Kamis, 26 Mei 2011

Pesan Ibunda

Kata ibunda sebelum aku pergi ke negeri di seberang pulau
ini pun dipesankannya lewat surat karena aku tak pernah pulang
pamit pun hanya lewat telepon yang tak bisa merekam kenang:

kembali nak, kembali kalau memang harus kembali
ada rumah yang bisa kau tinggalkan untuk tidur saat kau kembali
kalau harus menjadi bedinde, jujurlah pada pekerjaanmu
meski berat dan coba serap simbiosis apa yang dikenakan
dalam kehidupanmu di seberang pulau: komensalisme, mutualisme
tapi jangan pernah kau menjadi parasitisme, jangan pernah jahat
meski kau bisa saja benci kepada pekerjaanmu, tapi jangan anti kepada mereka
lengkapilah hatimu dengan hati yang tulus dalam bekerja
bergiatlah agar orang-orang memandangmu anak yang memiliki bara semangat
meski hatimu kelak sepi, tidak ada orang yang bisa kau bagi kedukaan
tak ada orang yang bisa kau ajak untuk tertawa bersama
atau akan kau dendangkan langgam yang menyayat hatimu
tapi hentikan bila kau hanya mampu berurai airmata
biar tirai kemenangan selalu terbuka bagimu
dan kamu menjadi anak yang merdeka

tapi, kau akan pulang 'kan, nak?





Jakarta, 27 Mei 2011 | 06.21
A.A. - dalam sebuah inisial

Selasa, 24 Mei 2011

Di Sebuah Bagian yang Tak Lenyap




Ini adalah sebuah bagian yang tak akan pernah lenyap
jika kau percaya bahwa ia akan abadi sebagai sejarah
dari segala perjuangan tanpa senjata dan darah
kami berjuang dengan kata, kata yang kami kirimkan
kepada sang penguasa yang tak pernah mengerti merdeka
kepada mereka yang tak tahu bagaimana mencintai diri sendiri
untuk mereka belajar arti kejujuran kepada anak-anak kecil

Ini adalah sebuah bagian yang tak akan pernah lenyap
meski waktu menggulingkan keberadaannya sebagai peristiwa
kami hanya berjuang lewat teriak, keringat, dan semangat yang membakar
karena yang kami tuntut hanya satu: perubahan yang benar
benar, bukan berarti harus membenci pemimpin kami
benar karena kami sayang kepada negeri kami
untuk alasan itu, kami lancang menegur saudara

Ini adalah sebuah bagian yang tak akan pernah lenyap
walau orang-orang melupakannya kelak perjuangan ini
mereka tahu bahwa kami pernah membahagiakan mereka dengan cara ini
setidaknya sejarah pernah menggoreskan catatannya mengenai
kami merindukan oasis di tengah gurun perjuangan yang semakin sengat
kami tak ingin diarak sebagai pahlawan, kami ingin menjadi benar
karena merdeka bukan sesuatu yang turun dari langit begitu saja
merdeka adalah berjuang untuk menjadi merdeka
dan itu pun didapatkan bukan secara cuma-cuma

Ini adalah sebuah bagian yang tak akan pernah lenyap
meski hari selalu berganti dan detik sudahlah berlari
tapi ini bukan sekadar kenangan yang biasa kau simpan dalam pandora
cita-cita, air mata, semangat, keringat, sorakan, dan hidup kami di hari itu
tak akan menguap bersama waktu, ia akan tetap ada
entah sebagai apa kelak, itu yang kuaminkan



Jakarta, 25 Mei 2011 | 08.06
A.A.- dalam sebuah inisial



Untuk sebuah manuskrip yang akan diselesaikan....

Senin, 23 Mei 2011

Perihal: Kopi


pagi ini
di depan beranda rumah
asap dari cangkir mengepul
menyambut hadirmu
di dalam pekatnya
menyentuh harimu

biar kamu tetap hidup
katanya

biar kamu tetap kuat mengangkat ransel
lagi-lagi katanya

kalau begitu
selamat pagi



Jakarta, 24 Mei 2011 | 8.01
A.A. - dalam sebuah inisial

Minggu, 22 Mei 2011

Pengejawantahan Bahagia



Sudahkah Anda berbahagia?

Sejak kecil, saya memang selalu bertanya-tanya apakah saya sudah bahagia. Namun, dari sejak kecil pula saya tak percaya bahwa saya sudah bahagia. Mengapa? Karena saya sendiri belum bisa merasakan apa itu bahagia menurut saya.

Kalau begitu, pernahkah saya bahagia? Saya sendiri tak yakin bahwa saya tidak pernah tidak bahagia. Mungkin saya sering menciptakan bahagia saya sendiri tanpa saya insafi. Dari sana saya bisa merasakan bahagia yang saya ciptakan tanpa orang-orang tahu. Tanpa berbagi bahagia dengan mereka.

Aveline kecil pernah berpikir kalau bermain sepeda dengan teman sepermainannya adalah bahagia. Lambat laun, pemikiran itu berubah. Ia tanggalkan sepeda tersebut dan berganti dengan bermain bola. Lagi-lagi ia berpikir kalau dengan bermain bola, ia bisa berbahagia. Ternyata pemikiran itu berubah lagi setelah ia menemukan bahagia di antara lapisan kertas yang dijilid. Dengan membaca, ia bahagia?

Ternyata lagi-lagi, ia berubah pikiran. Aveline yang bertumbuh semakin dewasa ternyata tidak berpikir tentang bermain lagi. Ia berpikir dengan mengejar ranking di sekolah, ia akan menjadi orang yang berbahagia. Setelah ranking itu ia dapatkan, nyatanya ia semakin tidak puas. Aveline kecil mengejar target untuk masuk ke kelas unggulan. Wah, pikirnya saat itu, ia akan menjadi bahagia.

Setelah masuk, ia malah mengejar bahagia yang lain. Ia menciptakan mimpi-mimpi lain yang menurutnya akan membuatnya menjadi orang yang berbahagia. Ia berpikir lagi dan berpikir lagi dengan cara dan menjadi apa ia dapatkan bahagia.

