Minggu, 31 Juli 2011

Ada Satu Kisah di Kota Itu

pulang, adalah esensi yang mengagumkan
tak peduli dengan baju baru atau uang yang melimpah
tak peduli dengan makan dan minum yang sangat lezat
tapi berbuka bersama adalah hal yang dinanti

pulang, adalah rindu yang terpecah
tak peduli seberapa maaf yang diberikan
tak peduli seberapa doa yang dihanturkan
tapi maaf dan doa menjadi ibadah yang hakiki

pulang, adalah cerita yang ditunggu
tak peduli berapa lama engkau pergi
tak peduli berapa banyak yang kau raih di kota lain
tapi kebersamaan selalu menjadi hal yang begitu indah





Jakarta, 31 Juli 2011 | 18.18
A.A. - dalam sebuah inisial

Jumat, 29 Juli 2011

Kapan 'di' Diberikan Spasi?

Sebenarnya tulisan ini sudah pernah saya publikasikan di blog ini pada bulan Mei tahun 2008, tetapi masih ada saja yang belum bisa membedakan kapan 'di' diberikan spasi dan bertanya-tanya tentang hal tersebut, maka saya publikasikan ulang untuk menelaah kapan 'di' tersebut diberikan spasi.

'di' memiliki dua fungsi yaitu sebagai imbuhan dan sebagai kata depan (preposisi).

1. 'Di' sebagai kata depan
         
 
Contoh: di kamar → artinya berada di kamar
                          di waktu senggang → artinya saat waktu senggang
                          di mana – mana → artinya berada pada berbagai tempat

            Kesimpulan: Jika 'di' berfungsi sebagai kata depan, maka 'di' harus dipisah. (Artinya 'di' menjadi suatu kata di depan kata keterangan berikutnya). 'Mana' adalah kata yang menyatakan suatu tempat atau waktu, jadi harus dipisah.

 

2. 'Di' sebagai imbuhan

            Contoh: dimakan → artinya melakukan makan
                          diperlihatkan → artinya memberi lihat
                          dipercantik → artinya membuat cantik

            Kesimpulan: Jika 'di' berfungsi sebagai imbuhan, maka 'di' harus digabung. (Artinya 'di' menjadi suatu imbuhan untuk suatu kata dasar). 'Di' digabung ketika akan digunakan sebagai penyambung kata kerja atau kata sifat.



Bagaimana kalau saya tidak tahu kapan harus diberikan spasi?

Caranya mudah: tentukan saja kata yang akan Anda gunakan tersebut, termasuk kata kerja atau tempat. Bila kata kerja, maka 'di' berfungsi sebagai imbuhan. Bila tempat atau nominal, maka 'di' berfungsi sebagai imbuhan.

Bagaimana dalam penulisan judul?

Bila dalam penulisan judul, akan ada dua perbedaan, tergantung fungsi 'di' tersebut sebagai imbuhan atau kata depan.

1. 'di' dalam judul sebagai imbuhan
               
Contoh:
a. Diberi Waktu
→ 'di' tetap kapital karena ada di awal kalimat.
b. Ia Disayang Tuhan
→ 'di' tetap kapital karena berfungsi sebagai imbuhan pembantu kalimat.

2. 'di' dalam judul sebagai kata depan

Contoh:
a. Di Mana Cempaka?
→ 'di' tetap kapital karena ada di awal kalimat.
b. Pada Surat di Kotak Posmu
→ 'di' tidak lagi kapital karena kata depan tidak pernah kapital kecuali ada di awal kalimat atau awal judul.




Aveline Agrippina
Sekadar belajar sekaligus berbagi

Perihal: Pamit

: Berlianevie Harjan


Ini sudah kuinsafi sejak lama bahwa suatu hari nanti kita memang akan memilih, menempuh, dan menikmati jalan kita sendiri-sendiri. Bahwa yang hanya bisa kita kenang adalah kenangan yang masih tersimpan rapi di dalam mozaik pikiran kita. Ada jalan di mana kita harus berpisah untuk bertemu lagi di suatu ketika. Mungkin di Puncak Everest, di Pegunungan Alpen, di Samudra Atlantik, di Laut Baltik, atau di jalur Gaza. Mungkin. Atau kemungkinan yang bisa terjadi adalah kita tidak pernah bertemu lagi.


