Jumat, 28 Agustus 2009

Minor

Bagaimana kita mendeskripsikan sebuah nada merendah, sebuah nada penuh kepedihan dan air mata? Ketika semua nada didendangkan dalam bentukan nada minor, akankah kita bertanya seperti itukah hidup kita sesungguhnya? Dalam pembentukkan kosa kata yang menjadi bait-bait dan seluruh notasi penuh dengan alunan nada yang meringkih pada kelirihan mendalam. Aku sendiri masih bertanya-tanya bagaimana menjelaskan semua ini ketika aku masih bimbang dalam keadaan di mana hidupku adalah antara sopran dan tenor.

Jadilah manusia yang pada kelahiranmu semua orang tertawa bahagia, tetapi hanya kamu sendiri yang menangis; dan pada kematianmu semua orang menangis sedih, tetapi hanya kamu sendiri yang tersenyum - Mahatma Gandhi

Kamis, 20 Agustus 2009

Percakapan di Bawah Tiang Bendera

Dua insan terduduk di bawah kibaran kain yang menari-nari di awan-awan. Mereka menegakkan kepala menuju ke arah kibaran kain terbelah dua dengan arah hendak menantang terik matahari. Begitu menyengat, panas, sambil menyekah peluh yang mengalir sendirinya di pori-pori kulit mereka. Dua insan berbeda kulit.

Kulit putih:
Kau bangga jadi orang di tanah ini?

Kulit hitam:
Bangga! Aku sangat bangga sekali dengan diriku yang bisa lahir di tanah ini.

Kulit putih:
Aku malah merasa malu. Sumpah, betapa malunya aku menjadi orang di tanah ini!

Kulit hitam:
Lho?! Kenapa?

Kulit putih:
Aku malu dengan keadaannya. Pemerintah berteriak jangan korupsi, tetapi mereka yang menjadi pelakunya. Kesuburan tanah mulai tak ada. Ini bukan tanah agraris karena berasnya pun bukan asli dari negeri ini. Negeri maritim? Juga bukan lagi. Ikan-ikan dan isi lautnya ditelan oleh bangsa lain.

Kulit hitam:
Lalu? Kenapa harus malu? Aku yang sebagai orang yang lahir dan keturunan bangsa ini sejak nenek moyang juga tak mengenal malu. Aku tetaplah berjalan dan bangga karena bukan aku yang bertindak.

Kulit putih:
Mungkin itu kamu, aku sebagai bagian dari negara ini, walau bukanlah penuh berdarah dari tanah ini, aku merasa malu. Kita yang dulu dikenal sebagai negara kaya raya akan semuanya sekarang menjadi jatuh melarat karena ketamakan dan keegoisan semata.

Kulit hitam:
Ah, kamu...

Kedua insan kembali menatap kibaran bendera. Merah menginjak kepala putih membentuk dan terbentang di atas tiang. Angin menampar pipi mereka, melayangkan bendera. Kedua insan itu masih memukaukan diri di bawah kibaran.


Jakarta, 20 - 21 Agustus 2009 | 7.47
A.A. - dalam sebuah inisial

Minggu, 16 Agustus 2009

Indonesia, Nah... Selamat bertambah tua untukmu!

Lomba Menulis Cerpen Girlie Zone 2009 Piala MENPORA

Start:     Aug 16, '09
End:     Sep 12, '09
Deadline: 12 September 2009

Ketentuan Umum

1. Peserta tak terbatas, warga Negara Indonesia atau luar negeri.
2. Usia dan jenis kelamin bebas.
3. Tema tentang dunia remaja, lebih disukai yang mengandung nilai-nilai motivasi berprestasi, pencerahan atau nilai-nilai kemanusiaan, persahabatan dan persaudaraan.

