Senin, 27 Juni 2011

The Naked Traveler 3

Rating:★★★
Category:Books
Genre: Travel
Author:Trinity
A wise traveler never despises his own country. - Carlo Goldini



Menurut saya, Trinity seperti itulah. (Mungkin) ia memang seorang pelancong yang bijaksana, yang tak pernah memandang rendah negaranya sendiri. Seperti kata Carlo Goldini, Trinity selalu mengatakan dengan mengitari negara-negara, ia semakin cinta dengan Indonesia dengan segala keruwetannya.



Saya kecewa dengan buku ini. Terus terang, saya dilanda rasa kecewa karena saya gagal mendapatkan edisi nonrevisi yang sebenarnya dipublikasikan juga di blog The Naked. Tapi, setelah saya bandingkan yang saya punya dengan edisi nonrevisi, malah semakin vulgar kalimat yang dituju dan dianggap terlalu ‘menantang’ adrenalin. (Silakan baca keterangan soal revisi ini di blog The Naked – http://naked-traveler.com)



Dibandingkan dengan buku keduanya, buku ini saya rasa jauh lebih sempurna. Puas membacanya, puas ngakaknya, dan puas jalan-jalannya. Meski lebih tebal The Naked Traveler (TNT) 2, tetap saja saya lebih menjagokan TNT3 untuk kali ini. Trinity lebih liar dalam menulis di dalam buku terbarunya. Kita diajak untuk mengangkat ransel, bertualang ke mana saja, dan kembali dengan cerita.



Trinity bukanlah penulis yang canggung dan malu dengan dirinya sendiri. Ia jujur dalam bercerita dan jelas-jelas menulis kalau dirinya tidaklah memiliki postur tubuh yang lebih layak dibilang backpacker. Malah, dengan cara inilah, Trinity mengundang kita bahwa faktor U, postur tubuh, dan segala kekurangan bukanlah hambatan untuk berjalan-jalan.




72 cerita dibagikan oleh Trinity dalam buku ini. Dari 72 cerita

tersebut, saya memilih empat cerita yang terbaik versi saya.



Onsen,Mandi Rame-Rame

Wah, rasanya saya tak perlu bercerita banyak soal bagian ini. Membacanya benar-benar menanatang adrenalin kaum adam. Trinity bercerita blak-blakkan soal Onsen, permandian air panas di Jepang, yang tidak boleh dilewatkan. Anda mesti membacanya sendiri.



Joroknya China

Benar-benar ngakak, membuat mual, dan tiba-tiba ingin membuktikannya sendiri. Itu yang saya rasakan ketika membaca bagian ini. Dari judulnya saja kita sudah dapat menebak isinya sebagai apa. Tapi membacanya benar-benar membuat keringat dingin.



Under The Stars

Romantis benar sang supir. Bisa-bisanya menemukan tempat untuk melampiaskan HIV (hasrat ingin vivis) di tempat yang super romantis: di bawah bintang-bintang. Trinity tidak cablak dalam cerita ini, malah santai dan jujur sekali. Itu tidak mengurangi kelucuan ceritanya.




RW & B1

Speechless. Speechless. Speechless. Yeah, I’m speechless. Silakan Anda menganggap saya berlebihan. Tapi sudah dua orang yang saya sodorkan cerita ini, mereka tak beda dengan saya, berhenti di salah satu segmen yang paling tragis yang tidak berkeprianjingan. Meski saya sudah sering mendengar cerita seperti ini, bahkan saya pernah ditawarkan menikmati sang B1 oleh guru agama saya sendiri, tetap saja membacanya membuat saya diam dan terbayang-bayang hal yang tak bisa dibayangkan.



Yang masih saya anggap sebagai kekurangan dalam buku ini adalah kertasnya yang tidak berwarna untuk foto. Dengan harga buku seperti itu, tentu tidaklah setara dengan tampilan yang harusnya ada. Buku perjalanan harusnya berwarna, setidaknya hanya untuk di bagian yang terdapat foto. Ini malah sudah menjadi penyakit B First yang banyak menerbitkan buku traveling tetapi kertas tak berwarna.



Karena yang saya dapat adalah edisi revisi, saya malah menganggap kalimat yang (katanya) direvisi itu semakin vulgar. Nah lho, apanya yang direvisi?



Di antara segala kelebihan dan kekurangan, toh, tujuan Trinity adalah mengajak kita untuk mencintai negeri sendiri setelah merasakan ‘derita’ di negeri orang dan jangan pernah kapok dengan nikmatnya traveling.





Jakarta, 27 Juni 2011 | 23.59


A.A. – dalam sebuah inisial


Sebelum Berangkat



Kapal itu akan segera berangkat, kau tatih perihmu di antara luasnya samudra raya. Kau terlalu tangguh sebagai manusia. Pula kau terlalu siap untuk dijadikan manusia dan bermain-main di wahana yang begitu keras untuk menghardik mereka yang lemah. Aku hanya ingin mengantarmu.

Aku hanya ingin mengantar pedihmu, biar karang tahu kau bukanlah manusia biasa.