Aku tahu, ini adalah soal melepas yang memang harus dilepas. Kehilangan memang sudah tidak bisa dipungkiri dan tak seorang pun mampu untuk menolaknya. Sejak kecil, kita sudah dididik untuk menerima kehilangan itu menjadi suatu hal yang lumrah, tetapi semakin bertumbuh dewasa, kita semakin mengerti bahwa kehilangan adalah hal yang begitu menyakitkan. Kita tidak bisa menerima lagi kehilangan itu sebagai hal yang biasa, tetapi juga bukan hal yang spesial. Justru itu, kita lebih memilih membenci apa yang dinamakan dengan kehilangan.


Waktu pun tidak memiliki hak apa pun untuk mengubah yang telah ada. Kehilangan adalah kehilangan, apa pun namanya, bagaimana bentuknya, seperti apa caranya, di mana, kapan, atau mengapa harus ada, ia akan tetap berwujud kehilangan. Itulah yang pernah dan akan kita rasakan: kesepian dan saling rindu di dunia yang beribu-ribu jarak yang memisahkan.


Di musim panas dan hujan, aku pun tahu, kita pernah mencipta kenangan dan bahagia pernah teranyam di setiap segmennya. Untuk itu, kenangan selalu berwujud meski tak sanggup kita sentuh. Dengan cara itu, di masa depan, kita bisa kembali ke hari-hari kemarin meski tak akan lagi sama.


Terima kasih sudah menjadi pendengar yang baik, sahabat dalam suka dan duka, dan penasihat yang ulung. Terima kasih sudah pernah mengisi waktu dengan bahagia dan air mata. Terima kasih sudah menjadi bahagiaku dan sedihku karena tiada itu semua betapa tawarnya hidup ini.


Aku selalu membenci sebuah pertemuan, karena kuyakin akhirnya adalah sebuah perpisahan.




Jakarta, 29 Juli 2011 | 23.09
A.A. - dalam sebuah inisial

Menunggu

Pekerjaan baru. Tapi pekerjaan ini tak asing bagi diriku. Sudah hal biasa untuk menghadapi laki-laki yang memang tak mengerti bagaimana hati perempuan bila mereka mengetahui kalau seseorang yang mengatakan kalau ia sungguh dicintai oleh sang lelaki malah memancarkan cintanya kepada perempuan seperti aku.

Tidak. Aku memang tidak pernah berniat untuk bekerja sebagai perempuan yang hina dina ini. Tapi alasanku untuk menjadi perempuan seperti ini adalah alasan yang mahaklise. Aku pun tahu kamu juga mengatakan alasan ini bak nasi yang benar-benar telah membasi, sudah bertumbuhan dengan jamur, diselimuti cendawan.

“Malam, Mas...” kataku sembari membuka jaketku.

“Aku mau kamu memberikan pelayanan spesial.”

“Spesial seperti apa?”

“Spesial tanpa harus membuka pakaianmu.”

Aku terbelalak! Bagaimana bisa kali ini aku melayani pelanggan tanpa harus membuka pakaian? Di mana letak kenikmatan yang ada itu? Tapi seperti kata pepatah: “pelanggan adalah raja”, maka kulakukan kehendaknya demikian. Aku tak bertanya apa pun, toh dia sudah mengatakan maksudnya:

“Aku mau kamu menjadi teman curhat sepanjang malam ini. Dua jam saja. Hari ini hari terakhir aku bersama kamu.”