Ketentuan Khusus

1. Naskah diketik komputer (atau ditulis tangan dengan jelas) dengan spasi 1,5; font 12; sepanjang 5-12 halaman kuarto.
2. Naskah dikirimkan rangkap 3.
3. Dilampiri dengan formulir pendaftaran lomba yang didapatkan di majalah Girliezone edisi 3 hingga 7 (Formulir harus asli).
4. Disertai kartu identitas yang masih berlaku.
5. Peserta boleh mengirimkan lebih dari satu cerpen, masing-masing cerpen 1 formulir pendaftaran asli.
6. Naskah ditunggu selambat-lambatnya 12 September 2009 (cap pos)
7. Naskah dikirim ke redaksi Girlie Zone (Indiva Media Kreasi). Jl Apel II/No 30, Jajar, Laweyan, Surakarta.
8. Pengumuman juara akan dimuat di majalah Girlien Zone edisi 9
9. Nama penulis tidak boleh dicantumkan dalam naskah cerpen atau dilampirkan dalam kertas tersendiri beserta biodata lengkap
10. Content/isi naskah tidak boleh mengandung unsur pornografi ataupun SARA

Hadiah
Juara 1 :
Rp 1.000.000 + paket sponsor + piala menpora + piagam + langganan Girliezone selama 6 edisi

Juara 2 :
Rp 750.000 + paket sponsor + piala menpora + piagam + langganan Girliezone selama 6 edisi

Juara 3 :
Rp 500.000 + paket sponsor + piala menpora + piagam + langganan Girliezone selama 6 edisi

Naskah yang tidak menjadi juara namun memenuhi kriteria akan dimuat di majalah Girliezone dengan honor seperti biasa.


MORE INFO : HERE

Kontes E-Narcism

Start:     Aug 16, '09
End:     Sep 7, '09
Sehubungan telah diluncurkannya buku “E-Narcism, Gaul dan Eksis di Internet” (yang bisa didapatkan di toko-toko buku terdekat), sepertinya akan lebih meriah kalau Media Ide membuat sebuah kontes. Tentunya kontesnya berhadiah dong, dan nggak perlu menjadi seorang pakar pemasaran atau social media untuk bisa ikut dalam kontes ini. Semua blogger boleh ikutan, karena kontes ini memang untuk kalian.

Tema Kontes:

GAUL DAN EKSISNYA SI TEMAN DI INTERNET

Artinya, ceritakan bagaimana teman Anda (atau pacar, saudara, orang tua, tetangga Anda) memanfaatkan internet untuk gaul. Ceritakan, serta berikan tautan (link), bagaimana teman Anda mendapatkan manfaat positif karena ia bergaul di Facebook, Kaskus, Plurk, Twitter, Friendster, Fotografer.net, Deviant Art, LinkedIn, Kafegaul, Kapan Lagi, YouTube, Flickr, Politikana, dll. Ceritakan bagaimana ia bisa mendapatkan teman banyak di sana, atau bahkan malah mendapatkan peluang-peluang baru yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Jangan ceritakan tentang diri sendiri ya. Sekali-sekali bantulah angkat teman Anda, biar ia bisa menjadi sepopuler Anda. Siapa tahu si teman pernah mendapatkan pacar gara-gara ia aktif di Friendster? Atau mungkin ia pernah mendapatkan proyek desain karena ia rajin mempromosikan karyanya di Deviant Art? Atau mungkin ia pernah berkenalan dengan banyak model cantik karena sering aktif dengan teman-teman komunitas Fotografer.net? Pokoknya, ceritakan apa saja tentang teman Anda berikut bukti kalau ia memang gaul dan eksis di internet.

Siapapun teman Anda, boleh Anda ceritakan, asalkan ia bukan:

* Penulis blog Media Ide. :-)
* Figur politik yang saat ini sedang berkampanye.

Hadiah Utama:

* Pemenang 1: iPod Nano 8 Gb.
* Pemenang 2 dan 3: iPod Shuffle 4 Gb.
* Pemenang 4, 5, dan 6: iPod Shuffle 1 Gb.
* Semua hadiah ini adalah persembahan dari Bhinneka.com.

Hadiah Tambahan:

* 12 t-shirt untuk 12 orang yang pertama kali mengirimkan ceritanya.
* 12 t-shirt untuk 12 orang yang pertama kali mengirimkan bukti pembelian buku “E-Narcism: Gaul dan Eksis di Internet” ke alamat email: kontes[at]media-ide[dot]com.
* Semua hadiah t-shirt ini adalah persembahan dari Grin Clothing.

Masa Kontes:
Kontes akan berlangsung selama 2 bulan, sejak tanggal 25 Juni – 23 Agustus 2009.