"Jangan antar aku dengan air mata, kita belumlah mati."

Baiklah, kuturuti permintaanmu, kukabulkan seakan aku tuhan yang tahu kebutuhanmu, tahu segala keluh kesahmu, tahu dan juga merasakan godam yang menghunjam dinding hati yang bisa saja remuk setiap saat. Hati manusia akan remuk meski ia dibuat dari baja sehebat apapun, sekuat apapun, ketika hati itu tak lagi bisa membuka tabir rahasianya.

Tubuh kita bersatu, sesaat saja. Langit hanya menyaksikan tingkah kita yang begitu lancang di muka umum. Toh, bagi mereka, ini hal yang lumrah ketika kapal hendak berangkat untuk melepaskan kekasih. Karena mereka pun berbuat hal yang demikian sama dengan kita. Tak ada yang perlu dipertentangkan dengan perpisahan.

Kubisik doa di dalam jamah-jamah setiap langkahmu. Bendung air mata memang kuat ketika dipaksa untuk bertahan. Biar di antara kekuatan bendungan dan doa yang dianyam dalam jejakmu yang menyisakan bekas di setiap langkah, kau tetap ada.

Dan... semoga kaupun kekal di antara dunia yang fana. Di antara keberangkatan yang tak seorangpun tahu harus berada sampai kapan dalam ziarahnya ini.





Jakarta, 27 Juni 2011 | 21.30
A.A. - dalam sebuah inisial

Jumat, 24 Juni 2011

Gone Too Soon



Like a comet
Blazing 'cross the evening sky
Gone too soon

Like a rainbow
Fading in the twinkling of an eye
Gone too soon

Shiny and sparkly
And splendidly bright
Here one day
Gone one night

Like the loss of sunlight
On a cloudy afternoon
Gone too soon

Like a castle
Built upon a sandy beach
Gone too soon

Like a perfect flower
That is just beyond your reach
Gone too soon

Born to amuse, to inspire, to delight
Here one day
Gone one night

Like a sunset
Dying with the rising of the moon
Gone too soon
Gone too soon


Michael Jackson
June 25, 2009 - June 25, 2011


Dua Pertanyaan Sederhana

ada dua pertanyaan sederhana yang kuyakin kau tak mampu untuk menjawabnya:

pertama: mengapa harus pergi?

dan yang kedua: apakah kita akan berjumpa lagi?






Jakarta, 24 Juni 2011 | 21.07
A.A. - dalam sebuah inisial

Selasa, 21 Juni 2011

Aku Pulang

Janjinya sebelum berangkat adalah ia akan pulang. Sebenarnya aku tidak menghendakinya untuk pergi. Tapi aku tak pernah memiliki kuasa untuk melarangnya meski aku ibunya. Begitu pula dengan suami dan anak-anaknya yang memang harus melepas kepergian ibunya.

"Aku akan rajin berkirim surat, Bu. Semua akan baik-baik saja."

Baiklah, aku percaya semua akan baik-baik saja. Tapi hati ibu mana yang tidak akan pilu bila harus berpisah dengan anaknya sangat jauh? Akupun demikian sebagai ibu. Ada banyak untaian doa yang kukirimkan kepada Tuhan sebagaimana seharusnya orang percaya kekuatan doa adalah kekuatan yang dahsyat. Biar kekuatan itu melindungi anakku sampai ke negeri yang akan dia tuju kelak.

"Aku akan pulang, Bu. Biar kita bisa merenovasi atap rumah kita, Bu."

Lagi-lagi aku percaya kepada janjinya kalau ia akan pulang. Hari sudah beranjak menjadi sore, akupun berdoa kepada sang pencipta agar hari esok jangan lekas datang. Aku masih menginginkannya untuk berada di sini. Biar aku puas memeluk anakku yang tega meninggalkan aku, suami, dan anak-anaknya. Tapi, aku tak kuasa untuk menahannya.

Pagi pun tiba, tas pun telah dikemasnya sedari malam kemarin. Waktunya ia untuk berangkat. Aku memeluknya dengan air mata, dengan doa, dan dengan harapan agar ia lekaslah kembali.

"Berkirimlah surat biar aku tetap tahu kabarmu meski jauh di sana."

Punggungnya tak lagi terlihat. Ia sudah pergi. Diantar oleh suami dan anak-anaknya. Mataku tak lagi sanggup membendung air mata yang seketika hancur saat ia pergi. Ya, ia sudah pergi dan yang bisa kutunggu kini hanyalah surat yang berisi kabar-kabar darinya.

Tak pernah ada telepon. Tapi surat pertama telah datang. Ia hanya mengabari kalau ia sudah tiba di negeri yang ia nantikan. Ia akan memulai bekerja dengan keluarga yang baik. Hatiku lega luar biasa atas berita itu. Berita yang sangat baik.

Di bulan kedua, bulan ketiga, bahkan sampai bulan keenam, rutin surat datang ke rumah. Setelah itu tak ada kabar. Isi suratnya tetaplah sama: aku baik-baik saja dan akan lekas pulang.