Oh, rupanya ia sudah ketahuan istrinya. Aku pun duduk di meja dekat ranjang tersebut. Kembali mengenakan jaketku. Di hadapanku, sudah ada wajahnya yang sudah menungguku untuk berbicara. Entahlah, ini hari yang tak biasa yang akan kuhadapi dengannya. Mengapa ia memintaku untuk menjadi sekadar teman curhat?

“Ternyata perilakuku jauh lebih hina daripada pekerjaanmu memuaskan hasrat laki-laki seperti aku. Kamu pun tahu apa saja yang aku lakukan setiap harinya. Ternyata mimpi kemarin malam benar-benar membuatku takut.

Aku dikejar oleh orang yang membenciku. Aku hendak dikuburnya hidup-hidup. ‘Kau memang lebih layak untuk mati,’ katanya. Saat itu, aku hendak berlari. Namun, kakiku tak ingin bergerak. Aku hanya bisa diam dan pasrah. Tubuhku pun diangkatnya dan dimasukkan ke tanah kubur. Di sana benar-benar menjijikkan.

‘Kamu jauh lebih menjijikkan daripada semua ini. Kamu adalah manusia yang paling menjijikkan di dunia ini. Kamu tidak boleh mati begitu saja. Kamu harus disiksa dengan hukum neraka yang paling berat.’

Tanah pun ditimbunkan ke dalam kuburku. Aku benar-benar merasakan panas di tubuh. Mendadak aku menjerit sakit. Punggungku dipecut setiap kali tanah ditimbunkan ke dalam kuburku. Kurasakan darah mengalir dari punggung. Tapi darah itu mengalir seperti pancaran air. Di kubur itu, aku terjebak banjir oleh darahku. Aku ingin bergerak, ingin memberontak. Semakin aku berusaha melawan, semakin pula aku tak bisa bergerak, dan semakin pula sakit karena luka di tubuhku itu. Saat kusadari tanah itu dipadatkan dengan diinjak. Benar-benar punggungku yang terluka itu seperti ditaburi garam. Perihnya luar biasa.

Aku sudah disiksa di dalam mimpiku sendiri. Benar-benar semalaman aku tak dapat tidur. Ketika aku berusaha tidur kembali, aku malah melanjutkan penderitaan itu di dalam mimpi. Tapi setelah mimpi itu, telingaku seperti mendengar suara,”kamu busuk. Kamu manusia busuk. Kamu pantas disiksa di mana pun. Kamu sudah menyiksa orang lain dengan bahagia kamu. Kamu busuk.”

Benar-benar. Aku ingin mati.”

“Mungkin itu bayangan kamu saja.”

“Aku tahu mungkin setan memperingatkanku kalau aku sudah ada dalam lingkarannya. Sudah kotor, najis, dan busuk. Aku penipu, penyelinap, dan juga laki-laki yang tak tahu diuntung.”

“Itu hanya mimpi dan halusinasi, jangan terlalu dipikirkan.”

“Kamu sudah boleh pergi, saya sudah selesai bercerita.”

Laki-laki itu memberiku satu amplop cokelat berisi uang. Entah berapa isinya, tapi kurasa bukan lagi puluhan juta, mungkin sudah seratus juta yang berarti aku sudah melayani 20 laki-laki dalam semalam. Benar-benar persetan!

***

Koran pagi dipegang anak di pinggir jalan ketika aku hendak berangkat ke pusat perbelanjaan. Di halaman awal tercetak wajah laki-laki kemarin. Ia telah mati. Bunuh diri dengan racun serangga setelah berkencan denganku.

Ia buronan polisi selama ini. koruptor, pembunuh, dan juga laki-laki tak tahu diuntung. Seperti kata dirinya sendiri.