Syarat dan Ketentuan:

* Terbuka untuk siapa saja, asalkan berdomisili di Indonesia.
* Tulisan harus ditulis dalam Bahasa Indonesia.
* Tidak ada batasan jumlah posting. Silakan kirimkan tulisan sebanyak mungkin.
Anda harus menjadi fan Media Ide di Facebook.
* Anda bisa mengirimkan tautan (link) URL posting Anda di wall Facebook Media Ide.
* Mencantumkan teks serta tautan berikut di bawah posting:
Ikuti Kontes E-Narcism, Gaul dan Eksisnya si Teman di Internet, dan menangkan 6 buah iPod persembahan dari Bhinneka.com dan 24 t-shirt E-Narcism dari Grin Clothing.
* Para pemenang hadiah utama akan diumumkan pada tanggal 7 September 2009.
* Semua pemenang wajib menunjukkan bukti identitas data dirinya (KTP/SIM/Passport).
* Khusus pemenang hadiah utama, wajib mengirimkan terlebih dahulu bukti pembelian buku “E-Narcism, Gaul dan Eksis di Internet” ke alamat email: kontes[at]media-ide[dot]com.
* Warna iPod untuk pemenang hadiah utama akan bergantung pada stok yang ada.
* Pemenang akan ditentukan oleh Media Ide, atau perwakilan dari sponsor.
* Keputusan panitia tidak bisa diganggu gugat.
* Pemenang di daerah Jabodetabek wajib mengambil hadiah di tempat dan waktu yang ditentukan.
* Pemenang di luar Jabodetabek akan dikirimkan, hadiah akan dikirimkan ke alamat KTP Anda, dengan biaya pengiriman maksimum Rp. 10.000,00 (ditanggung oleh Media Ide).



MORE INFO : HERE

Jumat, 14 Agustus 2009

Gone Too Soon

Trofi itu tidak seharusnya dipegang oleh adiknya. Dia yang harusnya memegang dan menerimanya dengan rasa penuh bangga. Bukan oleh adiknya. Seandainya dia tahu kalau dia akhirnya benar-benar berhasil menjadi pemenangnya. Pemenang lomba penulisan itu. Sebuah trofi yang dia cita-citakan akan dia pegang kelak. Namum semuanya sudah berakhir ketika sebuah peristiwa membuatnya menjadi mati daya. Dan aku? Aku pasti benar-benar bangga dengannya, keberhasilannya adalah sebuah pencapaian tertinggi dari perjuangannya empat tahun menjadi seorang penulis.

Aku tahu benar bagaimana perjuangannya. Aku yang menemaninya dan menguatkannya ketika dia bercerita bahwa dia sedang rapuh. Rapuh jiwanya. Ketika dia berusaha mencari Tuhan sampai ke ujung dunia, padahal Tuhan ada di hatinya itu. Hatinya yang gelisah karena terlalu banyak tuntutan yang harus dia pegang.

Hanya dengan menulislah, dia dapat mencurahkan semua isi hatinya yang gundah itu. Dia jarang mau bercerita banyak. Sekadar poin-poin penting dari permasalahannya saja. Lebih senang mendengarkan tembang-tembang yang perlahan menikam hati, menyayat-nyayat jiwanya. Kadang aku tahu, dia sering menangis ketika sedang menulis sambil mendengarkan lagu-lagu semacam itu. Aku sering protes kepadanya: untuk apa kau dengar lagi kalau hanya menyayat jiwamu? Dengan santainya dia bergumam kepadaku," lebih baik daripada aku mendengarkan lagu bernada keras yang membuat aku semakin rapuh."

Air mataku semakin meleleh ketika tahu bahwa perjuangannya selama ini memanglah tak pernah sia-sia. Seperti apa yang pernah dikatakannya kepadaku: perjuangan tak pernah ada yang sia-sia. Hanya kesempatannya untuk menikmati hasilnya sudah begitu terlambat. Dia terpaksa diwakilkan oleh adiknya sendiri, dia begitu menyayangi lelaki hitam gempal itu. Wajahnya tak jauh seperti dirinya. Melihat wajah adiknya sama saja aku melihat wajah dirinya.

"Mengapa kau begitu putus asa?"
"Aku butuh tempat pelarian yang lebih."
"Begitu miriskah?"
"Jiwaku tertikam karena perbuatan mereka. Perbuatan mereka yang benar-benar menyakitkan aku. Sungguh!"
"Tapi aku tak pernah melihatmu menangis?"
"Karena air mata selamanya tak akan menyelesaikan masalah. Hanyalah sebagai tempat pencurahan dan pembebasan hati yang meresah saja."