Ternyata bahagia itu diciptakan setelah bahagia lain tercipta. Itulah kata Aveline saat ini. Ya, akhirnya saya sadari kalau memang saya memiliki kecenderungan memiliki bahagia yang berbeda dengan orang lain. Atau malah sama tapi saya tak menyadarinya? Bahagia tak akan tercipta bila tak ada bahagia lain yang sudah diciptakan dahulu.

Ini seperti ilmu ekonomi: mengejar segala kehendak yang begitu banyak di dalam lingkup yang terbatas. Semakin banyak bahagia yang ingin saya ciptakan, semakin terbatas dunia yang saya miliki. Bukankah di dunia ini, semua orang menginginkan bahagia? Begitu juga dengan saya. Saya pun ingin bahagia dengan cara yang saya miliki. Meski itu dalam keterbatasan.



Apa wujud bahagia itu?


Ini yang tak pernah bisa saya jawab. Menurut saya, bahagia bukanlah benda mati, tetapi juga bukan kata sifat. Tafsiran bahagia benar-benar subyektif dan sangatlah tak absolut. Tak semua orang bisa berbahagia dengan cara orang lain yang ia miliki.

Ada orang yang mewujudkan bahagia dengan memiliki banyak uang. Ia percaya uang memberikannya bahagia yang tiada tara. Ada juga orang yang percaya dengan bekerja, ia bisa menjadi orang yang sangat bahagia. Maka, ia memutuskan untuk bekerja siang dan malam. Atau ada juga orang yang mengatakan ia bahagia dengan menghabiskan waktunya di atas ranjang dan tidur. Tapi apakah semua orang sama?

Aveline yang sudah bertumbuh dewasa tak lagi percaya kalau ranking memberikannya bahagia utuh. Ia mencari bahagia lain. Dengan membaca, menulis, travelling, bahkan duduk ngobrol dengan teman-temannya berjam-jam di kedai kopi itulah yang membuatnya menjadi bahagia. Tak kadang pula, ia tak menemukan bahagianya lewat cara itu.

Saya tak tahu bagaimana wujud bahagia yang sesungguhnya. Apa ia bersembunyi di bawah kasur, duduk manis di meja makan, diam di antara rak buku, atau sudah berada di dalam aliran darah saya. Bahagia itu berwujud maya atau nyata juga tak saya ketahui. Tapi yang saya tahu, bahagia selalu berputar.

Saya pun menyadari kalau bahagia selalu ada bukan karena ia dicari, tetapi karena tercipta yang bukan sesuai kehendaknya. Tapi dengan perwujudan bahagia yang lain.

Bagaimana wujud bahagia itu? Ada yang bisa menjawabnya?



Jakarta, 23 Mei 2011 | 07.16
A.A. - dalam sebuah inisial

Sabtu, 21 Mei 2011

Perihal: Belajar



ternyata,
kasih itu tidak lebih
dari sekadar belajar
belajar untuk memberi dan menerima
belajar untuk mendapatkan dan merelakan
belajar untuk mempertahankan dan melepas



Jakarta, 22 Mei 2011 | 09.44
A.A.
- dalam sebuah inisial

Kamis, 19 Mei 2011

Larasati

Rating:★★★
Category:Books
Genre: Literature & Fiction
Author:Pramoedya Ananta Toer
Revolusioner Larasati

Pramoedya. Tentulah hampir semua orang tahu siapa dia. Namanya menjulang di dalam dunia sastra Indonesia setelah Tetralogi Buru lahir dan namanya sempat terdaftar sebagai calon penerima Nobel Sastra. Satu-satunya orang Indonesia yang pernah dinominasikan di dalam penerima Nobel Sastra. Tetralogi Buru sendiri sudah diterjemahkan ke dalam berbagai macam bahasa.

Kali ini Pram bercerita tentang kehidupan Larasati. Larasati adalah seorang aktris yang hidup di Yogyakarta yang kemudian di dalam perjalanannya menuju Jakarta untuk kembali bermain film dan menemui ibunya yang ditinggalkannya setahun. Profesi Ara bukan hanya sebagai aktris, tetapi juga sebagai pelacur. Namun demikian, Ara bukanlah perempuan yang tidak peduli lagi dengan keberadaan negerinya. Kedatangannya di Jakarta pun disambut sebagai seorang NICA. Ori (Oeang Republik Indonesia) yang menyelamatkan dirinya dari tongkat kakek yang akan melayang kepadanya. Ara adalah seorang perempuan yang ingin berjuang untuk bangsanya meski ia bukan perempuan yang bersih. Itu dikatakannya sendiri:

"Bagaimana pun juga kotornya namaku aku akan tetap dapat berguna. Kotor?"

"Biar aku kotor, perjuangan tidak aku kotori. Revolusi pun tidak! Negara pun tidak! Rakyat apa lagi! Yang aku kotori hanya diriku sendiri. Bukan orang lain."

Bahkan lewat Ara, Pram mengkritik golongan tua yang begitu hina, korupsi, dan mementingkan diri sendiri.

"Hanya angkatan tua yang mengajak korup, angkatan muda membuat revolusi."

Lewat Ara pula, Pram menyatakan bahwa golongan muda adalah golongan yang seharusnya membuat pergerakan baru. Yang akan membentuk diri bangsa dengan lebih baik untuk masa depan. Pram ingin melihat Revolusi terjadi. Lewat Ara, Pram mengajarkan kita menjadi pejuang yang berani. Berani kalah ketika menang dan berani berbesar hati ketika sudah merasakan pahitnya kekalahan.

"Kalau kau menang, bersiaplah untuk kalah, terima kekalahan itu dengan hati besar, dan rebutlah kemenangan."

Dan menurut Pram, "Revolusi-dia adalah guru. Dia adalah penderitaan. Tetapi dia pun harapan."

Ciri khas Pram yang tak akan lepas adalah ceritanya selalu berputar soal perjuangan. Semangat nasionalisme yang selalu dikumandangkan lewat romannya membuat orang menjadi tergugah. Cinta akan tanah air tanpa harus menjadi seorang Belanda yang ia lapiskan dalam tokoh yang bernama Larasati, seorang pelacur, aktris, bahkan seorang istri yang membangkang kepada sang suami yang menjadi seorang idealis dan berusaha lahir sebagai seorang revolusioner.

