Minggu, 31 Oktober 2010

Ada Luka dari Barat ke Timur



: kepada kamu

tak ada yang abadi daripada ketidakabadian itu
kamu pun juga tahu tentang semua itu
tak seorang pun ingin dileraikan dengan air mata
kamu pun juga tahu tentang semua itu

handuk yang basah, memerah tertumpah darahmu
aku pun juga tahu tentang kepala yang berdarah
tertunduk perih, pedih, meski tak tahu bagaimana harus mengerang
aku tak dapat menjamah hati yang terkoyak darimu

apa kamu tahu, kamu tak pernah merasa sendiri
bukankah dunia memang selalu berputar tanpa kita sadari
ketika itu juga nasib kita ikut berputar juga tanpa kita sadari
atau ini hanya sebuah pertanda hari prakiamat

aku tak tahu, mungkin juga Tuhan meragukan

ayam yang mengerami telurnya berlari cepat
telur itu tak menetas, ia terhanyutkan air bah
ayam itu pun juga tak tahu kabarnya kini seperti apa
apakah ia memperoleh keberuntungannya

ibu yang lalai meninggalkan anaknya begitu saja
rumah sudah terendam, bayi masih di dalam rumah
terlalu kecil untuk tahu bagaimana melompati tempat tidur
tak ada asa untuk kehidupan kedua, semua tahu itu

erupsi yang semakin membahana
abu berkeliaran sebebas-bebasnya
merapi bergetar, tak seorang pendaki berani berdiam di puncaknya
meski kamu berani membayarnya bergalon-galon emas

mungkin kamu
cuma kamu yang berani untuk tetap pergi
menarik ia yang bersujud terakhir kali
membawanya lekas turun untuk ke mana yang lain

mungkin kamu
cuma kamu yang berani untuk tetap bergerak sebagai pejuang
yang memiliki nurani dan cinta
untuk menyelamatkan, memberikan rasa aman

mungkin kamu
cuma kamu yang berani untuk tetap membayar murahnya nyawamu
untuk mereka, ia bukan saudaramu atau temanmu
ia bukan siapa-siapamu

pejuang, selamat jalan...
meski kamu telah pergi
kamu tetap sebagai kenangan banyak orang
pahlawan memang selalu kesiangan
jika ia tak terlambat, ia tak bisa menjadi pahlawan


selamat bertemu di dunia baru kelak!



Teruntuk seorang wartawan dan seorang relawan yang pergi, dan untuk seorang yang setia akan tugas sampai akhir hayat.


Jakarta, 31 Oktober 2010 | 20.18
A.A. - dalam sebuah eulogi

Selasa, 26 Oktober 2010

Everybody Hurts

When your day is long
And the night
The night is yours alone
When you're sure you've had enough of this life
Well hang on

Don't let yourself go
Cause everybody cries
And everybody hurts
Sometimes

Sometimes everything is wrong
Now it's time to sing along
(When your day is night alone)
Hold on, hold on
(If you feel like letting go)
Hold on
If you think you've had too much of this life
Well hang on

Cause everybody hurts
Take comfort in your friends
Everybody hurts

Don't throw your hand
Oh, no
Don't throw your hand
When you feel like you're alone
No, no, no, you're not alone

If you're on your own
In this life
The days and nights are long
When you think you've had too much
Of this life
To hang on

Well, everybody hurts
Sometimes, everybody cries
And everybody hurts
Sometimes

And everybody hurts
Sometimes

So, hold on, hold on
Hold on, hold on
Hold on, hold on
Hold on, hold on
(Everybody hurts
You are not alone)





Everybody Hurts - The Corrs

Di Kotamu, Aku Singgah Entah Ke Mana Hendak Pergi




cuma seperti itu, aku datang ke kotamu
sekadar ucapan salam
dan selamat tinggal
karena aku hendak pergi berkelana
dalam pedih dan luka yang menyayat.


Untuk Mentawai, Jakarta, Jogjakarta.... Masih ada air mata di sana?


Jakarta, 26 Oktober 2010 | 21.00
A.A. - dalam sebuah inisial

Minggu, 24 Oktober 2010

Yang Memang Tak Pernah Tertambatkan

sepi berlari
berputar di bawah kenangan yang suram
tak pernah ada lagi diorama yang bisa dikenang
meski hari telah berganti ribuan kali
harapan yang tumpah dalam kanvas terlihat pedih
walau memang sejarah tidak bisa mengungkap
bagaimana lara berbagi di dalam cerita indahnya

topan di kepalamu

katamu kepadaku sebelum kita bercerai
memecahkan ceria di antara kita
ah, betapa hipokritnya diriku ini
tak jua kusadari waktu mendiktekan banyaknya ia dibuang
hanya untuk mengharapkan sesuatu yang tak akan kembali
tak akan

meski caramu yang sadis itu mendentumkan aku

aku tetap berdiri
tapi aku goyah
tak lagi kau melihatku berjingkat-jingkat
yang ada lagu yang menggambarkan betapa sampah itu semua

kutulis apologi, apologi kepada diriku

dan pahitnya itu kupendam semu



Jakarta, 24 Oktober 2010 | 9.20
A.A.- dalam sebuah inisial

Minggu, 17 Oktober 2010

Kau, Aku

Kau
Kau
Kau
Kau
Ka
Kaa
Kaaau
Kaaaau
Kaaaaaau
Akkkkkku
Akkkku
Akkku
Akk
Ak
Aku
Aku
Aku
Aku

Aku?