Tak ada kabar lagi yang menyatakan ia baik-baik saja. Akupun khawatir terjadi apa-apa dengannya. Nurani ibuku berbicara. Televisi terus memancarkan siaran, tapi bukan kabar anakku. Ingin aku pergi ke sana, mengetahui keberadaannya. Tapi bagaimana caranya?

Gerimis air mata. Aku terbangun dari mimpi yang sangatlah buruk. Anak itu tidak sebahagia yang ditulis dalam suratnya. Ia menyembunyikan segala deritanya. Ia berdusta kepada kami. Mimpi sudah mengabarkan apa yang terjadi kepadanya. Segala pekik jeritnya terdengar olehku. Segala perih luka kurasakan. Segala sakit pilu membuatku berurai air mata. Begitu sesak.

Tapi, sekali lagi, kepada siapa aku harus mengaduh? Kepada siapa aku harus mengeluh?

Cuma doa yang bisa kukirimkan kepadanya. Surat-surat kupeluk yang selalu kuletakkan di samping fotonya. Selalu terdengar suaranya yang akan pulang. Benar-benar aku rindu. Ini rindu ibu kepada anaknya yang menderita. Kenapa pula ia tak jujur kepadaku sebagai ibunya?

Lagi-lagi aku bermimpi. Ia datang, bukan pulang ke rumah. Ia datang di sebuah ruang yang gelap. Setelah itu, aku mendekapnya. Ia telah tak bernyawa. Aku menjerit sejadi-jadinya. Membangunkan seisi rumah. Aku menangis karenanya.

Pagi itu, benar saja, kabar disampaikan kepadaku. Anakku telah tak bernyawa di negeri orang. Ia sudah membunuh orang dan balasannya adalah membunuh anakku. Anakku pembunuh. Dendamnya yang membatu dibalaskan dengan pisau yang menancap di tubuh orang lain. Siksaan yang diterimanya dianggap pantas terbayar bila nyawa orang itu melayang.

Sekarang aku tak bisa lagi menangis. Aku hanya bisa bertanya di mana aku harus mengaduh?

Kudengar suaranya yang memanggilku. Ia pulang hari ini. Ia pulang tanpa raga dan jiwa. Kudengar suaranya memanggilku. Akupun merasa sesak. Sesak sejadi-jadinya.

"Inikah yang dimaksudnya 'pulang'?" tanyaku kepada matahari.



Jakarta, 21 Juni 2011 | 18.14
A.A. - dalam sebuah inisial

Senin, 20 Juni 2011

Melepas Hari

ketika masa itu sudah harus dilewati
dan harapan seperti hampir putus
lepaskan saja
dan biar waktu meleburnya menjadi baru



Jakarta, 21 Juni 2011 | 6.28
A.A. - dalam sebuah inisial

Minggu, 19 Juni 2011

Tentang Ayah yang Mengagumkan



Siapa orang yang paling mengaggumkan dalam hidupmu?

Ayah.

Empat tahun menulis di blog ini, tentu sudah banyak ceritera yang saya bagikan lewat tulisan, foto, musik, video, atau sekadar komentar di blog kawan-kawan. Bagi yang sudah lama mengikuti blog saya, mungkin ceritera tentang ayah saya bukan lagi sesuatu yang baru. Tentang ayah saya sering kali saya bagikan lewat blog ini.

Saya selalu percaya sosok ayah adalah sosok yang istimewa di dalam setiap hidup orang. Seorang Abraham Lincoln saja menganggumi sosok ayahnya yang menjadi motivator dalam hidupnya. Pendukung masa depannya yang paling setia dan yang paling tahu apa yang ia butuhkan. Meskipun Abraham Lincoln dididik untuk bekerja, bukan mencintai.

Saya memang harus mensyukuri atas kelahiran saya yang begitu istimewa. Saya hidup di tengah keluarga yang tentunya istimewa. Di tengah maraknya berita tentang ayah yang menyiksa anaknya, ayah saya bukan termasuk orang yang melakukan hal serupa. Ayah saya jauh dari kekerasan terhadap anak-anaknya. Saya dididik secara bebas dan merdeka, tidak dipaksakan dan terbuka.

Masih saya ingat betul ketika dengan gembiranya saya datang kepadanya membawa kabar bila saya diterima di salah satu jurusan yang saya kehendaki. Saya berlari dan berteriak di hadapannya. Euforia di hadapannya benar-benar.

"Itu sudah pilihanmu. Sekarang tinggal waktunya berjuang dan itu menjadi keputusanmu untuk berjuang dan bertahan atau mundur dari sana."

Saya tahu itu bukanlah jurusan yang dikehendakinya. Beliau lebih memilih saya untuk mengambil jurusan ilmu hukum. Sebelumnya juga beliau sempat mengeluh kepada saya.

"Untuk apa susah-susah kamu masuk IPA, tapi malah kuliah di IPS?"
"Iseng. Hahaha..."
"Di mana-mana orang pengin masuk IPA supaya bisa jadi dokter. Kamu bisa masuk IPA malah ambil IPS!"

