahkan upayanya demi masa depan anak-anaknya yang mengalami keadaan seperti itu.



Oleh karena itu, kami mengajak kepada khalayak pembaca untuk berbagi pengalaman dalam merawat anak, baik anak kandung maupun bukan. Anda bisa menggali pengalamannya dari sudut orangtua, anak, dan yang lainnya.

Naskah yang terpilih akan disertakan dengan tulisan A. Fuadi dan diterbitkan oleh Bentang Pustaka.



Syarat-syarat dan ketentuan:

Panjang tulisan sekitar 10 halaman, Times New Roman spasi 2, Font 12, kertas A4.
Belum pernah dimuat dan dipublikasikan di media mana pun
Kirimkan tulisan Anda dalam bentuk file ke email redaksi: man.jadda2011@gmail.com dengan subjek: Man Jadda Wajada
Tulis biodata Anda dalam bentuk narasi di bawah tulisan Anda beserta alamat lengkap dan nomor telepon.
Tulisan yang terpilih berhak mendapatkan fee sebesar Rp 300.000,- (Tiga Ratus Ribu Rupiah) dan mendapat paket buku dari Bentang Pustaka, termasuk buku Pengalaman Orangtua Merawat Anak : Man Jadda Wajada Series (jika sudah terbit).
Naskah diterima paling lambat 30 September 2011

Terima kasih

Bentang Pustaka

Lowongan Editor di Gradien Mediatama

Start:     Sep 19, '11
End:     Sep 30, '11
Penerbit Gradien Mediatama – Yogyakarta, membutuh seorang EDITOR BUKU TERJEMAHAN (EBT) dengan persyaratan:

1. Perempuan
2. Usia maksimal 25 tahun, belum menikah
3. (Lebih disukai) lulusan S1 Sastra/Pendidikan Bahasa Inggris
4. Mahir berbahasa Inggris baik tulisan maupun lisan
5. Gemar membaca, terutama buku berbahasa Inggris
6. Memiliki pengetahuan bahasa Indonesia yang memadai
7. Berdomisili atau bersedia berdomisili di kota Yogyakarta
8. Sanggup bekerja mengikuti Deadline

Surat lamaran dengan kode (EBT) diterima paling lambat 30 September 2011, dikirimkan ke:

HRD Kelompok Agromedia
Divisi Rekrutmen
Jl. H. Montong No. 57, Ciganjur – Jagkarsa
Jakarta Selatan

ATAU

rekrutmen.agromedia@gmail.com



Source here

Dicari: Penerjemah Novel Korea

Start:     Sep 19, '11
End:     Sep 20, '11
Penerbit Gradien Mediatama membutuhkan Penerjemah Freelance andal untuk menerjemahkan novel-novel berbahasa Korea ke bahasa Indonesia.

Lowongan ini terbuka bagi Anda di mana saja (dalam maupun luar negeri), tanpa batasan latar belakang pendidikan, asalkan memenuhi prasyarat utama:

Menguasai bahasa Korea dengan baik dan mampu menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia yang luwes.

Apabila Anda berminat, silakan mengirimkan aplikasi ke email gradienmediatama(at)gmail



Source here

Mendengar Cita-cita

Sebuah malam Juli di Senayan, Jakarta, saya mencegat taksi untuk menumpang setelah hampir seharian berkelana di kota ini. Tepatnya bukan berkelana, tetapi menyerahkan hasil kerja dan hendak pulang. Jakarta sudah memperlihatkan langitnya yang pekat dalam gelap dan saya sudah enggan untuk berdesak-desak di dalam busway yang semakin hari semakin tidak bisa membuat puas para penumpangnya karena armada bus yang tak pernah sesuai dengan jumlah penumpang.

Masuklah saya ke dalam sebuah taksi. Seorang bapak, sebutlah namanya Pak Amir. Tak ada ucapan selamat malam, tak ada sapa hendak ke mana arah kita. Tiba-tiba ia langsung bercerita sendiri. Tapi saya membiarkannya saja apa yang hendak dikatakannya sembari mengatakan ke mana saya akan beranjak.

