Sabtu, 30 Mei 2009

Boarding [1]

Catatan Harian Seorang Kawan [1]
Secuil catatan dari Boarding*


Ini hanya catatan harian seorang kawan. Tetap sama. Hanya berupa tulisan-tulisan saja. Katanya, aku harus membacanya. Untuk apa? Agar kau tahu sesuatu mengenai hal itu, kawan -balasnya-. Aku tahu semua tentangmu, kawan. Aku tak perlu untuk membacanya, apalagi ini sebuah catatan harian. Patutnya dia ada di dalam rengkuhan pemiliknya saja, bukan jatuh kepada tangan lain.

"Kau harus membacanya! Ada sesuatu yang patutnya kau tahu dari aku."
"Untuk apa? Aku sudah tahu keseharianmu. Mataku menjadi agenda harianku sendiri terhadapmu."
"Ah, kau begitu rupanya, kawan! Sombong sekali! Kalau kau tahu hal itu, kau akan enggan melepas catatan harianku ini."
"Lha? Bukannya catatan harian itu harusnya hanya kau seorang yang tahu, kawan?"
"Tapi kau harus tahu, ada beberapa catatan yang tak tercatat dalam catatanmu itu."

Ah, kenapa pula dia memaksaku? Catatan apa pula yang ingin diceritakannya? Kenapa jua harus aku yang membacanya? Pertanyaan bertubi-tubi dilemparkan otakku terhadap catatan itu.

Kini catatan itu tertumpuk di mejaku. Bersatu dengan catatan-catatan lain.

"Aku tahu kawan! Kau bosan membaca cerita tentang cinta terus. Kusajikan ini juga dalam cinta, menuliskannya dengan cinta, dan sepatutnya kau juga membacanya dengan cinta."
"Bagaimana aku dapat membaca dengan cinta?"
"Gunakan hatimu itu..."

Sudah tiga hari dia bersemayam di atas mejaku. Tanpa kusentuh sama sekali. Membukanya pun aku jadi enggan. Ini catatan harian seorang kawan. Lancang sekali kalau aku membukanya. Tapi tak apalah. Toh, dia sendiri yang mempersilahkan aku membacanya. Seluruhnya bahkan!

Benar-benar, dia akan menceritakannya sendiri. Buku itu akhirnya kugenggam juga. Bergemetar tanganku. Duh! Ada apa di dalamnya? Untuk apa? Lagi-llagi pertanyaan ini muncul dalam benakku.

"Sudah baca sampai mana?"
"Baru kusentuh. Betapa lancangnya aku kalau sampai kubuka."
"Hey! Tak apalah! Jangan merasa bersalah seperti itu."
"Ini catatanmu, kawan. Besok akan kukembalikan."
"Kenapa kau tak mau membacanya? Semua orang malah ingin tahu catatan pribadi orang lain, kau malah tak mau."
"Ini sangat privasi sekali. Catatanmu itu sebenarnya tak boleh jatuh ke tangan orang lain, termasuk aku."
"Catatan itu tak akan berbentuk privasi lagi."
"Lho? Kok?"
"Karena kau harus tahu. Tak kau baca sampai habis juga tak apa."
"Tetap besok akan kukembalikan. Aku tak berhak membacanya."
"Duh, perlukah aku yang membuka catatan itu dan membacakannya kepadamu?"

Kawan, ada rahasia yang kau sembunyikan dari catatanmu itu. Nah, mungkin saatnya aku harus membacanya. Jangan pernah salahkan aku sekalipun kalau catatan ini kubuka dan kubaca! Jangan sesekali kau membenciku karena aku membaca catatan kawanku sendiri! Ini karena pemaksaanmu.

Ah, catatan... Menyiksa sekali!




31 Mei 2009 | 7.28



PS: Catatan terakhir untuk bulan ini. Kita bertemu di bulan yang lain.