Tak jarang saya harus beradu argumen dengannya. Kami tetap pada keputusan kami masing-masing. Tidak lagi peduli dengan kata egois yang distempelkan orang-orang kepada kami. Saya adalah anak yang mewarisi gen keras kepalanya. Saya dan beliau selalu ngotot dengan pendapat kamilah yang paling benar.

Ketika saya harus meninggalkan rumah, bertarung kembali dengan alam, katanya hanyalah sederhana. "Jangan lupa makan vitamin! Sudah papa masukkan ke dalam tasmu!" Aku hanya tertawa dan sekembalinya ke rumah, vitamin itu masih utuh. Tak disentuh, tak dibuka, dan tidak sekali pun diteguk! Sontak saya menyimpannya di dalam laci meja dan ketika beliau bertanya,"mana vitaminnya? Habis tidak?" Saya hanya manggut-manggut berbohong.

Saya bukanlah anak yang patuh. Saya kerap membangkang. Saya selalu merasa lebih mengerti apa yang saya butuhkan. Ketika saya gagal, beliau selalu siap menjadi pendengar keluh kesah saya. Beliau siap untuk menjadi teman perjalanan yang baik dan menyenangkan. Di saat itu, keras kepala kami melebur menjadi satu. Kami punya prinsip yang sama.

Betapa hebatnya semesta menciptakan orang-orang yang seperti saya dan ayah saya yang bisa menjadi satu meski memiliki kepala yang benar-benar melebihi batu. Memang ayah saya adalah ayah yang istimewa. Orang yang paling istimewa dalam hidup saya.

Ayah saya adalah guru yang terbaik, sahabat yang paling setia, dan ayah yang paling luar biasa yang pernah saya kenal. Saya bangga memiliki ayah sepertinya. Saya bangga dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Saya mencintainya dengan sepenuh hati.

Dan saya meyakini ayah saya menyayangi saya meskipun saya bukanlah anak yang selalu bisa dibanggakan olehnya.

Terbentang ribuan jarak yang membuat kisah kita begitu banyak untuk dibagi, Pa. Ada ribuan kenangan. Ada jutaan bahagia. Ada milyaran berbagi. Semua itu selalu kita gunakan untuk menjalin persahabatan yang lebih dari ayah dan anak. Aku adalah anak yang mewarisi gen keras kepalamu tetapi selalu luluh ketika aku harus bercerita tentang dirimu yang selalu dapat aku banggakan. Seutuhnya, aku benar-benar bahagia memiliki ayah sepertimu.

Teman-temanku tentunya iri hati kepadaku bila papa masih sempat untuk datang untuk menemaniku mengambil ijazah. Sempat-sempatnya di antara kesibukanmu, kau menemaniku untuk pergi ke suatu tempat di mana masa depanku akan ada di sana. Bahkan kau siap untuk melepasku pergi lagi dengan leluasa.

Terima kasih untuk segala totalitasmu, Pa. Terima kasih untuk amarahmu yang membuatku untuk kembali pulang kepada jalur di mana aku harus berada, terima kasih untuk selalu menjadi alarm yang mengingatkanku bahwa aku tidak pernah bisa berjalan sendiri, terima kasih untuk menjadi teman perjalanan yang menyenangkan yang bisa diajak berbagi, terima kasih untuk menjadi pendengar setia dan menjadi penasihat agung ketika aku butuh, terima kasih untuk menjadi guru yang bisa kuteladani, dna terima kasih telah membuatku bebas melebihi burung yang merdeka untuk terbang.

Maaf, kalau aku bukanlah anak yang bisa engkau banggakan.

Selamat Hari Ayah, Pa!



Jakarta, 19 Juni 2011 | 19.53
A.A. - dalam sebuah inisial

Rabu, 15 Juni 2011

Melawan Waktu


meski aku sanggup melawan kehilangan
tapi aku terseret dalam zona waktu
yang tak pernah bisa kulawan
sampai zaman yang tak pernah kumengerti



Jakarta, 15 Juni 2011 | 20.38
A.A. - dalam sebuah inisial

Jumat, 10 Juni 2011

Makassar Writers Festival

Start:     Jun 13, '11
End:     Jun 17, '11
Location:     Makassar, Galesong, Barrang Lompo


Rumah Budaya RUMATA’ mendapat kepercayaan menjadi mitra lokal penyelenggaraan tur internasional WRITERS UNLIMITED, sebuah organisasi yang mendorong pertukaran pengalaman dan diskusi antarpenulis di negara Barat dan negara-negara berkembang, yang akan diadakan Juni 2011. WRITERS UNLIMITED yang dulunya dikenal dengan nama WINTERNACHTEN FESTIVAL, adalah lembaga yang berkedudukan di Den Haag, Belanda yang selama 15 tahun terakhir aktif mengadakan festival sastra dan tur penulis internasional, baik di Belanda maupun di negara-negara lainnya.