Langit Jakarta sudah terisi oleh kerlap-kerlip dari lampu-lampu. Jalanan ibukota tetap padat, apalagi saya pulang di jam orang-orang pulang ke rumah. Klakson, umpat, dan suara knalpot menjadi hal yang tak asing lagi ketika hidup di Jakarta. Rasanya hampir tak ada orang yang hidup di jalanan Jakarta yang tidak ingin mengumpat dengan sikap dan perilaku sesama pengguna jalan. Bahkan sampai pengemis dan pengamen pun bisa menjadi sasaran ketika seorang pengguna jalan sudah naik darah di jalanan ini.

Saya tahu, malam-malam itu adalah malam-malam terakhir saya menikmati kemacetan Jakarta secara utuh. Setelahnya, mungkin saya hanya menikmati udara dingin dan angkot-angkot yang tahu sopan santun dalam mencari penumpang. Jakarta keras, dan itu benar-benar keras. Dari jalanan saja kita bisa melihatnya.

Pembicaraan saya dan sopir taksi tadi belum usai. Tiba-tiba ia bertanya tentang hal yang tak biasa saya bicarakan dengan supir taksi lainnya.

"Dik, kerja di mana?"
"Kerja sambil kuliah, Pak. Kerja serabutan. Hahaha..."
"Kuliahnya di mana?"
"Bandung."
"Lho? Kok?"
"Kuliah belum mulai, saya di sini bekerja iseng-iseng saja. Isi waktu liburan."
"Kuliahnya apa, Dik?"
"Ilmu Politik, Pak. Kenapa?"
"Tahu dong kasusnya Nazaruddin?"
"Tahu, Pak."
"Menurut Adik, Nazar salah atau tidak?"
"Salah dong, Pak. Tapi masih ada kepalanya lagi yang lebih salah."
"Pernah bercita-cita dengan Indonesia yang bebas dari korupsi, Dik?"

Glek! Seorang sopir taksi menanyakan hal seperti ini kepada saya. Cukup mengejutkan sekaligus membuat sebuah hal yang tak pernah saya duga-duga sebelumnya. Selama ini, saya tahu kasus Nazaruddin seperti apa dan saya mengikutinya. Tetapi saya tidak pernah bertanya kepada diri saya apakah saya pernah berpikir dan bercita-cita memiliki negara yang bebas dari korupsi.

"Mungkin, Pak. Kalau Bapak sendiri?"
"Selalu. Saya sering sedih, tapi saya kan cuma sopir taksi."
"Lalu, mengapa dengan sopir taksi, Pak? Apa saya yang mahasiswa dan Bapak yang seorang sopir taksi tidak boleh bercita-cita?"
"Ya, boleh. Tapi cita-cita cuma cita-cita saja."
"Cita-cita bisa terwujud kalau mimpi kita tidak ketinggian dan kita mampu menggapainya, Pak. Kalau negara tanpa korupsi itu pasti tidak pernah ada di dunia ini."

Malam itu pula, telinga saya seperti mendengar lagu dari John Lennon, Imagine. "
You may say that I'm a dreamer
But I'm not the only one
I hope someday you'll join us
And the world will live as on"

"Saya dulunya kerja di Telkom, Dik. 15 tahun di sana. Semua tunjangan kesehatan dan sekolah anak ditanggung."
"Kok berhenti?"
"Gaji tak naik. Meski tunjangan ada, sering tidak cukup karena mereka tidak pernah menaikkan tunjangan sampai penuh. Tapi, sampai sekarang saya tetap ditanggung karena saya mengundurkan diri."

Di kursi belakang saya mengangguk. Kemudian mendengarkan lagi Bapak itu bercerita.

"Anak saya sudah selesai SMK. Syukur, saya bisa menyekolahkannya dari taksi. Kadang juga saya sedih, anak saya sebenarnya ingin kuliah. Tapi saya belum mampu. Untung dia mau masuk SMK. Sekarang dia bisa bantu bapaknya. Desain gelas, spanduk, dan baju."

Saya selalu percaya, semua orang memiliki cita-cita. Semua orang pasti akan bercita-cita. Seorang sopir taksi atau seorang mahasiswa yang duduk bersama di dalam satu mobil, melintasi jalan yang sama pun pasti memiliki cita-cita. Bukankah kita sedari kecil memang sudah ditanamkan cita-cita? Cita-cita membuat kita supaya bertahan hidup untuk memperjuangkannya dengan segenap kekuatan dan kemampuan yang ada, membuat seseorang untuk menilai dirinya lebih berarti di dalam setiap kesempatan yang ada.

