Kamis, 19 November 2009

Arti Seorang Saudara

Tak pernah terpikirkan untuk beride semacam ini, menuliskannya kata-kata ini pada malam ini.  Genap sudah akan apa yang harus kutulis. Mungkin ini hanyalah sebuah awal dari kata-kata, tetapi semua meluncur dengan sendirinya tanpa kendali.

Beberapa tulisan masih dalam bentuk draft juga menggantung sebagai permintaan maaf karena waktuku lebih menyita kepada menumpuknya tugas-tugas yang harus terselesaikan sebelum 2009 ini berakhir. -Seharusnya kamu tahu, aku kurang begitu suka dengan kehadiran deadline yang acap kali membunuhku untuk berkarya secara sempurna.-

Ada yang harus kutahan dahulu sampai akhir bulan ini. Semoga banyak pekerjaanku yang tertuntaskan pada akhir bulan ini dan kepingan itu untukmu. Kupastikan hal ini, tumpukan buku itu tak perlu lagi kamu baca secara cuma-cuma di toko buku sambil berdiri karena takut dimarahi oleh keamanan toko tersebut. Malah aku bahagia sekali jika dapat menjadikan cerita-cerita imajinatif itu menjadi milikmu.

Apa arti kehadiranmu selama 13 tahun -benarkan 13 tahun?- menjadi teman seperjalananku? Lebih dari sekadar teman, sahabat, bahkan saudara. Seolah semuanya melebur begitu saja karena kedewasaanmu melebihi yang kutahu dan kita memang lebih baik berada seperti ini. Berbicara dengan watak kita masing-masing dan cenderung memihak untuk mencapai pada mufakat. Berdiskusi sampai larut malam, membaca dari pagi sampai pagi, bermain dan tertawa sampai kita tersadar bahwa semua itu lebih dari yang kita percayakan saat ini bahwa kita ada karena keberadaan kita sendiri yang memang saling membutuhkan.

Kita berbagi cerita bahagia dan tragedi kepedihan. Bukan seperti sinetron. Melainkan realita hidup yang perlu untuk kita maknai lebih mendalam dan bukan sekadar main-main dengan waktu. Cerita-cerita yang kita selingi dengan tawa atau air mata adalah makna itu sendiri. Makna berbagi dan saling merasakan bahwa kita memang satu jiwa dan satu tubuh dalam ikatan satu darah. Bahwa kita sama-sama dilahirkan dari rahim yang sama dan dari orang tua yang mengenal kita yang sama.

Arti seorang saudara untukku adalah arti kehadiranmu sendiri. Seperti yang pernah kutuliskan di sini kepadamu satu tahun silam: "Karena kamu adalah bagian dari jiwaku" Aku berani mengatakan itu karena perasaan yang memang hadir dan bermakna lebih dari semua yang pernah kita lalui.

Pengalaman dan cerita yang pernah kita lewati bersama adalah porsi lebih dari sekadar seorang sahabat dan seorang saudara. Kau bukanlah saudaraku, tetapi belahan jiwaku. Kebahagiaan dan kedukaan yang terjalani adalah warna warni dari kehidupan kita. Hanya itu yang dapat kukatakan sebagai seorang saudara. Dirimu mendapatkan tahta terhormat dari hierarki yang ada di dalam diriku ini. Aku tak akan sungkan-sungkan bertaruh kehormatanku demimu.

Semoga kebahagiaan malam ini, menjadi milikmu selalu. Bahkan lebih...



Aku akan setia menjagamu sampai engkau berani mengepakkan sayapmu
Terbang jauh, dan aku yakin itu adalah awal kedewasaanmu
Namun aku selalu siap sedia ketika engkau terjatuh
Aku akan menghiburmu dan mengobatimu
(Dan tak sedetikpun kurelakan membuatmu menjerit sakit)

Brotherhood forever, I'm said...
I believe everything is forever









Teruntuk Adryan Adisaputra Tando
Jakarta, 19 November 2009 | 22.03

Rabu, 18 November 2009

Maaf

Mungkin memang harus kuucapkan maaf sebelum pukul dua belas malam ini tepat datang menyinsing. Sebelumnya, kamu harus tahu satu hal: aku senantiasa akan menepati janjiku. Kamu tak perlu tahu apa yang akan kuberikan kepadamu setelah hari-hari yang begitu jauh sudah kupikirkan. Untuk saat ini, memang kamu boleh kuperkenankan untuk mengecapku sebagai seorang yang tak pernah tepat pada ikrarnya. Tetapi akan kugenapi semuanya ini ketika hujan tak akan pernah turun lagi di bumi dan matahari saja yang akan memanggang kulit kita.

Sejatinya kamu tahu, aku tidak pernah takut akan kematian...

Lantas apa yang harus kita bagi dengan hidup? Aku saja masih bertanya kepada waktu yang begitu lelah berputar. Detak jantungnya untuk memutar detik begitu lambat sampai-sampai hendak aku tertidur di hadapannya. Terkadang kita perlu bersabar menghadapi semua ini. Aku tidak tahu apa engkau masih mengingatku sebagai seorang saudagar yang kaya akan janji yang tak urung lepas tetapi aku tahu akan satu hal untuk esok hari.

Malam sudah datang, tidurlah sebelum kau terlelap tanpa izin...

Mungkin aku tidaklah sepandai dahulu meramu seluruh kata-kata kepadamu untuk mengucapkan maaf, memang lebih baik seperti ini. Penuh kebenaran dan ketulusan, aku belum sanggup menggenapi janji kepadamu. Kepadamu seluruhnya. Namun aku tidak akan lekas hanyut sampai aku belum sanggup menggenapi janji kepadamu. Percaya untuk satu hal ini dan catatlah...