Untuk penyelenggaraan tur tahun 2011, sebanyak 4 penulis mancanegara, 2 wakil WRITERS UNLIMITED dan 4 penulis Makassar serta partisipan lainnya termasuk wakil media lokal dan nasional akan berkumpul, berdiskusi, mengadakan pembacaan karya dan mengunjungi beberapa tempat di dan di sekitar Makassar untuk mengenal lebih jauh kota dan masyarakat Makassar. Karena melalui tulisan -baik fiksi maupun non-fiksi- kita mendapatkan gambaran mengenai kondisi suatu masyarakat dan kota, maka selama tur dan diskusi, yang berlangsung di Makassar, diharapkan para penulis mendapatkan gambaran dengan beragam perspektif tentang sebuah kota yang tumbuh dengan segala rencana, harapan dan juga segenap persoalan sosial kemanusiaannya. Makassar, sebagai kota yang memiliki sejarah yang begitu panjang menjadi relevan sebagai tempat pelaksanaan festival penulis ini, sekaligus menjadi pionir dan role model bagi kota lainnya di tanah air, bahwa untuk mengajak orang luar memahami Indonesia, tersedia begitu banyak pintu masuk, termasuk kota-kota di berbagai wilayah, dengan keunikan persoalannya masing-masing.


====

13 Juni 2011

09.00 – 12.00  Sastra di Udara – kerjasama dengan stasiun radio lokal untuk mengadakan pembacaan karya sastra secara live, menandai dibukanya Makassar International Writers Festival (Radio Suara Celebes, Radio Prambors, Radio Madama, Radio Mercurius )


Menghadirkan: Shinta Febriany, Hamran Sunu, Hendra GST, Erni Aladjai


 


09.00 – 16.00  Bookcraft Workshop bersama Forum Indonesia Membaca dan Harian Fajar di Graha Pena Makassar.


* Biaya pendaftaran Rp. 30.000




14 Juni 2011


08.00 – 14.00 Tur ke Galesong untuk mengadakan pembacaan karya dan diskusi dengan warga bersama Ikatan Sarjana Kelautan ISLA-Unhas


Menghadirkan seluruh penulis undangan  : Shinta Febriany, Hamran Sunu, Hendra GST, Erni Aladjai, Gunduz Vasaaf, Maaza Mengiste, Abeer Soliman, Rodaan Al Galidi


*Kapasitas tur 25 peserta, tempat terbatas, hubungi: eventrumata@gmail.com


 


16.00 – 18.0   Kuliah Umum dan Pemutaran Film “The Making of I La Galigo”menghadirkan Ibu Restu I Kusumaningrum (Produser I La Galigo)  bertempat di Museum Kota Makassar



*Gratis dan Terbuka untuk umum


 


19.00 -22.00   Malam Pembukaan dengan pemutaran film pendek Tribute to Muhammad Salim (Penerjemah naskah klasik I La Galigo) yang dipersembahkan oleh Harian Kompas. Menghadirkan penyair Sapardi Djoko Damono dan Penulis Undangan Unlimited Writers, bertempat Restoran Ballairate Hotel Pantai Gapura Makassar


*Terbatas untuk undangan


 


 


15 Juni 2011


09.00 – 14.00  Tur Penulis ke  Pulau Barranglompo untuk menghadiri “Observasi dan Dialog dengan Warga” dilanjutkan dengan diskusi penulis dengan tema “Mengisahkan Kebenaran : Sebuah Pengalaman Diri”



Menghadirkan seluruh penulis undangan  : Shinta Febriany, Hamran Sunu, Hendra GST, Erni Aladjai, Gunduz Vasaaf, Maaza Mengiste, Abeer Soliman, Rodaan Al Galidi


*Kapasitas tur 25 peserta, tempat terbatas, hubungi: eventrumata@gmail.com


 


15.00 – 16.00  Workshop terbatas  : Adaptasi Karya Sastra ke Sinema bersama Riri Riza, Hotel Santika Makassar


*Biaya pendaftaran Rp100.000 umum/Rp75.000 mahasiswa



 


16.00 – 17.00     Program Komunitas : Menulis Membuka Jalan bersama Ryana Mustamin, Khrisna Pabichara, Fauzan Mukrim bertempat di Museum Kota Makassar


*Gratis dan Terbuka untuk umum


 


19.00 – 22.00   Program Komunitas : Pembacaan Karya Penulis Manca Negara dilanjutkan dengan Debat Terbuka “Penyair vs Politisi” bertempat di Museum Kota Makassar


Menghadirkan seluruh penulis undangan  : Shinta Febriany, Hamran Sunu, Hendra GST, Erni Aladjai, Gunduz Vasaaf, Maaza Mengiste, Abeer Soliman, Rodaan Al Galidi



*Gratis dan Terbuka untuk umum


 


 


 


 


 


 


16 Juni 2011


13.00 – 14.30 Children’s Book Corner bersama Forum Lingkar Pena Sulsel dan Wendy Miller – Judith Uyterlinde bertempat di Museum Kota Makassar


*Gratis dan Terbuka untuk umum


 