"Cita-cita itu ada batasnya, Pak. Kalau ketinggian, kita tak bisa menggapainya. Kalau kerendahan, mudah menggapainya, tetapi mudah juga untuk dilupakan oleh kita sendiri."
"Iya, Dik. Tapi orang miskin dilarang bercita-cita juga?"
"Cita-cita itu gratis, Pak. Semua orang bebas bercita-cita. Setinggi apa pun, serendah apa pun. Tapi kita harus sadar akan keterbatasan kita, Pak. Manusia pun ada batas dalam bermimpi. Bisa saja kita tidak sanggup menggapai cita-cita karena ketinggian."
"Jadi Adik tidak setuju dengan Sukarno?"
"Ya, tentu tidak. Memang bisa kita ke langit untuk menggapai cita-cita? Naik pesawat saja belum sampai ke langit paling atas. Hahaha..."

Perjalanan hampir usai. Saya hampir tiba sampai tujuan. Ada kesimpulan dalam hati bahwa Bapak Amir ini memang sudah bercita-cita. Orang kaya dan orang miskin boleh bercita-cita, perempuan dan laki-laki bebas bercita-cita. Cita-cita hanya berbeda dalam tinggi-rendah, besar-kecil, diperjuangkan-tidak, dan berhasil-belum berhasil. Tak ada cita-cita yang gagal.

Ada benarnya pula kata Andrea Hirata, berhenti bercita-cita adalah tragedi kehidupan manusia. Pak Amir bukannya ia tak mau memperjuangkannya, mungkin saja baginya dua cita-cita yang terdengar sederhana itu terlalu tinggi untuk digapainya seorang diri. Setidaknya, Beliau tidak berhenti untuk tetap bercita-cita.

Langit Jakarta hanya berhias lampu. Tibalah saya di destinasi berikutnya di mana teman saya sudah menunggu untuk obrolan malam sebelum saya pindah ke luar kota. Saya mengakhiri obrolan yang menarik dengan seorang sopir taksi yang memiliki cita-cita. Saya turun setelah membayar lebih sedikit sebagai bonus untuk mengisi kekosongan perjalanan saya yang terlalu membosankan hanya dengan diam.

Taksi itu melaju. Mungkin hanya saya dan Tuhan yang tahu, seorang sopir taksi pun memiliki cita-cita yang selalu ingin digapainya.




Bandung, 20 September 2011 | 07.19
A.A. - dalam sebuah inisial

Sabtu, 17 September 2011

Intelektual Merdeka

Bersedialah menerima nasib ini, kalau kau mau bertahan sebagai seorang intektual yang merdeka: sendirian, kesepian, dan penderitaan.




Surat kepada Soe Hok Gie

Intelektual Merdeka

Bersedialah menerima nasib ini, kalau kau mau bertahan sebagai seorang intektual yang merdeka: sendirian, kesepian, dan penderitaan.




Surat kepada Soe Hok Gie

Jumat, 16 September 2011

Perihal: Cinta

aku selalu yakin, kau telah mengenal cinta sejak kau menjadi embrio
mungkin kau tak pernah menyadarinya sampai kau sendiri tahu apa itu cinta
meski kau tak pernah bisa mendefinisikannya ketika kutanya 'apa itu cinta'
jawabannya tetap sama: rasa sayang
namun, rasa sayang yang seperti apa, lagi-lagi kubertanya

kita tidak pernah tahu kapan cinta datang bertamu dan pamit pulang
kita pun tidak pernah tahu bagaimana cinta bergelut dan hadir di dalam lingkup dunia
cinta bisa saja dikenal sebagai orang asing, atau datang sebagai seorang pencuri
bisa saja cinta datang sebagai orang yang tak tahu seperti apa cinta
tak seorang pun bisa memahaminya tentang dirinya itu

kadang pula, cinta datang seperti pecundang, menantang dalam kecut
tapi ketika ia pergi, barulah sadar cinta baru saja bertamu di beranda hatimu
risau, gelisah, dan rusuh hati melanda hatimu yang berkecamuk
tapi kubisik kepadamu: cinta pergi untuk datang kembali, suatu hari nanti




Bandung, 17 September 2011 | 08.34
A.A. - dalam sebuah inisial

Kamis, 15 September 2011

Sebuah Kotak Pandora

G,

Mungkin, hanyalah sebuah kemungkinan dari ribuan kemungkinan lain yang tak pernah bisa kita duga sebelumnya. Seperti tak seorang pun yang tahu tentang masa depan seperti apa, seperti sedang membaca sebuah buku. Kita tak pernah tahu apa yang ada di halama berikutnya. Seperti sedang menonton sebuah opera, kita tak tahu akan ada kejutan macam apa dalam adegan berikutnya.