Jakarta, 17 Oktober 2010 | 18.02
A.A. - dalam sebuah inisial

Sabtu, 16 Oktober 2010

Riwayat Blog

Dalam sebuah obrolan panjang, saya berdiskusi dengan karib saya di mana kami berdua memang akrab di dunia maya dan dunia nyata. Sebenarnya hanya sekadar senda gurau saja tentang profesi kita masing-masing. Saya yang menangani blog pribadi dan salah sebuah blog lain yang kini saya pun menganggapnya rumah saya sendiri dan dia menangani banyak sekali website. Kami bekerja pada ranah yang sama: status online.

Cukup lama sudah saya mulai menulis catatan di blog. Untuk yang sudah dekat dengan saya, tentu tahu berapa lama dan berapa banyak blog saya di jagat maya ini. Tahu berapa banyak tulisan yang sudah saya tuliskan dan pikiran saya sudah tertumpah di dalamnya. Suatu jagat maya memberikan fasilitas menampung memori otak yang kadang kita sendiri tak sanggup lagi menampungnya.

Blog menjadi sebuah ranah yang membuat kita bisa mengenang masa lalu, siapa diri kita, dan kelak kita akan menjadi apa. Dia menjadi sebuah catatan pribadi di mana semua orang bisa membuka dan membacanya. Catatan pribadi tak selamanya harus bersifat privasi. Kita juga bisa belajar dari pengalaman seseorang berdasarkan catatan yang ada di dalam teknologi digital kini.

Saya memulai blog dengan iseng-iseng. Hanya dengan tujuan awal: ingin bercanda saja dengan diri sendiri. Menertawakan hidup. Saya menganggap bahwa hidup adalah sebuah film yang hanya patut ditertawakan karena kita tidak berperan sebagai figuran, tetapi pemain utama. Kita yang disorot langsung dalam kamera kehidupan. Untuk itu, saya hanya ingin selalu mengenang dan dikenang sebagai seorang pemain yang suka tertawa dalam sebuah film, di mana saya sedang menertawakan diri saya sendiri.

Lama-lama blog menjadi sebuah rutinitas bagi kehidupan saya. Saya menulis di sini. Saya berbagi di sini. Saya pula mendokumentasikan tulisan saya di sini. Dalam waktu sekejap, saya sudah mengarsip tulisan saya dengan rapi. Nilai tambahnya adalah saya bisa dikritik dan mendapatkan asupan saran yang semakin baik untuk diri saya.

“Saya berhenti nge-blog.”

Kata karib saya sambil berhenti mengetik di depan notebook-nya. Saya terdiam dan tersenyum saja. Saya berpikir bahwa dia hanya bercanda. “Blog saya sudah mati. Saya berhenti.”

Saya memandangnya serius kali ini. Mungkin dia adalah salah seorang yang membuat saya tertarik membangun rumah di dunia maya. Sekalipun rumah itu hanyalah rumah sederhana. Rumah yang saya bangun kini tidaklah mewah. Terdiri dari ruang arsip tulisan, koleksi-koleksi pribadi saya, lagu-lagu kegemaran saya, dan kala saya berkesempatan untuk pergi sambil mengambil gambar dan menyimpannya di sini.

Saya pernah berpikiran bahwa suatu hari nanti pasti saya akan meninggalkan dunia maya selamanya. Teman saya tetap tidak dapat jauh dari dunia maya sekalipun ia berhenti menulis blog. Mungkin saya tak akan seperti teman saya itu.

Riwayat blog ini kelak ketika saya memutuskan untuk berhenti nge-blog. Saya sudah memiliki keputusan bahwa blog ini masih akan terus berjalan sampai saya memang tidak bisa lagi menulis blog. Entah mau berapa lama blog ini mengendap, sampai benar-benar tak ada lagi yang dapat saya bagikan dalam dunia maya ini, sampai rumah saya ini tak memberikan dokumentasi cerita lagi.