14.30-16.30 Menulis di Era Media Baru, Dari Blogger ke Best Seller bersama Abeer Soliman (Mesir) – Meeza Mangaste (Ethiopia/USA) – Trinity (Indonesia) bertempat di Museum Kota Makassar


*Gratis dan Terbuka untuk umum


 


16.30 – 18.00 Peluncuran Buku “The Naked Traveler #3” bersama Trinity bertempat di Museum Kota Makassar


*Gratis dan Terbuka untuk umum


 


19.00 – 21.00  Resto Djuku, Rumata’ Artspace and Writers Unlimited present: The United Nations of Fish A Fundraising Dinner featuring Janet deNeefe and Writers Unlimited’s Writers


Penampilan Khusus Aisha, Si Koki Cilik,  Musik  oleh Sese Lawing dan para penulis undangan. (*Harga tiket The United Nations of Fish Rp200.000 dapat dibeli di Djuku atau pesan melalui eventrumata@gmail.com



**Seluruh keuntungan disalurkan untuk pembangunan Rumata’


 


17 Juni 2011


08.00 – 10.00  Sastra di Udara – kerjasama dengan stasiun radio lokal untuk mengadakan pembacaan karya sastra secara live, untuk menandai berakhirnya Makassar International Writers Festival (Radio Suara Celebes, Radio Prambors, Radio Madama, Radio Mercurius )


Featuring all participating writers  : Shinta Febriany, Hamran Sunu, Hendra GST, Erni Aladjai, Gunduz Vasaaf, Maaza Mengiste, Abeer Soliman, Rodaan Al Galidi


 


 


Informasi selengkapnya lihat di: www.rumata-artspace.org



Ikuti kami di Twitter : www.twitter.com/RumataArtspace


Facebook : www.facebook.com/RumataArtspace


*Untuk berpartisipasi hubungi eventrumata@gmail.com atau kontak Ita Ibnu : itaibnu@gmail.com / HP : 0811469466


 


* Alamat Museum Kota Makassar: Jl. Balaikota No. 11 A Makassar, Sulawesi Selatan



** Program dapat berubah tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.






INFO --- http://makassarwritersfestival.com

Rabu, 08 Juni 2011

Tentang Malam yang Hujan



Segmen 1

malam yang ditunggu oleh para pecandunya
kami menunggunya di sebuah kedai kopi
sejak matahari pamit pulang kepada langit
dan langit pun merasa dingin teramat sangat
ia memutuskan untuk malam menyelimutinya

Segmen 2

saat itu juga, malam dibentangkannya
langit kelelahan setelah memutar dunia
kami pun girang alang kepalang
ini sebuah pertanda baik untuk candu
artinya langit akan terlelap sangat lama

Segmen 3

kereta pun berlari di atas rel melintasi malam
seperti kami yang melewati malam dengan candu
kopi dan kopi, tawa dan tawa, setumpuk naskah pembicaraan
waktu jadi sungkan menegur kita
meski ia sudah kami acuhkan sepanjang hari

Segmen 4

tetiba gerimis datang di depan mata kami
menyadarkan atas tumpukan gelas kopi
tawa kami yang paling ramai terdengar
dingin menyilet kulit sampai berdarah
tanpa harus mengeluarkan darah

Segmen 5

apa pembicaraan kami berakhir begitu
dan tidaklah seperti itu
ternyata naskah tawa kami masih belum usai
masih ada bab terakhir sampai hujan datang
hujan sendiri yang benar-benar datang
mengirimkan pesan untuk melengkapi malam

Segmen 6

dan hujan pun turun



Bandung, 8 Juni 2011 | 22.52
A.A. - dalam sebuah inisial

Selasa, 07 Juni 2011

Kepadamu, Pahlawanku

Start:     Jun 7, '11
End:     Jul 10, '11
Suara di Surabaya

: Bung Tomo


Kudengar, ada suara yang berteriak di radio dengan jiwanya yang menantang dan suara yang membakar amarah kepada penjajah. Pemuda pun harus berani melawan senjata, melawan desing peluru. Aku pun bergegas sepertimu, Bung Tomo. Suara di Surabaya yang membakar semangat pejuang-pejuang, entah siapa saja mereka. Sekali serang tetap serang!


Tapi tanpa suara itu, dunia di sini bukanlah apa-apa. Toh, pejuang akan loyo bila tak ada yang menyemangati. Kemudian kami berlari, menerjang senjata-senjata. Meremukkan tulang yang dikenal kokoh bak baja. Ternyata bambu runcing lebih menyakitkan daripada pistol. Dan suara di Surabaya membuat kami bangun dari tidur.


Bukan begitu, Bung?


Seratus kata untuk pahlawan kita! Mari bermain dengan keterbatasan kata dan eksplorasi dirimu dengan luas.


Kepadamu, Pahlawanku!



Mari berpartisipasi. Lihat caranya di sini.


Dengan berkontribusi dalam proyek ini, kamu sudah menaruh aset sastra di Pusat Dokumentasi H. B. Jassin karena seluruh royalti penulis dari hasil penjualanan buku ini akan diberikan kepada Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin. Selain itu, kamu juga masuk ke dalam bagian Sastra Indonesia.