Membaca Larasati hampir tak beda dengan membaca roman yang berasal dari Melayu Klasik. Meski dikemas dengan bahasa yang lebih sederhana, itu tidak bisa menghindari harus membaca berulang kali untuk dapat memahami kalimatnya. Untuk yang baru kali pertama membaca Pram atau lebih menyukai roman dengan kalimat yang lebih mudah dimengerti, mungkin akan terhenyak dengan kalimat yang berputar-putar dan mengerutkan dahi.

Poin yang saya anggap kurang adalah di dalam cerita Larasati ini, Pram hampir tidak pernah 'mementaskan' sang Ara sebagai seorang aktris. Malah lebih cenderung sebagai seorang pejuang wanita. Kurang tampak di dalam penokohan Ara sebagai aktris dan pelacur. Lebih banyak kata-kata yang menjelaskan kalau Ara adalah seorang aktris, bukan mendeskripsikan atau menggambarkan bagaimana lakon Ara.

Tapi Ara yang keras kepala dan berjiwa pemberontak yang membuat cerita ini menjadi menarik. Ara yang rela untuk tidak bermain di dalam pementasan Belanda membuat keputusan yang berani. Namun, di dalam beberapa bagian, Ara seperti kehilangan jati dirinya. Ia menjadi perempuan yang lemah, yang putus asa dan rela membiarkan Revolusi perlahan lenyap. Sepertinya Pram memang tak menginginkan Ara sebagai perempuan yang benar-benar utuh menjadi pejuang seperti Cut Nyak Dhien yang sampai mati untuk mendapatkan kemerdekaan. Ia lebih menginginkan Ara menjadi perempuan yang kembali seharusnya menjadi perempuan. Bahkan sempat terpikir olehku kalau Ara hanya besar mulut saja, tapi tidak untuk berjuang.

Di bagian tengah cerita, sepertinya Pram memaksa cerita agar tetap mengalir. Dan itu terlihat dengan beberapa adegan yang lebih terkesan memaksa untuk masuk dibandingkan pada bagian awal yang benar-benar menggigit. Saya yang sebagai pembaca sempat merasa penat dengan beberapa bagian yang seperti itu. Kemudian pada epilognya juga masih terasa 'gantung'. Entah apa maksud Pram membuat ceritanya seperti itu.

Jalan pikiran Pram yang sulit diprediksi bermain di dalamnya. Roman ini sudah berkisah enam puluh tahun yang lalu, tetapi masih tak jauh dari keberadaan bangsa ini. Cerita yang hampir serupa dengan keadaan yang ada saat ini. Cerita yang sederhana ini mengalir di antara cita-cita dan asa yang ingin menjulang tinggi. Mungkin kita memang selalu butuh Ara yang memang menginginkan kehidupan merdeka dengan caranya sendiri.

Sampul buku untuk edisi terbitan "Lentera Dipantara" kurasa tidak sesuai dengan Larasati yang adalah seorang Yogyakarta. Bukan karena terlalu cantik, tetapi raut wajah Jawa tidak tampak pada gadis tersebut.

Jakarta, 19 Mei 2011 | 18.38
A.A. - dalam sebuah inisial

Rabu, 18 Mei 2011

Pesta Buku Jakarta 2011

Start:     Jul 1, '11
End:     Jul 10, '11
Location:     Istora Gelora Bung Karno - Senayan, Jakarta




Sabtu, 2 Juli 2011
 Waktu Tempat Acara Narasumber Penanggung Jawab
10.00 - 13.00 Panggung Utama
Pembukaan PBJ 2011  Panitia
10.00 - 15.00Halaman IstoraLomba Konser Drum Band 
 Panitia & Expanda
13.30 - 15.30Panggung utamaBedah Buku "Nasional-Is-Me"
Pandji PragiwaksonoBentang
15.30 - 16.00Panggung utamaPengumuman Pemenang Lomba Drum Band Panitia & Expanda
16.00 - 18.00
Panggung utamaSeminar & Workshop 'Quantum Touch'Reva Syarif BenjaminUfuk Publishing House
19.00 - 21.00
Panggung utamaBedah Buku Srimulat I "Aneh yang Lucu" Team Srimulat & Sony SetTiga Serangkai

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 



 

Minggu, 3 Juli 2011

 Waktu Tempat Acara Narasumber Penanggung Jawab
07.00 - 09.00Halaman IstoraFun Bike with Book
 Panitia
10.30 - 12.30Panggung UtamaBedah Buku "Bukti Kedahsyatan Sirsak Menumpas Kanker"dr. ErfizalAgromedia Pustaka
12.30 - 14.00Halaman IstoraTalkshow Interaktif dan Demo "Pijat Untuk Mencerdaskan otak dan Meningkatkan Daya Ingat"
M. Ferry Wong (Pemegang Rekor MURI Meningkatkan Daya Ingat" Jaripunktur 2010 Penebar Swadaya
13.00 - 14.00Panggung UtamaSeminar Motivasi EQ for Youth
Sukses Mengoptimalkan Potensi Remaja dan Anak Muda
Anthony Dio Martin (The Best EQ Trainer Indonesia)
Penebar Swadaya
14.00 - 15.00Panggung UtamaDemo Fashion "Muslimah in style"Indriya R. Dhani, Tety Murniati,         Tata LukmanintPenebar Swadaya
15.00 - 16.00Panggung utamaTalkshow 'Satu Cinta Sebait Syair Kebenaran'Connie ConstantiaDiksi
16.00 - 18.00Pangung UtamaLaunching Buku 'Yang Galau.. Yang Meracau Curhat Tuan Setan'
Fahd DjibranKurnia Esa (Serambi)
19.00 - 21.00Panggung UtamaBedah Buku 'Kedai 1001 Mimpi'
Valiant BudiGagas Media (Agromedia Group)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 Senin, 4 Juli 2011   

WaktuTempatAcaraNarasumberPenanggung Jawab
10.30 - 12.30Panggung Utama   
13.00 - 15.00Panggung utamaTalkshow 'Buku Mengubah Hidupku' Perspektif Pebisnis Panitia
16.00 - 18.00Pangung Utama
Launching Penulisan First Novel & The Story ExplorerDewi Utama FaizahTiga Serangkai
19.00 - 21.00Panggung UtamaHiburan Musik Panitia

 

 

 

 

 

 

 
                    

 