Dengan bangganya, dia menunjukkan hasil karyanya, hasil tulisannya kepadaku. Akupun terkagum-kagum di usianya yang sangat belia, dia pandai memindai kata-kata. Seperti apa yang dikatakannya kepadaku: "akan kususun semua huruf, kubentuk semua kata, kucarikkan semua kalimat, maka aku akan menjadi diriku sendiri."

Benar saja, ketika dia menuliskan cerpen pertamanya berbau cerita anak, dikirimkannya berkali-kali kepada surat kabar nasional di kota ini. Kuhitung, dia mengirimkan naskahnya yang sama sekitar tujuh kali. Sampai dia katakan bahwa pos di kota ini adalah penipu. Dia merasa bahwa pegawai kantor pos membuka isi suratnya, maka tak dikirimkannya kepada redaksi surat kabar itu. Dikirimkannya pula dengan ekspedisi, tetap saja mengundang rasa kecewanya. Dia tak percaya dengan ekspedisi. Kurasa kalau dia tahu alamat kantor redaksi surat kabar itu begitu dekat, dia akan langsung menuju ke sana. Memberikannya langsung kepada sang editor. Aku tahu dia adalah seorang yang nekad setengah mati.

Seorang guru Bahasa Indonesia memberikannya nilai nol karena ulah seorang teman sekelompoknya yang salah bicara. Dia dengan lantangnya dan beraninya berdebat dengan guru itu. Dia berjuang setengah mati untuk mendapatkan nilai itu. Katanya, "itu hak kita untuk mendapatkannya, bukan haknya untuk memberikannya nilai nol kepada kita." Aku sudah pasrah kalau sampai-sampai memang benar kita diberikan nilai nol atas ulah seorang kawannya itu.

"Bukan salah kami! Itu kan karena dia yang tak kerja, maka dia tak tahu apapun yang kami kerjakan! Mengapa kami yang harus diberikan nilai nol?"
"Saya tak mau tahu! Itu urusan kalian!"
"Saya yang harusnya mengatakan itu, ibu yang sebagai guru kami harus tahu mengenai dia. Dia tak mengerjakan sama sekali! Mengapa karena dia jugalah kami harus mendapatkan nilai nol?"

Kesannya memang kurang ajar, manalagi dia adalah murid baru. Tapi aku tahu, memang wataknya yang keras itu membuatnya menjadi pribadi yang berani memberontak terhadap apapun. Dia pernah mengatakan kepadaku suatu hal: "seperti itulah kita melawan dan berani terhadap apapun yang salah, maka kita dapat mengenal siapa kita sesungguhnya."

Dengan terbata-bata adiknya mengucapkan kata-kata terima kasih dan memohon maaf kakaknya tak dapat hadir. Mau tak mau, adiknyalah yang menerima trofi kemenangan itu. Kemenangan atas sebuah perjuangan keras dirinya menjadi seorang penulis. Namun itu semua begitu terlambat. Seandainya para juri menyadarinya, dia memang seorang penulis berbakat.

Tak ada darah sastra dalam keluarganya. Dia membentuknya sendiri jiwa itu. Dia ingin menjadi pribadi yang lain di antara yang lainnya. Karakter yang aneh, kukatakan ada pada dirinya. Namun dengan cara itulah dia bisa menjadi dirinya sendiri, seperti apa yang dikatakannya.

Aku mencintainya sebagai kawan perjalanan, aku mencintainya sebagai sahabat yang setia, aku mencintainya sebagai orangtuaku sendiri. Dia begitu dewasa terhadap semua masalah. Dia begitu tegar menjadi dirinya sendiri. Walaupun dia tahu, itu sangat menyakitkan dirinya. Dia tak pernah membohongi keadaan yang ada pada dirinya. Bukannya aku tak peduli dengan keadaannya, tetapi aku lebih mencintainya seperti itu. Karena seperti itulah aku lebih mengenal siapa dirinya dan seperti apa sesungguhnya.

Ketika aku memasuki kamarnya, bau sastra begitu tercium sekali. Mejanya berisi buku. Semuanya nyaris buku sastra. Dari Pramoedya Ananta Toer sampai ke Dewi Lestari. Bahkan dia menghadiahkan buku yang kini sudah sulit dicari, Filosofi Kopi. Puisi-puisinya tertata dengan rapi. Cerpen-cerpennya dimasukkannya ke dalam folder. Ketika aku sedang berselanjarkan tubuh di ranjangnya, dia malah membuka bukunya. Menuliskannya. Jadilah dalam sekejap. Sebuah puisi.