Jakarta, 12 Juni 2011 | 0.34
A.A. - dalam sebuah inisial

Kamis, 28 Juli 2011

Suatu Cerita Tentang Masa



:G

Aku telah bercerita banyak tentang kamu
meski kita tidak bisa kembali seperti kemarin
tetapi datang ke rumahmu, berdiam di dalamnya
berbincang dengan banyak kawan
itu telah membuatku kembali pulang
kepada kenang yang ternyata tidak hilang

Tahukah mau aku berbicara tentang bintang
terkadang menjadi sendiri menjadi lebih nikmat
seperti bintang yang di angkasa
bintang yang sendiri lebih terlihat
daripada bintang yang bertebar di gelap langit
mereka tertawa, aku tak pernah bersikap untuk menghibur

Aku merasa kembali pulang kemarin
kedatanganku yang seperti pencuri membuatmu bahagia
ternyata setelah kehilangan, datang kembali memang dikatakan pulang
aku suka dengan tubuhmu yang bersemayam dengan kata-kata
meski kini kita tidak lagi bisa merengkuh dan mereguk
kita pun berbagi banyak perjalanan sepanjang kita pergi sendiri

G, ternyata banyak yang berubah setelah lama kutak sambangi kau
jalan-jalan menuju rumahmu kini sudah bertumbuh dengan ruko-ruko
semakin banyak kemacetan yang kulihat karena truk yang hilir mudik
bunga di taman itu sudah semakin banyak dan semakin bermekar
kata ibumu, bunga itu sempat layu karena aku tak lagi kemari
dia pun merasa kehilangan, seperti aku yang kehilangan kamu

G, ketika kita tak mampu kembali ke masa kemarin dan tidak lagi bisa menjadi kemarin, ada yang membuat kita kerasan dan tetap betah dalam mengingat masa kemarin yang begitu manis dan terlalu sayang untuk dilupakan, ada cerita yang harus terus terawi dengan bahagia dan membuat kita semakin cinta untuk pulang, yakni kenangan.




Jakarta, 28 Juli 2011 | 17.05
A.A. - dalam sebuah inisial

Sabtu, 23 Juli 2011

Belajar Menulis Bersama Naning Pranoto

Start:     Jul 23, '11
SERIUS MAU BELAJAR MENULIS? Relatif banyak sahabat-sahabat dari FB yang kirim pesan ke inbox saya mengatakan ingin BELAJAR MENULIS. Melalui pesan ini, silakan bagi yang serius mau belajar menulis pilih bidang yang Anda minati yang saya sebut berikut ini:
1.Cermin (cerita mini/flash), cerpen (cerita pendek) dan cerpan (cerita panjang masih kategori cerpen)
2. Novel pendek (novelet) dan novel panjang
3. Catatan Harian dijadkan Cerita (From Diary To Be Story)
4. Artikel dan profil
5. Mini Biografi
6. Kisah Nyata
7. Tulisan akademis/ilmiah populer

Kirimkan contoh karya Anda panjang tulisan 1 (satu) halaman dengan spasi 1,5 - kertas kuarto, huruf New Roman Times - e-mail: rayakultura@gmail.com .
Saya hanya melayani yang SERIUS BELAJAR MENULIS dengan sistem TEORI, PRAKTIK dan DIALOG/DISKUSI. Syarat lainnya; MAU MEMBACA...tanpa mau membaca sulit untuk mewujudkan tulisan. Belajar dimulai bulan SEPTEMBER 2011. Syarat dan ketentuan lainnya akan saya kirimkan setelah saya membaca karya Anda.


Silakan kontak Ibu Naning Pranoto di Facebooknya untuk info lebih lanjut.

Kamis, 21 Juli 2011

Tentang Rumah Penuh Kenangan

Rumah adalah tempatmu untuk kembali pulang setelah ribuan mil kau lintasi dunia ini dengan ribuan pengalaman yang harus kau simpan.
Rumah adalah kotak pandora yang tak bisa berdebu, selalu mengingat tentang kelahiranmu sampai saat kau harus dilepas orang tuamu.
Rumah adalah harapan di masa mendatang yang selalu rajin dipupuk agar bertumbuh subur.
Rumah adalah pabrik yang memproduksi kehangatan tiada henti dan tak pernah mengenal berhenti produksi.
Rumah adalah tempat untuk belajar terbang hingga pada waktunya kita pun akan meninggalkannya untuk mengangkasa.
Rumah adalah rumah dengan definisi yang tak bisa dijangkau oleh aksara.