Selamat bermain dalam seratus kata!



==========================================================

Bagaimana bergabung di dalam proyek ini?


1.       Tentukan apa yang ingin kamu tulis. Boleh puisi, cerpen, prosa, dan esai. Tema yang diangkat adalah “Kepadamu, Pahlawanku”.


2.       Download template dari nulisbuku.com di sini dan mulailah menulis. Times New Roman 12pts, spasi 1. Batas yang ditentukan adalah 100 kata (tidak termasuk judul). Jangan lupa juga tuliskan siapa pahlawan yang kamu tujukan tersebut. Pahlawan bebas, boleh orang tua, kakak, teman, pacar, pahlawan nasional, atau tokoh dunia.



Kalau kamu tidak bisa mendownload-nya, sila kirim email ke untuk.sastra.indonesia@gmail.com dan akan kami kirimkan untuk kamu.


3.       Kirim karya kamu ke untuk.sastra.indonesia@gmail.com paling lambat hari Minggu, 10 Juli 2011, pukul 23.59. Subjeknya: Pahlawan-judul naskahmu-nama kamu. Contoh: “Pahlawan-Untuk Ganesha Indonesia-Rita Lestari”. Semua naskah harus di-attachment. Sertakan juga nama kamu, e-mail, blog dan akun Twitter dan Facebook-mu.


4.       Ajak teman-temanmu juga untuk berpartisipasi dalam proyek ini!


5.       Naskah yang masuk akan di-update perminggunya di blog ini. Oh ya, kalau kamu juga ingin membuatkan desain kaver, silakan kontak kami di untuk.sastra.indonesia@gmail.com dengan subjek “Cover”. Kami akan membalas suratmu secepatnya!



6.       Semua naskah yang masuk akan dibukukan setelah diseleksi sesuai tema dan persyaratan serta akan diedit dahulu.


7.       Satu orang hanya diperkenankan mengirimkan paling banyak dua naskah. Bila lebih, yang ketiga dan seterusnya dianggap gugur.


Nah, tunggu apa lagi! Buka Word-mu, menulislah! Senantiasa kami tunggu tulisanmu!

Minggu, 05 Juni 2011

Selamat Pagi Indonesia

selamat pagi, Indonesia, seekor burung mungil mengangguk
dan menyanyi kecil buatmu.
aku pun sudah selesai, tinggal mengenakan sepatu,
dan kemudian pergi untuk mewujudkan setiaku padamu dalam
kerja yang sederhana;
bibirku tak biasa mengucapkan kata-kata yang sukar dan
tanganku terlalu kurus untuk mengacu terkepal.
selalu kujumpai kau di wajah anak-anak sekolah,
di mata para perempuan yang sabar,
di telapak tangan yang membatu para pekerja jalanan;
kami telah bersahabat dengan kenyataan
untuk diam-diam mencintaimu.
pada suatu hari tentu kukerjakan sesuatu
agar tak sia-sia kau melahirkanku.
seekor ayam jantan menegak, dan menjeritkan salam
padamu, kubayangkan sehelai bendera berkibar di sayapnya.
aku pun pergi bekerja, menaklukan kejemuan,
merubuhkan kesangsian,
dan menyusun batu-demi batu ketabahan, benteng
kemerdekaanmu pada setiap matahari terbit, o anak jaman
yang megah,
biarkan aku memandang ke Timur untuk mengenangmu
wajah-wajah yang penuh anak-anak sekolah berkilat,
para perempuan menyalakan api,
dan di telapak tangan para lelaki yang tabah
telah hancur kristal-kristal dusta, khianat dan pura-pura.

Selamat pagi, Indonesia, seekor burung kecil
memberi salam kepada si anak kecil;
terasa benar : aku tak lain milikmu




Sapardi Djoko Damono

Sabtu, 04 Juni 2011

Cara terbaik mencintai pagi adalah menerima kehadirannya. Selamat pagi!

Soal Perih



Buat kamu,


Ternyata saya tahu bagaimana rasanya berbagi sakit. Tapi saya lebih tahu untuk mempersiapkan kehilangan yang teramat sangat. Sesungguhnya, saya sangatlah tidak siap untuk menghadapinya. Ini benar-benar godam yang harus saya pikul dengan sangat berat. Saya siap akan pertemuan tetapi saya tidak sanggup menghadapi apa yang dinamakan dengan kehilangan. Saya memang manusia biasa, seperti insan pada umumnya yang tak sanggup menghadapi kehilangan.

Saya pikir saya seorang yang kuat, siap menghadapi semua ini. Saya pikir ini adalah hal yang biasa, ternyata lebih dari itu. Saya pikir saya bisa berjalan seperti biasa dalam kondisi seperti ini. Saya pikir saya akan tenang-tenang saja untuk meninggalkan kamu dalam kondisi seperti ini.

Ternyata keterikatan batin kita terlalu kuat. Sangat kuat.