"Bulan depan aku pindah ke Pekanbaru."
"Oh, ya sudah!"
"Kok kamu ga ada simpati-empati?"
"Untuk apa? Toh hidup ini sudah susah mengapa harus dibuat lebih susah lagi?"

Pertemuan terakhirku adalah ketika menemani jiwa petualangannya. Dia memang jiwa petualang. Dia ingin mendaki gunung, sampai puncaknya. Sebelum mati, dia ingin ke Cartenz Pyramid. Gunung tertinggi di Indonesia. Atau kalau bisa, dia ingin ke Everst. Menghabiskan sisa hidupnya di puncak sana. Gila! Kupikir memang dia gila. Tetapi segila apapun dia, dia tetaplah kawanku, kawan yang kukasihi.

Sehari sebelumnya aku berangkat, dia meracik sebuah tulisan untukku. Atas pertanyaan mengapa ada kata perpisahan. Dan itu cukup menegarkan aku untuk menceraikan diri daripadanya. Dia bisa membuatku sebegitu tegar. Dengan gayanya yang sesuka hatinya, tak perdulinya, jiwa petualang, dan darah sastranya memang tetaplah dia. Kawanku!

Ketika aku tiba di Pekanbaru, kutelepon dirinya. Tak diangkat, mungkin dia sedang online di messenger. Kubuka messenger, dia offline. Kupikir dia sedang pergi. Kutinggalkan saja SMS untuknya. Lima jam tak dibalasnya. Ke mana dia?

Kubuka Facebook-ku. Aku tersontak kaget bukan kepalang. Semua kawanku di Jakarta yang mengenal dia menuliskan status dukacita. Dia berpulang. Kecelakaan motor telah merengut nyawanya. Ketika kubuka buku darinya, tiba-tiba tangisku pecah seketika. Aku tak bisa menahannya lagi. Sungguh! Dia sudah berpulangkah?

Aku nekad ke Jakarta. Kembali pulang, sejenak saja. Untuk menemui dirinya. Aroma kematian menyerbak. Aku dijemput kawan lamaku dan mengantarkanku ke rumah duka. Dia sudah ada di pembaringan peti mati. Kaku. Wajahnya begitu damai. Damai sekali seperti cara bicaranya dan gayanya yang begitu menjadi dirinya.

"Dia tak dapat hadir hari ini karena dia sudah meninggal dunia. Dua bulan yang lalu. Seandainya dia tahu dia berhasil memenangkan trofi ini, jiwa menulisnya akan semakin menggila. Nyatanya, dia terlalu cepat untuk berpulang sebelum dia sendiri yang menikmatinya."

Aku tak dapat membendung air mataku lagi. Dia jatuh tanpa seizin aku. Ketika adiknya berbicara seperti itu, aku merasakan dia ada di sini. Dia ada. Dia ada untuk keberhasilannya itu. Semua puisinya, semua cerpennya yang dia tuliskan di dalam blog ataupun carikan kertas akanlah menjadi aset berharga untuk keluarganya. Cita-citanya menjadi seorang penulis kini telah menuaikan hasil, tetapi dia terlalu cepat untuk berpulang.

Ketika dia hidup, dia merasa sendiri. Merasa kosong. Ketika dia meninggal dan sudah tiada, mereka terus menantinya. Banyak orang yang perduli denganmu, kawan! Mengapa kau merasa sendiri dalam jiwamu yang kosong itu? Mengapa?! Apa yang kau pikirkan?

Mungkin dia menyusul idolanya, Michael Jackson. Dia memang sudah menanti saat-saat itu. Dia ingin ber-moon-walking dengannya. Aku tahu, Tuhan sayang padanya. Tuhan sayang kepadanya. Dia mencari Tuhan dalam gelisahnya, padahal Tuhan sayang padanya dan ada di hatinya. Dia sudah pergi, tetapi terlalu cepat. Gone too soon...