Kalau memang tak sampai waktuku
Cukuplah catatan ini saja menjadi balasannya
Bukan prasasti, bukan sebuah yupa
Tetapi pengingatku akan ikrarku sampai mati
Kepada sebuah kata, memang harus kuucapkan
Begitu berat di lidah, hatipun enggan berkata


::: untuk sebuah kata -maaf- :::


Maaf untuk semua yang tertunda
Maaf untuk semua kelalaian
Maaf untuk semua kesalahan
Maaf untuk semua yang patut dikatakan maaf...





Malam penuh penyesalan,
Jakarta diwangikan dengan hujan
18 November 2009 | 20.32

Sabtu, 14 November 2009

Setetes Air

Bapak enggan memakannya. Sakit memaksanya hanya dapat menerima asupan konsumsi lewat selang yang begitu lambat mengalir untuk masuk ke dalam tubuhnya. Aku tetap setia menunggunya. Walaupun dokter sudah mengetok palu, memberikan vonis kepadanya, tak akan lama lagi waktunya, aku tetap menantinya.

"Aku haus..."

Aku tidak diperbolehkan memberikannya minum. Paru-parunya sudah begitu basah. Dokter mengatakan cukuplah suplai dari infus saja yang hanya boleh masuk ke dalam tubuhnya. Zat kimia sudah begitu banyak menumpuk di dalam tubuhnya. Setiap jam, setiap menit, perawat dan tim medis lainnya hilir mudik. Entah mereka mengukur tensi dan suhu tubuh bapak, memeriksa infus, mengganti botol infus, memberikan suntikan, dan lainnya.

Bau obat ini cukup mengenyangkanku. Aku tak bisa makan. Perutku serasa penuh.

Bapak mencengkram tanganku, namun tidaklah keras. Aku tahu apa yang dikehendakinya. Air. Aku tetap berpura-pura mengacuhkannya. Ini demi kesembuhanmu, Pak...

Namun, bukannya bapak menyerah dan membiarkanku tetap pada pendirianku, bapak malah melambai-lambaikan tangannya ke dekat meja di mana gelas berisi air penuh diletakkan. Ia hampir menggapainya, namun gelas itu pecah.

"Praaaang...."

Aku hanya tercengang menatapnya. Bapak menjatuhkan tangannya lunglai. Perlahan ia menangis. Benar-benar air matanya jatuh. Aku berusaha mengembalikan posisi tidurnya sambil merayunya.

"Pak, paru-paru bapak sudah terlalu basah..."
"Aku hanya ingin minum. Aku haus."
"Tapi ini demi kesembuhan bapak."
"Aku akan mati, aku tahu. Aku tak akan sembuh."

Ketika ia mengatakan itu, pecahlah air mataku. Membelah pipiku sendiri.

"Bapak, jangan bicara seperti itu!"
"Berikan aku minum, setetes saja. Aku tak akan meminta lagi."

Aku meminta gelas baru dan menuangkan air untuknya. Sesuai dengan kesepakatan: setetes air. Kujatuhkan setetes ke dalam mulutnya. Bibirnya begitu kering.

"Tiba saatnya..."

Bapak tertidur, lelap... Lelap sekali. Dan tak pernah bangun lagi untuk meminta setetes air.




Jakarta, 15 November 2009 | 11.42
Terngiang menjagamu di kamar beku itu, Om...

Jumat, 13 November 2009

Mungkin Dia Tersipu Malu

ke mana wahai sangkakala yang memerdukan fajar
ketika anak-anak kecil berlari hanya dapat mendengar
dan mereka tidak tahu di mana mata suara nyanyian itu

"hei... dapatkah kalian tahu di mana itu?"
anak-anak lain menggelengkan kepalanya dan berlalu
mereka berlari-lari mengejar matahari

"ah, dia seorang gadis, pandai memainkannya..."
orang itu berlalu dan meninggalkanku sendiri
aku masih mencari mata suara itu, hendak kutemui dia

suara itu semakin cepat, deras, dan dekat
tapi tak ada jalannya menuju kepada dia
ah, mungkin dia malu kepadaku


Jakarta, 14 November 2009 | 7.38

Pernahkah kita meminta, mengharapkan, dan berdoa agar menginjak bumi? Pernahkah kita berpikir bumi itu adalah surga yang abadi? Pernahkah kita berpikir bumi itu adalah neraka yang menjilat-jilat dengan apinya?

Minggu, 01 November 2009

This Is It

One, Two, Three, Four

This is it, here I stand
I'm the light of the world, I feel grand
Got this love I can feel
And I know yes for sure it is real

And it feels as though I've seen your face a thousand times
And you said you really know me too yourself
And I know that you have got addicted with your eyes
But you say you gonna live it for yourself.

I never heard a single word about you
Falling in love wasn't my plan
I never thought that I would be your lover
C'mon baby, just understand

This is it, I can say,
I'm the light of the world, run away [?]
We can feel, this is real
Every time I'm in love that I feel

And I feel as though I've known you since 1, 000 years
And you tell me that you've seen my face before.
And you said to me you don't wnat me hanging round
Many times, wanna do it here before

I never heard a single word about you
Falling in love wasn't my plan
I never thought that I would be your lover
C'mon baby, just understand

This is it, I can feel
I'm the light of the world, this is real
Feel my song, we can say
And I tell you I feel that way

And I feel as though I've known you for a thousand years
And you said you want some of this yourself
And you said won't you go with me, on a while
And I know that it's really cool myself

I never heard a single word about you
Falling in love wasn't my plan
I never thought that I would be your lover
C'mon baby, just understand

I never heard a single word about you
Falling in love wasn't my plan
I never thought that I would be your lover
C'mon baby, just understand


Michael Jackson - This Is It Concert