Akupun akan rindu pulang, suatu hari nanti.



Jakarta, 21 Juli 2011 | 22.52
A.A. - dalam sebuah inisial

Jumat, 15 Juli 2011

121 Hari yang Lalu

Sudah 121 hari...

Masih adakah harap tentang di masa-masa lalu
kita sudah memutuskan untuk memilih jalan sendiri
berpisah di persimpangan dan saling melambai
kita sudah menemukan untuk mencari masa depan
saling berpunggung dengan godam di dada yang menggebu

Bukanlah hal yang mudah untuk mencatat semua cerita manis
butuh banyak waktu agar lebih mengerti tentang semua kenangan
perlu lebih banyak energi yang tercurah untuk mencapai langit tujuan
meski perjalanan seperti waktu: tak akan pernah berhenti
setidaknya jeda kekosongan membuat kita semakin mengerti
apa tujuan dan maksud dari segala pertanda tentang perpisahan

Dulu kita pernah ada di sebuah tempat untuk pertemuan
tapi semua orang tidak dapat menafikan untuk hal yang diberi nama perpisahan
lewat cara itu kita menghargai apa arti kebersamaan
kita menghargai betapa manisnya itu semua




Jakarta, 16 Juli 2011 | 11.26
A.A. - dalam sebuah inisial

Kamis, 14 Juli 2011

Sebelas Patriot

Rating:★★
Category:Books
Genre: Literature & Fiction
Author:Andrea Hirata
Kata Vince Lombardi, football is like life - it requires perseverance, self-denial, hard work, sacrifice, dedication and respect for authority. Setidaknya Ikal mengamini apa kata-katanya dalam cerita Sebelas Patriot ini.

Saya percaya, Andrea Hirata adalah penulis yang sangat narsis!

Sejak Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Edensor, Maryamah Karpov, Padang Bulan, Cinta dalam Gelas, dan Sebelas Patriot (serta Ayah -yang akan terbit), semuanya (hampir) bercerita tentang dirinya. Adakah kawan-kawan yang tahu penulis yang lebih narsis dari dirinya?

Nada-nada bercerita ketujuh novelnya serupa: puitis, dirangkai dengan majas yang berirama, dan diksi yang seolah-olah bernapas dalam setiap untaian ceritanya.

Saya bukanlah pemuja dirinya, setidaknya saya menyukai tulisannya. Itu saja.

Diawali cerita tentang ayahnya yang seorang penambang timah yang jago bermain bola yang harus pupus karena tempurung lututnya hancur diremukkan oleh Belanda. Ikal percaya kalau lututnya tidak hancur, ayahnya itu sudah menjadi pemain bola yang handal. Pemain berseragam PSSI.

Ikal mewarisi bakat itu. Ia bermain bola dan berharap dapat menjadi pemain PSSI. Pupus sudah harapannya karena ia gagal dalam seleksi tingkat nasional. (Kok tak pernah ada ya cerita ini dalam tetralogi Laskar Pelangi atau setidaknya disindirlah sedikit).

Kurasa cerita ini ditulis oleh Andrea Hirata karena kemelut yang dialami oleh PSSI saat ini dan lewat novelnya, ia berusaha mengembalikan kepercayaan masyarakat kalau Indonesia bisa berjaya dalam sepakbola.

Tapi, perasaan saya berubah ketika Ikal lebih banyak bercerita tentang perjuangannya untuk mendapatkan kaos Real Madrid yang bertanda tangan Luis Figo yang didapatkannya dengan susah payah.

Nah, Ikal narsis kan?!

Lalu di mana hubungan antara 11 pemain bola yang patriot itu dengan kaos Luis Figo? Mungkin Ikal itu yang dimaksudnya patriot karena telah menyenangkan hati ayahnya yang di Belitong, yang pemuja Real Madrid dan Luis Figo? Saya pun tak tahu.