Like A Comet
Blazing 'Cross The Evening Sky
Gone Too Soon

Like A Rainbow
Fading In The Twinkling Of An Eye
Gone Too Soon

Shiny And Sparkly
And Splendidly Bright
Here One Day
Gone One Night

Like The Loss Of Sunlight
On A Cloudy Afternoon
Gone Too Soon

Like A Castle
Built Upon A Sandy Beach
Gone Too Soon

Like A Perfect Flower
That Is Just Beyond Your Reach
Gone Too Soon

Born To Amuse, To Inspire, To Delight
Here One Day
Gone One Night

Like A Sunset
Dying With The Rising Of The Moon
Gone Too Soon

Gone Too Soon

Michael Jackson - Gone Too Soon


Jakarta, 9 Juli 2009 | 20.12

Pulang

di tepi kota ini
ku merasa sangat sepi
berdiri di atas karang
ku kenang wajahmu

berikan aku waktu
‘tuk berlabuh ke pelukmu
sadarkan semua niatmu
dan jangan tinggalkan aku
jangan tinggalkan

reff:
aku ingin pulang
aku ingin pulang
berikan doamu
agar aku pulang

aku ingin pulang
aku ingin pulang
berikan sayapmu
agar aku pulang

aku ingin cepat pulang
aku ingin cepat pulang
berikan sedikit waktumu
untuk tetap menunggu
tetap menunggu

repeat reff

baby you said your all that i need
baby you said you make me complete
just come back home
just come back home to me




NidjiTop Up

Jumat, 07 Agustus 2009

Kepada Rendra

Kepada Bung Rendra,

Kutuliskan sebuah sajak kepadamu
Seperti balasan jasa dariku
Seorang yang menikmati kata rajutanmu
Meski kutahu kau tak pernah membutuhkannya
Mengharapkannya ataupun memintanya
Apalagi mengemis-ngemis kepadaku
“Tolong, tuliskan sajak untukku!!!”
Tidak, tidak ada dalam sajakmu
Mengemis meminta sajak dariku
Kalau sampai itu terjadi, bagaimana denganku?
Aku yang mengemis, mengharap
Menjadi ada dalam kata

::: Ini tak pernah tercatat oleh sejarah :::


Kepada Bung Rendra,

kutuliskan sebuah sajak
bukan penghantar tidur
bukan cerita bersambung
ataupun secuil cerita pendek
sekadar kau tahu, kau tak dikekang waktu
kau tetap ada, dibasuh oleh waktu
oleh zaman yang akan punah
tapi kita tak akan tahu, tak bisa menjawab
kalau sampai benar kita akan mati
seperti prajurit yang kalah sebelum mengangkat senapan

::: aku hanya bertugas mencatatkannya :::


Kepada Bung Rendra,

kalau sajakmu sampai terbuang
terinjak oleh kaki-kaki yang patut terpatah
kita hisap rokok kita
biarkanlah, tetapi tinta dalam kertas belumlah kering
dia menempel dalam alas sepatu
ketika ia menginjak
sajak-sajakmu mengecap di sepanjang jalan
dan mereka tetap mengingatmu
sebagai satu nama: Rendra!

::: dan itu… siapa yang hendak menghapus? Tak ada! :::



Jakarta, 8 Agustus 2009 | 8.37
Kepada Willibrordus Surendra Broto Rendra
1935-2009

Doa Serdadu Sebelum Berperang

Tuhanku
wajah Mu membayang di kota terbakar
dan firman Mu terguris di atas ribuan
kuburan yang dangkal
anak menangis kehilangan bapak
tanah sepi kehilangan lelakinya
bukannya benih yang disebar di bumi subur ini
tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia
apabila malam turun nanti
sempurnalah sudah warna dosa
dan mesiu kembali lagi bicara
waktu itu, Tuhan ku
perkenankan aku membunuh
perkenankan aku memasukkan sangkurku
malam dan wajahku adalah satu warna
dosa dan nafasku adalah satu udara
tak ada lagi pilihan
kecuali menyadari biarpun bersama penyesalan
apa yang bisa diucapkan oleh bibirku yang terjajah ?
sementara kulihat kedua tangan Mu yang capai
mendekap bumi yang mengkhianati Mu
Tuhan ku
erat-erat kugenggam senapanku
perkenankan aku membunuh
perkenankan aku menusukkan sangkurku


Wilibrordus Surendra Broto Rendra
1935-2009


dikutip dari Sajak-sajak Sepatu Tua (Pustaka Jaya)