 Selasa, 5 Juli 2011     

 Waktu Tempat Acara Narasumber Penanggung Jawab
10.30 - 12.30Panggung Utama
 Hiburan Musik Panitia
16.00 - 18.00Panggung UtamaBedah Buku "The Becak Way"Hary Van Jogja
Tiga Serangkai
19.00 - 21.00Panggung Utama  Hiburan Musik Panitia

 

 

 

 

 

 

 

Rabu, 6 Juli 2011

WaktuTempatAcaraNarasumberPenanggung Jawab
10.30 - 12.30Panggung UtamaPancasila Banget PentingYudi Latif, Lukman Hakim Saefudin Majalah Gontor
13.00 - 15.00Panggung utama
Talkshow dan Demo Cerdas
Mengemas Produk Makanan dan Minuman Untuk UKM
Yuyun A.
Delli Gunarsa
Agromedia Group
16.00 - 18.00Pangung UtamaTalkshow 'Buku Mengubah Hidupku' Perspektif Idola Remaja Panitia
19.00 - 21.00Panggung Utama 
Talkshow & Temu Penulis
"Mengeruk Untung Dari Bisnis Kopi Luwak"
 Ir. Edy PanggabeanAgromedia

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Kamis, 7 Juli 2011 

WaktuTempatAcaraNarasumberPenanggung Jawab
10.30 - 12.30Panggung Utama   
13.00 - 15.00Panggung utamaTalkshow PendidikanProf. Dr. Arief RahmanPanitia
16.00 - 18.00Pangung UtamaTalkshow 'Buku mengubah Hidupku' Perspekftif BudayawanJJ Rizal, Radhar Panca DahanaPanitia
19.00 - 21.00
 Pangung UtamaHiburan Musik
  

 

 

 

 

 

 

 

 

Jum'at, 8 Juli 2011 

WaktuTempatAcaraNarasumberPenanggung Jawab
10.30 - 11.30Panggung Utama
   
13.00 - 14.00Panggung utamaBedah Buku "Semburat Senyum Sore"Vinca CallistaSerambi
14.00 - 15.00Panggung utamaTalkshow "Solusi Jitu Arsitektur Untuk Bumiku" Menghadirkan Nuansa Alam di Rumah
Raul Renanda, Wijoyo Hendromartono
(The Best Arsitek Indonesia)
Penebar Swadaya
15.00 - 16.00
Panggung utama
Demo Keterampilan "Yubiyami" Merajut Dengan Jari 
Linda Nicegreen
Penebar Swadaya
16.00 - 18.00Pangung UtamaMizan Goes DigitalTim Ahli MizanMizan Digital
19.00 - 21.00Panggung Utama7 Step to Reach Your DreamBudi IsmanTiga Serangkai

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Sabtu, 9 Juli 2011 

WaktuTempatAcaraNarasumberPenanggung Jawab
10.30 - 12.30Panggung UtamaLaunching Buku MENKESMenkes Ibu Endang Rahayu, dr. Lula Kamal
Mizan Pustaka
12.30 - 14.30Panggung utamaJumpa Penulis "Ranah 3 Warna"A. Fuadi, Udjo Project Pop Moderator : Andrei (Mustang FM)
Gramedia
14.30 - 16.00Panggung utamaSeminar Dahsyat 'Tips Sales Sukses dan Launching Buku Malu Bertanya Tidak Dapat OrderanDedy Budiman (The Champion Sales Trainer Indonesia)Penebar Swadaya
16.00 - 18.00Pangung UtamaTalkshow bersama Boim Lebon dan Parade 'Penulis Cilik Punya Karya (PCPK) Boim Lebon & Penulis CilikLingkar Pena Publishing House
19.00 - 21.00Panggung UtamaBedah Buku "Nibiru dan Ksatria Atlantis"Tasaro GKTiga Serangkai

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Minggu, 10 Juli 2011 

WaktuTempatAcaraNarasumberPenanggung Jawab
10.30 - 12.30Panggung Utama 
Talkshow Travelling
Pemenang ACI detik.com, Penulis Trevelicious 
Bentang
12.30 - 14.00Panggung UtamaTalkshow & Workshop Buku Anak-Anak Cara Gampang Bikin Kartun'
Ary VhrasMeida Kita (Agromedia Group)
14.00 - 16.00Pangung UtamaLaunching Buku "EURACLE"Andi Azril (Bintang KCB)Progressio (Sygma)
16.00 - 18.00
Panggung UtamaPenutupan PBJ 2011 
 Panitia

 

 

 

 

 

 

 

Selasa, 17 Mei 2011

Bali Emerging Writers Festival

Start:     May 27, '11
End:     May 29, '11
Location:     Serambi Arts Antida

Minggu, 15 Mei 2011

Perihal: Kehilangan



tiba-tiba saja
matahari menangis
saat kuselesaikan cerita
tentang sebuah kehilangan
yakni
kehilangan kamu






Jakarta, 15 Mei 2011 | 21.20
A.A. - dalam sebuah inisial

Jumat, 13 Mei 2011

Semua Bergerak untuk Sastra Indonesia

Category:   Books
Price:   Rp. 35.000,-

Tujuh esai, sepuluh cerpen, dan empat puluh dua puisi dari berbagai kalangan sebagai persembahan terhadap Sastra Indonesia yang mulai pudar keberadaannya. Ini sebagai wujud kepedulian bagi mereka yang tergerak hatinya untuk menjaga, mempertahankan, dan melestarikan Sastra Indonesia sebagai warisan yang abadi dan tak lekang dimakan waktu dengan cara menulis untuk sastra. Ini menjadi kesadaran kalau sastra bukan sekadar bacaan, tetapi bisa mengubah kehidupan banyak orang di hari kemarin, hari ini, dan hari esok.


Pemesanan bisa lewat nulisbuku


*) Harga belum termasuk ongkos kirim.


Rabu, 11 Mei 2011

Hari Ini Tiga Belas Tahun yang Lalu



Hari ini tiga belas tahun lalu:

Sedang apa kau, sayang?

aku bermain senapan di depan DPR
aku bermain orasi di atas mimbar
aku bermain gas air mata di muka MPR

siapakah perduli?

aku yang akan dijerang peluru
aku yang akan berdarah jadikan mati
aku yang tergeletak di tengah Gatot Soebroto

selamatkah engkau?

dari huru hara itu
dari amukan itu
dari atas nama reformasi

engkaukah itu?

yang menjadi jenazah
yang masih berlarian
yang berdiri di mimbar

akankah kau kenang itu?

semua kematian yang jadinya kisah
semua perjuangan kita jadinya angan
semua tragedi hidup jadinya air mata

apa yang akan diwariskan pada mereka?

sebuah cita-cita atas reformasi
sebuah kemenangan untuk demokrasi
sebuah harapan yang jadikan mimpi adanya

Hari ini tiga belas tahun lalu

akankah sejarah mencatatnya?