Akhirnya, ada cerita yang membuat kita kembali merasa akan pulang. Aku bagai membungkus rindu yang tiada mengenal tepi. Ada fase di mana aku cuma bermain-main dalam ranah yang tak tahu akan seperti apa. Cerita-cerita di dalam kebisuan hanya sanggup teruntai manis sampai ke ujung hati. Seketika itu, masih ada harap dan pilu yang datang saling berkejar ke garis akhir.

Kadang, kuinsafi sebuah hal yang kumengerti tentang kamu. Tentang sebuah kotak pandora yang tak pernah berdebu untuk menyimpan kenangan kita. Siapa yang menjaganya, aku pun tak tahu, pula dengan kamu. Kita tak pernah tahu. Tapi, sungguhlah berterima kasih, kotak itu tetap tersimpan rapi dan tetap tak terlupakan untuk singgah kepadanya.

Masih ada catatan tentang aku yang menulis usia. Kita tak pernah menginginkan mati di usia tua, bukan? Terbahak seketika itu, aku berdiam di dalam permainan waktu. Usia yang bertambah bukan menjadi sebuah beban bagiku, tetapi menjadi sebuah refleksi yang menarik untuk disimak bagai buku yang begitu menarik dari anyaman aksara, seperti lagu yang begitu nyaman didengar dari denting melodi, dan seperti petualangan yang kuharap tak habis-habisnya untuk dilewati.

Ada kalanya, aku rindu akan kotak pandora itu. Ingin aku masuk ke dalamnya, bermain di sana dan menikmati hidup. Tapi inilah dunia, di mana semuanya butuh dengan perjuangan. Tak ada satu pun yang didapat secara cuma-cuma atau berdasarkan belas kasih.


G,

Benarkah rindu yang membuat kita tidak bisa berpaling dari kenyataan? Seandainya kita tahu jawaban sesungguhnya.




Jakarta, 15 September 2011 | 22.30
A.A. - dalam sebuah inisial

Rabu, 14 September 2011

Petang di Sebuah Sore

Kita berangkat di dalam sunyi
Aku enggan untuk berkata: aku pulang
Karena ini bukanlah lama, bukan sebentar
Tapi bagiku adalah bahagia
Sebuah manifestasi yang tak seorang pun dapat membentuknya



Bandung, 14 September 2011 | 14.59
A.A. - dalam sebuah inisial

Sabtu, 10 September 2011

Bertamu di Rumah Tuhan

siang ini, aku hanya singgah ke rumah Tuhan
Ia mengajakku untuk makan siang
ternyata sederhana:
hanya nasi, tempe-tahu, ayam goreng, dan sayur bayam
ada sambal terasi sebagai penggodaku
ada es teh manis yang jelas sekali nikmat untuk diseruput

bayam itu diambilnya dari kebun di belakang rumah
ayamnya baru tadi pagi disembelih dari kandang
tempe dan tahu dibelinya dari pasar
dirawinya sebagai makanan yang sederhana

tak ada burger, spagheti, atau pizza
tak pula ada jus atau karbonasi
sekadar es teh manis

Tuhan memasaknya sendiri? ya
enak juga





Bandung, 11 September 2011 | 11.14
A.A. - dalam sebuah inisial

Kamis, 08 September 2011

Melawan Lupa

adalah tugas yang tak ada habisnya
untuk berbicara tentang melawan lupa
di mana seorang pun datang dan pergi
hadir dalam lingkup sebuah kejujuran
ada di dalam sebuah kebenaran
dan berkelindan di antara ranum-ranum
yang tak bisa dihitung dengan manis

melawan lupa adalah tugas
tugas yang tak menemui ujung
agar kenang dan harap
agar cita dan asa
agar kehidupan kita bertalu-talu
selalu dan harus berpilah pada esok
dan kebenaran serta kejujuran ada yang diungkap

hari ini adalah melawan lupa
melawan lupa mereka yang tak pernah mengingat tentang hari yang belum usai