Arwah kita satu, darah kita satu. Yang terluka padamu, berdarah padaku. - Sutardji Calzoum Bachri

Saya menuliskan untuk kamu dengan terpaksa, dengan mata yang sembab menahan bendungan air mata. Semua kata mengalir begitu saja. Tak ada lagi yang bisa saya pendam. Saya benar-benar dalam ketakutan saat ini. Saya bukan takut akan kematian yang akan menghadang di depan, tetapi terlebih dari itu, saya takut dengan kehilangan yang menyakitkan.

Saya benci air mata. Saya benci menangis. Saya hanya suka dengan kebersamaan. Ya, terserah dengan kata orang-orang bila saya orang yang egois karena mereka belum tentu mengerti seberapa dekat antara kita. Mereka mengatakan perpisahan adalah hal yang lumrah karena mereka belum pernah menghadapinya. Bila mereka mengerti, mereka akan tahu ini pedih yang begitu perih.

Seberapa jauh surga dari kita? Itu yang selalu ingin kutanyakan. Biar aku bisa menghentikan waktu. Aku tahu Tuhan tidak bisa menghentikan kehilangan, menghentikan perpisahan. Aku juga tak ingin menyalahkan Tuhan. Ia tak bersalah atas apa pun. Aku hanya ingin menghentikan waktu. Biar ia menunda kehilangan yang akan kita hadapi sampai aku puas. Puas untuk mencumbumu dengan bahagia sehingga bila saatnya telah tiba, aku tak perlu mengantar perpisahan dengan air mata. Biar kamu tak perlu merasa perihnya air yang menetes di antara luka.

Saya banyak belajar setelah berita yang (sebenarnya tidak terlalu) menyentak saya ketika mendengarnya. Saya tahu kita akan pergi ke mana orang-orang akan pergi. Tapi lagi-lagi saya tidak bisa menghadapi apa yang dinamakan kehilangan.

Bila memang harusnya pergi, tolong katakan dahulu agar saya punya waktu untuk mengucapkan sampai jumpa. Saya masih mematri apa yang dinamakan selamat tinggal dan sampai jumpa itu sangatlah berbeda. Saya membenci ucapan 'selamat tinggal' karena saya percaya orang-orang masih memiliki kesempatan untuk bertemu lagi, entah di mana, entah di dimensi mana, dan entah di gurun yang mana. Tapi, apa kau tahu bagaimana caraku menyayangimu dengan diam-diam seperti ini?

Mungkin kurasa, kehilangan yang akan memberikan makna seberapa besar arti seseorang ketika ia tiada, bukan ia ada.


Jangan lekas pergi, tapi lekaslah sembuh! Masih banyak cerita yang belum kita rawikan di halaman rumah sebelum rumah ini kita tinggalkan.




Lebih dari sekadar benang merahmu,




Jakarta, 4 Juni 2011 | 20.38
A.A. - dalam sebuah inisial

Jumat, 03 Juni 2011

Dari Kamu, Senja


agar kami punya harap di dalam setiap kedatangan

karena aku mengerti
mengapa matahari harus datang
dan juga pergi

karena aku mengerti
arti kehilangan
adalah untuk menemukan
kehilangan lain



Jakarta, 3 Juni 2011 | 18.52
A.A. - dalam sebuah inisial

Rabu, 01 Juni 2011

Soal Waktu



dia yang tak dapat kembali
tapi juga tak dapat berlari

dia yang dapat pergi
tapi tak dapat bersembunyi

hari ini adalah tentang hari ini
tak perlu diungkap tentang esok
karena ia sudah punya rawian sendiri

hari ini adalah tentang hari ini
tak perlu diceritakan tentang kemarin
karena ia sudah menjadi kenangan dan sejarah

dia boleh saja pergi dan tak kembali
tapi hari ini adalah tentang hari ini

tak ada yang perlu kamu khawatirkan

semua akan baik-baik saja, percayalah untuk ini





Jakarta, 2 Juni 2011 | 08.47

A.A. - dalam sebuah kultimasi dahsyat

Perih


Di depan pintu rumahmu, aku hanya mampu terdiam. Di depan itu pula, kau menatapku lirih seolah kau mengerti alasan yang tak sempat aku ucapkan untuk pergi di tempat yang kusendiri tak mengerti mengapa harus ke sana. Kita berbicara lewat tatap mata.

'Untuk apa di sini?'

Kau turun mendatangiku. Aku tahu ini akan terjadi. Kau tak akan pernah rela meninggalkan aku sendiri, mendiamiku dalam waktu yang cukup lama.

'Hanya untuk mencari jalan pulang.'

'Jalan pulang?'

'Jalan pulang ke hatimu.'

Sembab matamu. Aku menunduk di hadapan wajahmu. Ternyata semudah itu membuatmu menangis. Tapi kehadiranku bukanlah untuk membuatmu menangis. Ada yang ingin kukatakan sebelum pergi:

'Perih ini hendak kubagi denganmu, maukah kau menerimanya?'






Jakarta, 1 Juni 2011 | 21.24
A.A. - dalam sebuah inisial