Jakarta, 13 Mei 1998 - 13 Mei 2009 - 13 Mei 2011

Perihal: Kamu




Musim semi keempat, tidaklah juga sama
pagi sudah datang dan pergi
datang lagi, kemudian pergi lagi
dan datang lagi
tapi kamu tak sama dengan pagi, atau pula musim semi

kamu cuma bisa datang kemudian pergi
dan tak lagi datang

Orang-orang berkata
supaya aku belajar untuk melupakan kamu
melupakan cerita kita, tentang masa depan
melupakan tentang pernikahan, kehamilan, dan anak
melupakan tentang musim gugur di Westminter
melupakan tentang musim dingin di St. Petersburg
melupakan masa tua di depan tungku penghangat
melupakan tentang kedatangan cucu-cucu yang lucu

Aku selalu belajar untuk itu
tapi semakin aku melakukannya, godam semakin keras
ia memukul pedih, menyayat perih, menyobek luka
semakin aku belajar untuk melupakan kamu
semakin itu pula aku tahu kalau aku kehilangan kamu

Kamu bukanlah pagi, musim semi, atau angin lalu
kamu datang meninggalkan manis
dan pergi meninggalkan pahit dan getir

Dan ini musim semi keempat yang datang untuk pergi
tapi kamu tak pula datang lagi



Jakarta, 12 Mei 2011 | 07.34
A.A. - dalam sebuah inisial

The Journeys

Rating:★★★
Category:Books
Genre: Travel
Author:Adhitya Mulya, dll
A good traveler has no fixed plans and is not intent on arriving. - Lao Zi

"Petualang, apa yang kamu cari?" tanya seorang teman saya ketika mengetahui saya sedang berada di Yogyakarta. Itu seminggu setelah ia tahu kalau saya sedang berada di Bandung dan tiga hari sesudah berada di Semarang. Saya sendiri tak tahu sebenarnya apa yang saya cari. Saya pun tak tahu apa sebenarnya yang saya temukan di dalam perjalanan saya. Kalau bertemu dengan teman baru, itu sudah biasa. Saya sering mendapat teman baru kalau pulang dengan TransJakarta. Kalau pengalaman, itu lebih biasa lagi.

Bukankah setiap hari adalah pengalaman? Menemukan bahagia? Bahagia diciptakan, bukan dicari. Menemukan cerita? Bukankah setiap hari adalah cerita? Bahkan gugur daun musim semi bisa menjadi cerita asal kita mau menceritakannya?

Demikianlah alasan saya mengapa saya kurang setuju dengan kata pembuka yang ditulis oleh Windy Ariestanty: "Hal paling menarik dari melakukan perjalanan adalah menemukan."

Menurut saya, perjalanan adalah sebuah proses menghargai di antara kesulitan, keterbatasan, dan kebahagiaan. Sila percaya atau tidak, tapi setiap kali saya melakukan perjalanan, saya selalu mensyukuri hidup. Perjalanan mengajarkan kepada saya kalau masih banyak orang yang kurang dan lebih dari pada kita yang tak pernah kita temukan di dalam kehidupan kita. Untuk itulah, perjalanan adalah sebuah proses yang sakral. Proses yang sulit digantikan untuk belajar banyak hal tentang hidup.

Perjalanan bermula dari petualangan Gama Harjono dari Roma menuju Andalusia. Perjalanan yang terbatas karena uang tersebut tetap bisa membuat Gama melakukan perjalanan dari Italia menuju ke Spanyol untuk bertemu dengan Alberto, seorang karib lamanya. Saya suka cara penceritaan Gama yang berbeda dari dua bukunya yang sudah terbit dahulu, Ciao, Italia dan Lupakan Palermo. Gama terlihat lebih santai dan bebas bercerita tentang keindahan kota Andalusia, keunikan aksen masyarakat, santapan pagi, kunjungan ke Benteng Alhambra, sampai ke Mezguita di mana Gama merasa dirinya adalah orang yang beruntung karena pernah melihat orang-orang membuka pintu Katedral. Gama menceritakannya secara detail dan pas.

Perjalanan dilanjutkan oleh Winna Effendi yang berkirim e-mail kepada 'you'. Cara bercerita Winna yang beda sendiri dari yang lain. Shuili menjadi tempat Winna bertualang dan memulai ceritanya. Awalnya Winna membawa pembaca dengan renyah dalam bercerita tentang kedatangannya ke Taiwan, menuju ke Shuili, dan saat menuju ke Sitou. Tapi semakin membalik halaman demi halaman dari Winna, saya semakin bosan. Winna seperti hanya bercerita pada dirinya sendiri. Tulisan yang awalnya renyah menjadi tak lagi menarik. Winna hanya terkesan seperti reporter yang memberikan laporan keadaan yang di mana pembaca pun bisa mencarinya lewat Google. Sebenarnya banyak harapan yang saya dambakan dari tulisan Winna karena ia pun bercerita dari sebuah desa yang jarang didengar yang mungkin bisa menjadi tujuan yang menarik untuk dikunjungi.

Windy Ariestanty yang sedang sibuk mencari WiFi di kedai kopi dekat hotel di Lucerne malah mendapatkan morning kiss bye dari seseorang yang puas berdugem di pagi itu. Dari sanalah, cerita petualangan Windy di Lucerne dimulai. Dari ceita-cerita Windy, kita dapat mengenal lebih jauh kota kecil yang berada di Swiss. Windy bercerita tentang kehidupan Lucerne yang begitu sederhana, disiplin, dan benar-benar tertata rapi. Ya, Windy bercerita, bukan memberikan laporan perjalanan. Dia membuka cerita dengan manis. Dan dia pun menutup cerita dengan manis. Ciri khas tulisan seorang Windy Ariestanty: tepat sasaran.