Bandung, 9 September 2011 | 07.14
A.A. - dalam sebuah inisial

Rabu, 07 September 2011

Ketika Sastra Itu Lenyap

Dimuat di dalam buku Semua Bergerak untuk Sastra Indonesia




Tak akan pernah terbayang bila suatu ketika kita tidak bisa membaca buku lagi. Ketika sastra tidak lagi dapat menerobos kejujuran yang ada. Hari ini, sejak ratusan hari lalu, bahkan ribuan, sastra bukan lagi sarana hiburan semata. Sastra merupakan sarana untuk membangkitkan semangat kemerdekaan, sarana untuk mengutarakan pikiran, bahkan sastra sanggup untuk mengubah pola pikir banyak orang.


Ketika kejujuran hari ini diungkapkan lewat puisi dan cerpen yang menjadi sarana bebas pemikiran, sastra sudah diberikan tempat untuk kehidupan. Ia sudah bernapas di dalam kehidupan manusia yang begitu keras dan dominan akan egois. Pemikiran lewat sastra bukan lagi cerita lama. Seorang Chairil Anwar membangkitkan semangat juang di tahun 1945 lewat puisi-puisinya yang sampai hari ini tetap dikenang oleh banyak orang. Seorang Pramoedya Ananta Toer sanggup berbicara dari balik pengasingan di Pulau Buru karena buku-buku yang ia tulis.

Sastra adalah kehidupan di sekitar kita. Ia sudah bernapas sangat lama dan tumbuh sebagai heroik bagi mereka yang ingin memberikan pendapat lewat tulisan dan pola pikir.

Namun, siapa yang pernah terbayang bila suatu hari nanti sastra tidak lagi dapat bicara? Ia tidak lagi dapat lahir di koran-koran, ia tak lagi dicetak sebagai buku, ia hanya mengendap di pikiran-pikiran orang, ia hanya sebagai parasit di dalam imajinasi orang. Saat itu, sastra tidak lagi sanggup memberikan pemikiran yang begitu jernih di tengah kehidupan yang butuh untuk kejujuran, butuh fakta yang diungkap dengan cara yang lebih spesifik dan lurus hati bagi penulisnya sehingga pembaca boleh bebas dalam memerdekakan kejujuran yang lebih bermakna.

Seperti halnya seorang Widji Thukul yang berpuisi di tahun 1998, di tengah kemelut sastra yang tidak lagi secara bebas, ia harus dihilangkan oleh penguasa. Sampai hari ini, ia hilang. Tapi tulisan-tulisannya tetap dikenang orang banyak sebagai tulisan yang pernah membangkitkan semangat kemerdekaan pikiran. Sastra sanggup memberikan kebutuhan bagi mereka yang menginginkan dobrakan yang seolah-olah diam tetapi bersuara dengan halus dan menancap.

Itulah sastra. Kehidupannya bukan sekadar imajinasi. Tetapi sudah menjadi realitas dan berkembang di dalam kehidupan bermasyarakat tanpa kita sadari. Sastra mengubah kehidupan banyak orang, tidak peduli tua dan muda, kaya dan miskin, perempuan dan laki-laki. Ia hidup meski sang pemikir sudah tak tahu di mana keberadaannya.

Sastra menjadi saluran untuk berbicara, memerdekakan ide pikiran yang ada, melepaskan gagasan secara langsung dengan aksara. Ketika sastra dibungkam, akan ke mana kita menyalurkan pikiran-pikiran kita?

Mari berandai-andai! Ketika tahun 1948, Chairil Anwar hanya menulis puisi di dalam otaknya, akankah ada kata-kata “Ayo! Bung Karno kasih tangan mari kita bikin janji  / Aku sudah cukup lama dengar bicaramu,  / dipanggang atas apimu, digarami oleh lautmu” 1 dan akan pernah lahir kemerdekaan?