Saya tidak tahu jelas kapan saya akan berhenti nge-blog. Cepat atau lambat. Jauh atau dekat. Blog ini akan tetap saya wariskan kepada seseorang yang saya percaya untuk memegang dan menggantikan saya bercerita di sini. Entah apapun kelak ceritanya, ini tetap rumah saya, rumah yang saya bangun dengan penuh cinta. Saya pernah tinggal dan berdiam di dalamnya dalam waktu yang lama.

Meski kelak bukan lagi saya yang bercerita di blog ini, saya tetap tidak menginginkan blog ini sebagai “rumah berhantu”. Saya ingin blog ini tetap menjadi blog yang berisi. Blog yang terbuka bagi semua orang, rumah yang selalu terbuka bagi siapa saja. Dokumentasi tulisan saya tak melulu harus dibuka dengan masuk ke dalamnya. Cukup Anda menuliskan alamat blog saya, maka masuklah Anda di rumah saya.

Rumah sederhana ini masih menjadi milik saya. Walaupun kepada siapa blog ini akan terwariskan, dokumentasinya tak akan berubah. Blog menjadi rumah bagi saya. Sebagaimana fungsi rumah adalah memberikan rasa nyaman dan kebebasan, blog ini seharusnya juga demikian bagi saya.

Mungkin suatu hari nanti saya memutuskan kepada siapa blog ini akan terwariskan dan pada akhirnya saya akan rindu, saya akan masuk ke dalam rumah saya di mana nanti bukan lagi rumah saya. Tapi saya pernah berdiam di dalamnya.

Saya tak akan pernah mematikan blog ini, entah riwayat blog ini akan seperti apa kelak.

 

 

Jakarta, 10 Oktober 2010 | 02.51
A.A. – dalam sebuah inisial

Rabu, 13 Oktober 2010

Taufik Ismail - Kerendahan Hati

Kalau engkau tak mampu menjadi beringin
yang tegak di puncak bukit
Jadilah belukar, tetapi belukar yang baik,
yang tumbuh di tepi danau

Kalau kamu tak sanggup menjadi belukar,
Jadilah saja rumput, tetapi rumput yang
memperkuat tanggul pinggiran jalan

Kalau engkau tak mampu menjadi jalan raya
Jadilah saja jalan kecil,
Tetapi jalan setapak yang
Membawa orang ke mata air

Tidaklah semua menjadi kapten
tentu harus ada awak kapalnya….
Bukan besar kecilnya tugas yang menjadikan tinggi
rendahnya nilai dirimu
Jadilah saja dirimu….
Sebaik-baiknya dari dirimu sendiri..




Taufik Ismail

Sabtu, 09 Oktober 2010

Bukit Hatimu

kukecup sahaja panorama di bukit hatimu
riuh orang mencoba keberuntungan merengutmu
seperti Senayan dikerubuti mamon
hanya saja aku terlalu beruntung, dapat kudaki bukitmu

muram wajah mereka yang kalah
mengutukiku agar menjadi abu yang angin membelah
tak lagi ada segelas susu di meja kerjamu
atau untaian mesra dari mereka-mereka
desirmu, cuma aku yang boleh memberimu segelas susu

izinkan aku mendata apa yang kubutuhkan
sebelum aku menambatkan jiwa insani di puncakmu
lembayung hati yang tak padam dilekang gulana

kulilitkan tambang agar aku tak jatuh
aku tak rapuh dalam setengah perjalanan
bukit hatimu yang terjal dapat kupijaki
meski derai hujan membuatku harus tergusar dari tanah
aku tak goyah, aku tetap berteguh

geriap tanpa gempita aku menuju bukitmu
aku bukan seorang yang manis
aku tak semesra mereka yang dapat membuatkanmu segelas susu
aku juga tak pandai berpuisi meski aku selalu menulis
tapi aku bisa memberikanmu kecukupan
sebagaimana hakiki cinta: memberilah dengan totalitas

aku, pendaki yang menuju bukit
bukit hatimu di mana aku akan berdiam
dan biar kiamat membunuhku di atasnya

layang-layang melayang di bukit itu, bukit hatimu
entah ke barat mana ia bergegas menemui tumpuan hati


Jakarta, 9 Oktober 2010 | 23.15
A.A. - dalam sebuah inisial

Imagine - Jhon Lennon




Imagine there's no Heaven
It's easy if you try
No hell below us
Above us only sky
Imagine all the people
Living for today

Imagine there's no countries
It isn't hard to do
Nothing to kill or die for
And no religion too
Imagine all the people
Living life in peace

You may say that I'm a dreamer
But I'm not the only one
I hope someday you'll join us
And the world will be as one

Imagine no possessions
I wonder if you can
No need for greed or hunger
A brotherhood of man
Imagine all the people
Sharing all the world

You may say that I'm a dreamer
But I'm not the only one
I hope someday you'll join us
And the world will live as one

Sabtu, 02 Oktober 2010

Membahagiakan dari Eulogi

Kemarin lusa, saya mendapatkan kabar bahwa ayah teman kecil saya sudah pergi. Saya cukup dekat dengan anak-anaknya. Tiap kali bermain dengan anaknya ketika kecil, saya sering menyapa beliau. Ada saja hal-hal kecil yang kami obrolkan secara singkat. Tentang diri saya dan tentang anak-anaknya.