Ini dia, Farida Susanty. Dia bercerita sisi lain dari Singapura. Singapura memang tidak jauh dari Indonesia, bila dilihat di peta. Namun, setelah membaca cerita Farida, kita benar-benar merasakan kalau Singapura dan Indonesia seperti langit dan bumi. Tugas Farida di Singapura adalah berkunjung ke rumah sakit jiwa. Pikir saya, ini akan menjadi cerita horor di dalam The Journeys. Nyatanya tidak. Malah Farida bercerita rumah sakit jiwa di Singapura bukanlah rumah sakit yang menyeramkan seperti di Indonesia yang pasiennya dipasung dan kadang dibiarkan bebas. Di Singapura, berdasarkan cerita Farida yang saya tangkap, rumah sakit jiwa adalah rumah sakit yang terbuka, yang benar-benar bisa memperbaiki mental seseorang yang terganggu. Tak ada salahnya kalau bertandang ke Singapura, kunjungilah rumah sakit jiwa, jangan hanya Orchard Road.

Setelah dari Asia Tenggara, penerbangan dilanjutkan ke Timut Tengah. Tepatnya Saudi Arabia. Ciri khas seorang Valiant adalah pandai bermajas. Sejak awal pun, ia sudah menarik saya untuk membacanya. Meski cerita yang ditulisnya sudah tidak begitu asing, tetapi membacanya bukanlah sebuah kesalahan. Valiant memang mengajak pembacanya untuk ikut 'menderita' di Saudi Arabia yang harus diam-diam untuk mengambil foto gedung, ditawari parfum yang digunakan oleh Tom Cruise, sampai dengan pertemuannya dengan Bapak Berjenggot Lebat. Valiant mengajak kita tertawa sekaligus berbagi 'derita' pelarangan di Saudi Arabia.

Kembali lagi ke Asia Tenggara. Di Timor Timur sudah menunggu Okke 'sepatumerah' yang akan memulai perjalanannya. Seperti biasa, Okke memang asyik dalam bercerita tentang keberadaannya di Timor Timur. Kenikmatan di Pantai Kolbano menjadi nilai tersendiri meski harus dag-dig-dug setelah mitos yang sering terjadi. Tulisannya yang 'cablak' dan masih terkesan 'judes' membuat sebuah perjalanan yang berbeda dari yang lain.

Setelah itu, kembalilah ke Indonesia. Di Karimun Jawa, sudah ada Alexander Thian, seorang penulis skenario yang suntuk dikejar deadline yang akhirnya bisa berjalan-jalan. Sebenarnya, Alex lebih ingin bercerita tentang Jepara atau Karimun Jawa? Itu pertanyaan saya setelah ia bercerita cukup panjang tentang Jepara di pagi-pagi buta. Terlepas dari semua itu, setidaknya Alex memberikan gambaran yang pas tentang Karimun Jawa seperti yang sering saya dengar dari teman-teman yang pernah hinggap ke sana. Alex membuat kita berujar, "kalau lo gak mampu keluar negeri seperti 11 penulis lain, Karimun Jawa bisa dong jadi cerita?!"

Lepas dari kampung halaman, mari berangkat ke Amerika untuk menemui seorang dokter mata yang bersama sang mertua sedang bersiap menghadiri konferensi dokter mata sedunia di Boston. Bersama Ferdiriva Hamzah, kita diajak tertawa dan menikmati perjalanan yang 'tidak menyenangkan' bersama sang mertua. Setelah konferensi di Boston selesai, mereka menuju New York untuk menunaikan cerita ini. Menonton The Lion King yang membuat sang mertua tertidur sampai dengan mengusir perampok dengan hentakan yang membuat Riva tidak enak hati dengan sang mertua. Riva mengajarkan satu hal: 'travelling yang asyik itu bukan masalah siapa teman seperjalanan kita, tapi bagaimana cara kita memandang travelling itu sendiri.' (hlm. 157)

Dan perjalanan dihentikan oleh Trinity. Ia ta bercerita tentang kota apa pun dari mana pun. Bukan berarti ia hanya menyajikan halaman kosong di dalam The Journeys. Tetap ada cerita yang ia sajikan. Kali ini tentang profesinya yang seorang tukang jalan-jalan sembari menulis. Saya menjadi paham dengan 'penderitaan' travel writer yang dialami oleh Trinity. Seperti yang ia kisahkan di dalam buku pertamanya, perjalanan tak harus selamanya menyenangkan.

Ve Handojo yang lebih dikenal sebagai penulis skenario akhirnya bisa ke Israel setelah dibiayai oleh 'kuntilanak'. Bukan soal ziarah yang ia inginkan selama di Israel, tetapi bebas berjalan-jalan di Tel Aviv. Lucunya, banyak ciri yang asing ia dapatkan selama di Israel seperti soal ketepatan waktu untuk tiba di suatu lokasi. Tulisannya bebas, membiarkan kita berkelana sendiri dengan keberadaannya di Tel Aviv.

Berkelanalah kita ke tempat Adhitya Mulya: Afrika. Di sini, seperti biasa, liarnya tulisan Adhit dalam menceritakan sesuatu seperti juga di dalam novel-novelnya masih tersisip dan menjadi karakter yang tak dapat lepas. Nilai plus yang diberikan untuk Adhit adalah dia menyisipkan lampiran tips perjalanan bila ke Afrika dan negara-negara yang bisa dikunjungi atau tidak. Tapi, mengapa peta Afrika diletakkan di belakang setelah tips?

Dan, kita pun diakhiri ke bangsa penjajah Indonesia bersama Raditya Dika. Di Belanda, Radith yang berkesempatan mendapat beasiswa untuk belajar selama dua minggu. Mamanya yang sering bersikap berlebihan membuatnya merasa tidak berada pada zona nyaman. Tapi di dalam perjalanannya tersebutlah, ia paham arti keberadaan seseorang meski dalam taraf penilaiannya selalu bersikap berlebihan. Ya, tulisan Radith memang sudah berubah banyak sejak Marmut Merah Jambu terbit. Taste-nya dalam bercerita juga lebih tepat sasaran di awal dan di akhir. Perubahan tulisan Radith memang menjadi warna tersendiri meski leluconnya masih bernilai sarkas.