Mari pula berandai-andai kalau hari ini kita tak mengenal sastra. Tentu pula terlihat betapa bodohnya kita sebagai manusia yang tak pernah melek akan bacaan berkualitas dan menciptakan perubahan yang sangatlah besar. Sastra bukan lagi soal penciptaan tetapi juga menjadi bagian dari sejarah. Demikian pula dengan sejarah, ia tak pernah lupa mencatat sastra yang selalu menceritakan tentang dirinya.

Masyarakat primitif di Benua Afrika saja mengenal sastra. Bahkan mereka mencintai sastra meski hanya sastra lisan. Mereka tak pernah mengenal baca-tulis dan duduk di bangku sekolah. Tetapi dengan mereka mencintai sastra, mereka sudah mengubah kehidupan mereka.

Tak akan bisa dibayangkan ketika kita tak lagi mengenal sastra. Sastra seperti sudah dikubur dalam-dalam, dihilangkan, dimusnahkan keberadaannya seperti kematian penjahat yang paling berpengaruh di dunia.

Kemerdekaan berpikir tentu akan semakin berkurang. Aspirasi kita hanya bisa sampai tingkat mulut ke mulut. Belum pula ditambah bumbu-bumbu dalam prosesnya. Namun dengan sastra, ia diungkap dengan luas dan lugas. Ia selalu mengungkapkan kejujuran yang ada, yang sebenarnya harus diceritakan tanpa harus dibelokkan.

Kebenaran di dalam sastra dapat dibuktikan selama ia mengatakan hal yang sebenarnya. Sastra dapat dipertanggungjawabkan secara jelas. Maka, ketika sastra tak lagi bernapas, kejujuran pun akan ikut mati. Tentu pula, kita tak punya arah tujuan hendak melangkah ke mana kelak. Walau pun buku-buku dibakar, pelarangan yang ada masih berkeliling, selama sastra sudah lahir dalam berbagai bentuknya, ia tetap hadir. Selama ia tak dibungkam, ia masih dapat bersuara, di saat itu kemerdekaan berpikir dan kemerdekaan akan segalanya tetap diperjuangkan.





1.  Persetujuan dengan Bung Karno - Aku Ini Binatang Jalang

Senin, 05 September 2011

Bagaimana Kita Memandang Keragaman

Pro Rike Anggraeni,

Bagiku, semua hari adalah sama. Yang berbeda hanyalah kita yang membuat pola-pola yang menjadikannya warna-warni. Seperti halnya kembang di taman, tentu tak semuanya sama. Atau pula sebagaimana kita memandang kehidupan. Silakan tanya kepada sahabat-sahabatmu, apa arti hidup bagi mereka. Tentu jawabannya sangatlah beragam.



Sebuah diskusi

Aku tak memungkiri aku menyukai apa yang disebut diskusi. Aku suka berbicara apa saja, berdebat tentang apa saja. Bagiku, itu hal yang sangat menantang isi otakku dan isi otak lawan bicaraku. Aku sering menggali lebih dalam apa yang dipandang lawan bicaraku dan aku bisa menggila untuk membicarakan apa saja. Termasuk hal yang begitu intim dengan bahasaku sendiri.

Rasanya tak etis kalau aku cuma berbicara tapi aku urung mendengar. Nah, untukku diskusi yang menyenangkan adalah kalau terbuka bila aku boleh berbicara, maka aku harus sudi untuk mendengar. Betapa egoisnya aku bila aku hanya ingin didengar tanpa mau mendengar.


Tentang Kematian dan Kelahiran

Aku dan kamu hanya lahir sebagai manusia, bukan Tuhan. Untuk itu, kita tidak pernah bisa mengetahui atau menghendaki kapan usia ini harus diakhiri. Sebagaimana pula kita tidak pernah meminta untuk dilahirkan, bukan? Sebagaimana aku dan kamu menjalani kehidupan bukan atas kehendak kita sendiri, bukan?

Agak riskan aku berbicara tentang ini.



Tentang Tuhan

Dalam sebuah diskusi panjang tiga jam, aku berbicara lebih banyak tentang tuhan dan Tuhan. Aku tidak tahu bagaimana keningmu saat aku berbicara hal ini. Mengkerut, bisa jadi.

Tuhan itu cuma satu, hanya kita yang berbeda-beda cara menyapa dan menyembah. Agama hanya sebagai motivator. Untukku, menjadi agama apa saja bukanlah masalah. Silakan percaya Tuhan sebagai tuhan yang bagaimana. Toh, kita semua sesungguhnya tak ada yang tahu seperti apa wujud Tuhan? Kita semua hanya percaya di dalam lingkup keagamaan kita ini.