Untuk lagunya, saya pun ditumbuhi rasa kecewa. Ternyata lebih banyak pengulangan dan ritmenya pun hampir serupa. Hanya syair-syairnya saja yang diganti. Malah kesan saya terhadap Andrea Hirata yang malas menulis lagu muncul ketika lagu 'Sorak Indonesia' cuma berisi enam kata! Semprul!

Oh ya, katanya sebelas patriot, kok tangan di covernya hanya sembilan? Katanya sbeelas patriot, kok kepala pemainnya hanya enam? Tapi terserah sang penulislah.

Tabik!



Jakarta, 14 Juli 2011 | 18.51
A.A. - dalam sebuah inisial

Rabu, 13 Juli 2011

Sebuah Catatan

Di mana letak hati berada ketika ia tak dapat menemukan jalan pulang?

Sementara kita harus tetap belajar untuk memahami hidup agar lebih berarti

Di lapisan cerita indah, kadang membuat kita tersenyum

Meski kita sudah tak tahu tersesat sampai sejauh mana kini

Lalu, ke mana hati harus melangkah? Tanyaku.

Senin, 11 Juli 2011

Orkes Pagi

Di belantara pagi yang sunyi, ada sebuah dendang suara
ditangkap oleh pasangan daun telinga yang setia
biar terbangun dari hal-hal yang sekadar mimpi belaka
bergegas untuk menyambut kembali cakrawala
meski tidur belumlah cukup menghapus lelah

Ada nyanyian pagi yang membawa ke peraduan
yang membuatkan secangkir senyum
yang membentuk seulas kopi yang tiada pahit
ada anak-anak sekolah berlari mengejar bis kota
ada mulut orang yang sudah sibuk seperti kereta api
ada lagi orang-orang yang mengumpat karena macet

Ih, pagi membuat kita lebih brutal di mana pun adanya kita
tapi percuma saja bila hidup hanya dilalui dengan mengaduh
yang mengubah pagi adalah kita karena pagi selalu sama
pagi datang tepat waktu, membangunkan kamu dan saya
biar tak menjadi makhluk Tuhan paling malas



Jakarta, 12 Juli 2011 | 08.20
A.A. - dalam sebuah inisial

Minggu, 10 Juli 2011

Sebuah Entri

ada yang hilang,
tapi kau tahu apa itu?



sementara matahari telah menunaikan tugas
kita masih sibuk dengan yang hilang
tapi kau tahu apa itu?




Jakarta, 11 Juli 2011 | 09.37
A.A. - dalam sebuah inisial

Jumat, 08 Juli 2011

Kamis, 07 Juli 2011

Inilah yang Dinamakan Pulang





Dan inilah yang dinamakan pulang
ketika rindu meletup perlahan
menunggu menjadi saat bahagia
bertemu menjadi obat menutup pilu
dan menguap kala memeluk kekasih-kekasih


Bandung, 8 Juli 2011 | 12.33
A.A. - dalam sebuah inisial

Senin, 04 Juli 2011

Surat Kepada Gerimis





Hai Gerimis,

Bolehkah aku berkenalan denganmu lebih dekat? Aku sering sekali mendengar cerita tentangmu yang menyenangkan dari buku dongeng yang sering dibacakan oleh ibu menjelang aku tidur. Katanya di dalam cerita itu, kamu adalah sosok yang begitu ramah, tidak seperti kilat yang suka menyambar-nyambar ke mana-mana.

Tapi ada rahasia yang ingin kuceritakan kepadamu. Aku tahu kamu adalah karib dari si Kilat. Kilat yang suka menyambar ke mana-mana itu. Selalu bersikap gegabah ketika datang. Berjanjilah kepadaku, wahai Gerimis, cerita ini jangan kamu ceritakan lagi kepada orang lain.

Aku membenci Kilat.