Ya, seperti itulah petualangan bersama The Journeys. Mungkin Windy boleh berkata, "perjalanan mempertemukan dua belas orang penulis yang berasal dari latar belakang yang berbeda dan pada akhirnya menemukan sesuatu yang baru: sebuah cerita." Kita boleh memiliki persepsi sendiri tentang sebuah perjalanan; tetapi perjalanan adalah perjalanan, tempat di mana kita akan menghargai hidup agar lebih bermakna di setiap langkahnya.



Jakarta, 12 Mei 2011 | 6.15
A.A. - dalam sebuah inisial

Balada Restoran

di meja nomor sebelas
tersaji nasi yang mengepul-ngepul
ikan gurame bakar lengkap dengan sambal kecap
tahu goreng yang baru matang
petai yang berlumur cabai
segelas es kelapa
dan rasa lapar yang menggebu-gebu

pelayan mondar-mandir
membawa nampan
membawa menu
membawa piring dan gelas kotor

jari kasir yang manis itu
menari di atas angka-angka

haduh...
wangi ayam bakar
wangi ikan bakar

di luar sana
seorang anak kecil di dalam gerobak
menghirup wangi tersebut

'pak, lapar'
'sebentar ya, nak. kalau botol kecap ini laku, kita makan bubur'




Jakarta, 11 Mei 2011 | 19.57
A.A. - dalam sebuah inisial

Selasa, 10 Mei 2011

Tuesday with Morrie

Rating:★★★
Category:Books
Genre: Nonfiction
Author:Mitch Albom
Perihal: Memento Mori

Seorang kerabat pernah menyuruh saya membuka telapak tangan kiri dan kanan. Kemudian katanya,"lihat garis tangan kiri dan kananmu, keduanya melambangkan huruf M. Tahu artinya?" Saya menggeleng. "Memento mori. Ingatlah kau akan kematian," jawabnya.

Demikianlah yang diajarkan oleh Prof. Morrie Schwartz dalam 14 minggu kepada seorang mahasiswanya, Mitch Albom. Di dalam kuliah 14 minggu, tanpa buku, dengan ujian setiap Selasa, dan tak perlu mempelajari apa pun untuk menyelesaikan mata kuliah ini. Kata Mitch, ini adalah mata kuliah yang paling praktis sekaligus paling sulit. Materinya adalah tentang kehidupan sehari-hari. Selama empat-belas minggu, bersama Morrie, Mitch merawi skripsinya. Skripsi yang tak akan mengenal ujung.

Berawal dari seorang Morrie yang adalah mantan dosen Mitch yang menderita ALS. Penyakit saraf yang perlahan membuat penderitanya kehilangan kemampuan untuk melakukan sesuatu karena melemahnya sel-sel motorik. Morrie yang semakin terpuruk hari demi hari semakin menyadari kalau kematian akan mengancam hidupnya kapan pun. Ketika bangun kembali, itu seperti bonus hidup dari Tuhan. Di saat itu, Morrie mengenal hidupnya. Menghargai lebih di ujung hidupnya.

Dalam kuliahnya di setiap hari Selasa bersama Mitch, Morrie selalu mengajarkan banyak makna tentang hidup, cinta, keluarga, budaya, dan kematian.

Saya mencatat beberapa kata dari Morrie yang benar-benar bisa menginspirasi kehidupan:

1. "Yang paling penting dalam hidup adalah belajar cara memberikan cinta kita, dan membiarkan cinta itu datang." - hlm. 55
2. "Begitu kita ingin tahu bagaimana kita akan mati, berarti kita belajar tentang bagaimana kita harus hidup." - hlm. 87
3. "Kita semua mempunyai awal yang sama-kelahiran- dan kita semua mempunyai akhir yang sama-kematian. Jadi, apanya yang berbeda?" - hlm. 166

Dalam skripsi ini, Mitch mencatat banyak hal yang akan membuat kita bukan bersimpati-empati kepada Morrie, tetapi sebaliknya, Morrie mengajarkan kepada kita bagaimana menikmati hidup dengan berbagai persoalannya. Ini bukan menjadi hal yang sulit sebenarnya bila kita mau dan menyadarinya. Demikianlah Morrie memberikan kuliahnya selama empat-belas minggu bersama Mitch. Meski menangis, Morrie tidak butuh belas kasihan. Itu yang selalu ia tanamkan.

Morrie yang sudah berduka sejak kecil karena ditinggal mati oleh ibunya, kemudian mengalami hal yang menyedihkan bersama ayahnya. Morrie kecil menceritakan kepada Mitch tentang hal tersebut sebagai sebuah pelajaran bila ia sudah siap menghadapi kematian apa pun bentuknya. Ia tak lagi bisa berdansa, mengajar, bahkan kemampuannya untuk cebok setelah buang air pun sudah tidak ada. Ia kembali seperti anak kecil yang butuh bantuan. Penderitaannya amatlah menyakitkan. Dari sana, Mitch yang setiap Selasa datang ke rumah Morrie untuk mendapatkan kuliah sosiolosi yang bermakna. Yang tidak pernah Morrie ajarkan di dalam kelas selama di universitas.

Saya mengaminkan bahwa ini bukanlah skripsi yang membosankan untuk dibaca. Saya menyukainya dan lebih dari itu, skripsi ini adalah skripsi yang memacu emosional, haru, dan sebagai alarm bagi kita kalau hidup bisa saja berhenti kapan pun. Kematian bisa datang, tapi tidak bisa ditolak. Sebagai manusia, kita pun bagian dari alam yang tidak dapat melawan kematian meski kita merasa diri kita lebih dahsyat dari alam.

Dan percayalah, meski tak ditulis secara puitis dan menggunakan majas yang beraneka ragam itu, Mitch sudah mendapatkan summa cum laude dari sang profesor. Andai kalau Morrie masih hidup. Namun, kalau Morrie tidak di ujung kematiannya, apakah akan ada skripsi ini?

Malam ini, mendadak saya terngiang dua kata: memento mori.




Jakarta, 10 Mei 2011 | 23.21
A.A. - dalam sebuah inisial

Anak Ruhani




Kamis, 05 Mei 2011

Rumah










Adakah dari mereka yang tak pernah rindu pulang? Adakah mereka yang tak rindu untuk kembali merebahkan kepala di atas kasur di rumah? Bukankah rumah menjadi tempat untuk menaruh hatimu yang paling hakiki? Tempat untuk kau berdiam di dalamnya? Tempat menyimpan segala kenangan masa kecil dengan teman sepermainanmu?