Ketika saya berpindah rumah, frekuensi saya bermain dengan anak-anaknya juga berkurang. Saya yang dalam proses bertumbuh dewasa lebih banyak menghabiskan waktu di lingkungan saya yang baru, beradaptasi dengan keadaan sekitar. Tetapi saya tidak langsung meninggalkan teman-teman kecil saya. Saya masih sering mampir ke rumahnya.

Ibu teman sepermainan saya itu seorang penjual makanan. Saya sering membelinya. Kadang saya memesan nasi kuning buatannya. Sejak kanak-kanak saya sering menikmati nasi kuningnya pada saat istirahat di jam sekolah. Ya, saya membawanya pergi ke sekolah. Saya memang sering membuat iri teman-teman saya. Mereka yang sering membeli makanan di sekolah yang itu-itu saja, saya bisa membawa makanan yang saya suka. Pernah suatu ketika, saya memesan nasi goreng buatannya, habis diminta teman-teman saya.

Saya yang bertumbuh dewasa menemukan tubuh yang semakin menua itu beranjak sakit. Saya tahu paman itu sudah sakit sejak lama. Saya berdiri di muka halamannya untuk membayar pesanan makanan yang saya makan siang tadi.

"Om..." sapa saya.
"Eh, kamu! Masuk!" balasnya.

Saya masuk ke dalam rumahnya. Tersenyum kecil. Beliau membalasnya juga dengan senyum kecil. Saya tahu perjuangannya melawan rasa sakitnya itu. Tetapi saya tak pernah ingin mengatakan kabarnya, saya tak mau beliau merasakan sesuatu dari pertanyaan saya.

Lagi dan lagi, saya terlibat diskusi kecil dengannya. Seperti pada masa sebelum saya berpindah. Yang membuat saya tersenyuh adalah: "om cuma ingin melihat anak-anak menikah sebelum om meninggal." Saya mendesahkan nafas. Tak sanggup berkata apapun dari perkataan itu.

Lama tak bertemu dengannya, tak berbincang dengan anak-anaknya pula, kemarin saya mendapatkan kabar bahwa beliau sudah berpulang. Terlalu cepat, ya, terlalu cepat. Impiannya untuk melihat anak-anaknya bahagia tidaklah tercapai. Lagi, saya mendesahkan nafas.

Kabar itu membuat saya berpikir: pernahkah saya membahagiakan orangtua saya?

Orang tua saya tak pernah membicarakan apa yang membuat mereka bahagia, apa yang harus saya berikan kepada mereka agar mereka dapat berbahagia. Mungkin saya harus menebak-nebaknya sendiri. Saya berada di dalam sebuah permainan yang saya tak tahu pasti jawaban sebenarnya apa.

Ketika saya lulus sekolah, saya dinyatakan naik kelas, saya mendapatkan kemenangan, saya terpilih menjadi orang-orang pilihan, atau apapun, saya tidak tahu apakah mereka bahagia dengan pemberian saya itu. Saya tak yakin mereka cukup bahagia dengan hal itu.

Sebenarnya ada sesuatu yang ingin saya katakan kepada mereka bahwa saya ingin membahagiakan mereka, itulah cita-cita saya. Saya rela mengorbankan apapun demi sebuah kebahagiaan yang lahir untuk mereka. Saya menyayangi mereka, simpel dan mudah bukan?

Namun membuat kebahagiaan bukanlah turun dari langit, ia harus diperjuangkan. Begitu kata Pram. Saya selalu berusaha membuat kebahagiaan itu lahir, meski kecil. Saya memperjuangkan kebahagiaan.

"Apakah kalian bahagia?"

Itu pertanyaan yang ingin saya ajukan kepada mereka.

"Apakah kalian bahagia memiliki saya?"

Itu pertanyaan yang ingin saya ajukan kepada mereka.

"I love you more than you know, more than you feel..."

Itu pernyataan yang ingin saya katakan kepada mereka.

Tapi saya tak pernah sanggup, tak pernah ada nyali untuk mengatakan kepada mereka semua hal tentang cinta, semua hal tentang bahagia. Sebelum kematian yang menjadi lubang besar pemisah, ingin saya ungkapkan semua itu. Tapi...

"Apakah saya pernah membahagiakan mereka?"

Itu pertanyaannya kini.



Jakarta, 3 Oktober 2010 | 12.12
A.A. - Pejuang Kebahagiaan