Tentang Menulis

Satu-satunya cara untuk menjadi penulis adalah menulis, tidak ada cara lain dari itu. Tiap kali mereka yang ingin belajar menulis datang kepadaku. Menggelikan. Menulis buku pun aku belum usai sampai kini, tetapi mereka memintaku untuk diajarkan menulis. Maka, mengkerutlah dahiku ini. Bagaimana caranya? Aku sendiri tak tahu.

Mengapa kita tidak sama-sama belajar? Ah, bolehlah mereka menulis karena ingin menjadi penulis. Setidaknya bagiku, menulis menjadi napas dan sering menyambung napasku. Tapi tak kupungkiri juga, aku sering belajar dari tulisan teman-temanku yang belum menerbitkan buku.

Mari, kita beriringan untuk belajar. Untuk menjadi lebih baik dalam merawi aksara.



Tentang Usia yang Bertambah

Usiaku dan usiamu adalah jarak yang terpisah begitu jauh. Tapi keragaman di antara kita terasa lenyap saat diskusi bergulir. Ada benang merah yang didapatkan dari setiap kata yang terucap, dari setiap kalimat yang mengalir, dan dari setiap makna yang teruntai manis.

Dan bagaimana kita memandang ulang tahun? Ini yang belum sempat kita bicarakan.

Aku sering melupakan ulang tahun karibku sendiri, bahkan ulang tahunku. Karena bagiku, semua hari adalah sama untuk dijalani. Usia yang bertambah sepatutnya tidak dibawa dengan kegembiraan, malah sebaliknya. Tugas kita sebagai manusia akan semakin banyak, runyam. Semakin banyak pula tuntutan yang hadir di dalam lingkup kehidupan kita.

Ah, percayalah satu hal ini: aku tidak menyukai ulang tahun.

Tetapi dari ulang tahun itu sendiri, aku menyukainya ketika aku mengucapkan ulang tahun kepada para sahabatku. Seorang pastor belajar dari seorang motivator tentang bagaimana cara mengucapkan ulang tahun itu. Setiap pagi, ia menelpon umatnya yang dikenal dan mengucapkan selamat ulang tahun. Ketika bertemu denganku, ia berkata 'umat melupakan ulang tahun saya, tetapi saya mengingatnya.' Langsung saja kami tertawa.

Tapi usia yang bertambah itu tak perlu dibawa menjadi hal yang sulit. Putar saja rol kehidupan ini dan biarkan ia bermain sebagaimana mestinya. Tak perlu hal yang dikhawatirkan tentang usia dan hidup atau mati itu sendiri. Ia akan berjalan dan bermuara entah ke mana dan kapan. Biarkan itu menjadi misteri agar kita bisa tetap tertawa dan tersenyum memandang kehidupan ini.

Nah, untuk itu... Dirgahayu bagimu. Selamat bertambah usia. Ini kado sederhana yang kuracik bagimu.




Bandung, 6 September 2011 | 07.47
A.A. - dalam sebuah inisial

Minggu, 04 September 2011

Pengukir Bahagia

sore bisa membuat kita lebih menghadap kepada sedih
setelah pagi dan siang kita menghadap kepada ramai
dan kita selalu bahagia saat bergelut dengan hal tersebut

ada mereka yang lebih bahagia di dalam ramai
mungkin pula aku bagian dari keramaian itu
yang membuatku ada dan kutahu aku cinta pada ramai

ternyata ada hal yang tak bisa kita temukan dalam ramai
ada kalanya sepi lebih bisa mendamaikan manusia dengan dirinya
menemukan akal yang lebih sehat, pekerti yang lebih dimengerti
agar manusia bisa mencapai apa yang dikatakan dengan bahagia

orang bisa merasakan bahagia karena ia pernah merasa sedih
seperti juga orang bisa merasakan sehat karena ia pernah merasa sakit
dengan begitu, aku dan kamu tahu bagaimana mempertahankan
apa yang harus kita pertahankan dan apa yang harus kita lepas



Bandung, 4 September 2011 | 16.12
A.A. - dalam sebuah inisial