Saat ini, aku rindu pulang. Pulang ke rumah. Meski aku sedang berada di dalamnya.

Rumah yang kukenal kini sudah berbeda. Ah, mungkin pula aku yang berubah. Tapi entahlah. Kini semua sudah tak sama. Rasaku, ini adalah efek aku meninggalkan rumah begitu lama. Berkelana sesuka hatiku saja. Baru pulang ke rumah, sekadar bersapa, kemudian pergi lagi. Seperti itu hampir keseharianku.

Tapi, rumah tak pernah membiarkanku kesepian meski aku pergi meninggalkannya sendiri. Ia bukan hanya tempat yang kokoh untuk kudiami, tapi juga tempat untuk kuberkeluh kesah. Rumah bagiku bagai rahim ibu yang mencukupi segala nutrisi, membiarkan aku bermanja di dalam tubuhnya. Rumah selalu menyimpan rapi cerita yang kubagikan kepadanya setelah pulang; seperti ibuku yang tahu masa kecilku yang seperti apa.

Sungguh, aku rindu rumah. Rumah yang paling sejati.

Seperti janjiku, biarkan aku berkelana dahulu, sebebas-bebas yang kukehendaki. Karena aku selalu percaya bahwa rumah akan selalu merindukanku untuk pulang sebagaimana aku rindu terhadapnya.

Aku rindu akan harum masakan yang berkeliling di dalam rumah, menerobos celah-celah kecil di sudut-sudut pintu dan jendela, dan membuatku lapar serta bergegas untuk menyerbunya. Aku rindu akan acara televisi yang selalu dikritik oleh ayahku karena tak pernah mendidik kami, kemudian ia menggantinya dengan berita yang langsung menuai protes dari kami. Aku rindu akan buku-buku yang kutinggalkan sampai berdebu, menguning, dan seperti tak punya harapan. Aku rindu meja kerjaku yang senantiasa menemaniku menganyam ribuan cerita yang ada, menjadi kasur kala aku tertidur, dan tak pernah marah bila kutumpuk beban yang berat di atas bahunya.

Kini, sesungguhnya aku benar-benar merasa kesepian. Ingin rasanya aku menetap di rumah berhari-hari hanya untuk memanjakan diriku kepadanya. Ingin masuk kembali ke dalam rahimnya dan bermain di dalamnya. Melupakan semua hal yang harus kukerjakan lekas-lekas. Aku ingin pulang.

Aku selalu percaya, rumah tak pernah menolakku.
Karena rumah selalu memberikan tempat untuk hatimu berpulang, kembali berada.




Jakarta, 5 Mei 2011 | 19.44
A.A. - dalam sebuah inisial

Rabu, 04 Mei 2011

Hidupmu Singkat Kalau...

Hidup terlalu singkat
kalau hanya bisa dilewatkan di kursi
duduk menunggu hari berganti

Hidup terlalu singkat
kalau cuma bisa menunggu mati


Jakarta, 5 Mei 2011 | 13.49
A.A. - dalam sebuah inisial

Selasa, 03 Mei 2011

Untukmu, Pena Inspirasi

Category:   Books
Price:   Rp.40.000,-

Untukmu Pena Inspirasi adalah kumpulan puisi dari para sahabat pena inspirasi yang mendedikasikan puisinya kepada orang yang selalu memberi inspirasi dalam hidup sang penulis. Dalam setiap bait puisi yang tersaji dalam buku ini, memberi gambaran kepada pembaca betapa tokoh inspiratif itu menggugah semangat penulis untuk berbuat hal positif seperti para tokoh inspiratifnya. Tak hanya itu, puisi-puisi ini juga berisi ungkapan terima kasih atas inspirasi yang selalu mengalir.

Di setiap akhir puisi juga dilengkapi dengan keterangan tentang tokoh yang diceritakan dalam puisi yang mampu memberi gambaran tentang apa dan siapa tokoh inspiratif tersebut. Sehingga kami yakin, buku ini juga bisa memberi inspirasi bagi anda, para pembaca.


Puisi saya (yang nyasar): Menulislah di Semeru


Cara Pemesanan:


1. Kirim email ke untukmupenainspirasi@gmail.com Sertakan informasi nama, alamat lengkap, nomor hp/tlp, judul buku (#part1 atau #part2) dan jumlah buku yang ingin dipesan.

2. Nulisbuku akan mengirim email konfirmasi yang berisi data pemesanan, harga & ongkos kirim, serta langkah yang harus dilakukan.

3. Setelah melakukan transfer untuk pelunasan pemesanan buku, emailkan kepada Nulisbuku bukti transfer disertai info tanggal transfer, jumlah transfer, dan nama pemilik rekening (atas nama sendiri atau orang lain)

4. Tim Nulisbuku akan melakukan pengiriman buku dan kami akan mengirim email konfirmasi bahwa buku telah dikirimkan ke alamat pemesan.

5. Kalau ada pertanyaan, bisa hubungi Ndy (0813 5554 0353) atau via twitter: @ndygirly @rezanufa @nulisbuku



*) Harga belum termasuk ongkos kirim.


Minggu, 01 Mei 2011

Perihal: Pulang



mungkin kau lelah berkelana,
maka pulanglah
di mana rumah masih menyediakan bagimu
rasa hangat yang tak lekas putus

mungkin kau mencari pendengar ceritamu,
maka pulanglah
di mana rumah ada orang-orang yang kau kasihi
untuk mendengar jejak kakimu

ini adalah soal pulang: menunggumu di muka rumah

mungkin kau mencari yang kau butuhkan,
maka pulanglah
di mana segala kecukupan itu ada di rumah
dan terletak rapi dalam kamarmu

mungkin kau ingin beristirah,
maka pulanglah
di mana rumah menyediakan ranjang murah hati
yang boleh kau letakkan lelahmu di sana

ini adalah soal pulang: untuk apa kau terlalu lama berkelana?

hai petualang,
sesungguhnya, apa yang kamu cari?
bukankah ia ada di rumahmu?
di hatimu yang selalu manis itu?



Jakarta, 1 Mei 2011 | 17.56
A.A. - dalam sebuah inisial