Ha. Ya, aku tahu kamu terhenyak. Seseorang yang baru mengajak berkenalan denganmu tiba-tiba mengatakan ia membenci sahabat yang menerima surat ini. Tapi tolonglah percaya padaku, kamu akan selamat!

Kilat membawa pergi kakakku. Kilat membuat kakakku menjadi tiada untuk bermain bersamaku di tempat ini. Hati-hatilah dengannya, Gerimis. Makhluk yang baik sepertimu jangan mendekati makhluk yang jahat seperti Kilat itu.

Kakakku sedang bersepeda setelah pulang sekolah untuk menuju rumah. Di tengah jalan, awan memang sudah gelap, namun orangtuamu, Pak Hujan belum datang. Ia kebutkan sepedanya untuk lekas pulang. Tiba-tiba Kilat itu datang, menyambar kakakku. Yang kuketahui kakakku tak pernah berbuat salah dengan Kilat, tapi mengapa ia membunuh kakakku?

Gerimis, maukah kamu berjanji padaku? Maukah kamu menjadi temanku dan menjauhi Kilat. Aku percaya kau akan lebih bahagia denganku daripada dengan Kilat. Aku akan mengajakmu bermain karena aku tahu kamu adalah makhluk yang ramah, seperti cerita yang dibacakan oleh ibu.

“Gerimis yang ramah selalu memberi minum kepada tumbuhan yang haus, binatang yang kelelahan, dan manusia yang merasa kepanasan. Gerimis selalu rendah hati meski pun ia kecil. Ia bisa kamu temukan di balik jendela.

Ia selalu menyapamu dengan menempelkan dirinya di kaca-kaca jendela rumah, di kaca-kaca mobil, dan di atas rambutmu. Ia ingin berkenalan denganmu, tapi ia tak tahu caranya.
Gerimis bilang ia ingin menjadi yang menyejukkan. Ia ingin bersahabat dengan rumput di taman, bunga yang sedang bermekaran, kumbang yang mengisap madu, dan kamu.”

Untuk itu, maukah kamu menjadi temanku, Gerimis? Kalau kamu mau, jangan lupa balas suratku ini ya!

Semoga harimu selalu menyenangkan seperti dirimu.

Yang ingin jadi sahabatmu,

Mentari

Kehidupan, sebagaimana fiksi, lebihlah mudah dijalani lewat lisan dan tulisan. Bukan kenyataan yang harus dilawan.

Jumat, 01 Juli 2011

Vale!



kita, di antara cangkir yang hangat dan gelas yang berkeringat
seperti uap yang menguap dari mulut cangkir
seperti embun yang membasahi tubuh gelas
kupikir kau dan aku seperti uap dan embun: pergi dan kembali
tapi, kapan?


hujan pun menyaksikan pembicaraan intim kita
bukan aku tak suka, tapi aku lebih semakin merasa terperih
kadang kita bisa mencintai hujan
tapi bisa membencinya seperti hari ini, hari ini aku membencinya

ia tak bersalah apapun kepadaku, tapi dengan datangnya
ada seribu kenangan yang mengalir dalam langkah kita
ia mengingatkanku tentang caranya menangis
meski aku selalu bingung bagaimana caranya mengeluarkan air mata

gulana datang ketika gundah pun tiba
kita sanggup melewati waktu, tapi tak sanggup menghentikannya
dan saat itulah,puncak segala puncak aku harus siap
dan kaupun juga, seharusnya siap

pada akhirnya akan ada punggung yang saling berbalik
ada mereka yang berangkat ke negeri timur
ada yang hanya diam di kotanya saja, menunggu pulang
dan ada juga yang hanya mampu menatap cakrawala

ketika kita tahu soal ini, mungkin kita tak akan memilih
biar saja angin membawanya berlari ke mana pun inginnya
dan agar ada waktu yang berjumpa di hari depan
akupun kelu melepas, tapi aku bahagia demi hari depan




Serpong, 1 Juli 2011 | 20.00
A.A. - dalam sebuah inisial