Jumat, 29 Mei 2009

Jalan

Pada suatu malam Tuhan mengatakan kepada saya:
"Manusia punya jalan sendiri-sendiri..."
Saya tidak mengerti maksud Tuhan
Kembali saya bertanya kepada Tuhan:
"Jalan? Jalan apa itu Tuhan?"
Tuhan kembali berkata kepada saya
"Ada jalan, manusia punya sketsa sendiri, maka tak ada yang sama"
Aku menganggukkan kepala, mengerti maksudnya

Pada suatu malam Tuhan mengatakan kepada saya:
"Manusia punya jalan sendiri-sendiri..."
Saya kembali bertanya-tanya, apa Tuhan lupa Dia pernah berkata itu
"Tuhan sudah pernah mengatakan itu kepada saya"
Tuhan merespon balasan saya
"Jalan itu memiliki jarak yang berbeda, maka tak ada yang sama"
Aku menganggukan kepala, mengerti maksudnya

Pada suatu malam Tuhan mengatakan lagi kepada saya:
"Manusia punya jalan sendiri-sendiri..."
Ah, Tuhan memang sudah lupa, sering sekali mengatakan itu
"Tuhan sering sekali mengatakan itu"
Tuhan hanya menatap mata saya dan seolah memahami ada yang tak saya mengerti
"Jalan itu harus manusia tempuh, untuk mencapai Aku pada nantinya."
Aku tercengang



A.A. - dalam sebuah inisial
30 Mei 2009 | 8.42

Rabu, 27 Mei 2009

Kita Berbagi dalam Kotak

Beberapa hari ini memang saya lebih sering pulang siang setelah mengikuti tes akhir semester. Biasanya saya diantar sampai ke rumah, tetapi kali ini saya dan teman - teman saya memilih untuk pulang dengan Transjakarta. (Ah, bohong kalau situ tak kenal sama benda ini...)

Beberapa pertimbangan saya putuskan. Selain lebih cepat, juga lebih hemat dan praktis. Soal keamanan, jelas sedikit lebih aman dibanding dengan angkutan kota atau semacamnya. Lagipula, di kota Jakarta yang memiliki kemacetan luar biasa seperti ini, Transjakarta memang sebuah alternatif yang cukup baik (karena keegoisannya punya jalan sendiri).

Setidaknya, saya belajar sesuatu tentang berbagi. Di ruang kotak itu.

Sederhana bukan?

Mungkin hal berbagi adalah hal yang sederhana. Amat sederhana sekali. Dengan sepotong roti, kita dapat berbagi dengan sekitar kita. Dengan selembar uang, kita dapat berbagi dengan mereka yang kekurangan.

Berbagi kesempatan? Ya, kita juga bisa berbagi melalui itu. Bukan hanya teori yang setiap hari guru-guru di sekolah dasar mengajarkan bahwa utamakanlah mereka yang sudah lanjut usia atau yang sedang hamil. Di setiap jendela Bus Transjakarta juga ditempelkan stiker demikian. Lantas, apakah semua itu benar-benar dijalani?

Praktisnya, selama berkali-kali saya menaiki bus Transjakarta, hanya dua kali melihat hal itu. Hal berbagi yang paling mudah. Seseorang yang duduk tak jauh dari saya bangkit berdiri dan mempersilahkan seorang nenek duduk dan dia rela untuk berdiri walau jarak yang dia tempuh sangat jauh. 

Seorang teman saya rela bergelantung di Transjakarta demi seorang ibu yang membawa seorang anak kecil. Dia berdiri berpegangan sambil membopong tasnya. Di kesempatan itu, saya yang duduk agak jauh darinya mengatakan agar dia saja yang duduk. Dia menggeleng. Saya tersenyum. 

Benar-benar hal yang berbau teoristik semacam itu memang sulit dilakukan. Bahkan saya pernah melihat sendiri seorang nenek yang terpeleset ketika berdiri di tengah keramaian dalam kotak berjalan tersebut. Sayangnya, saya pun tak mendapatkan kursi di dalamnya. Seandainya... 

Entah mengapa, banyak sekali mereka yang mengajarkan bahwa hal berbagi itu indah. Tetapi kenapa sulit sekali untuk melakukannya?




A.A. - dalam sebuah inisial

Jakarta, 27 Mei 2009 | 5.35

Minggu, 24 Mei 2009

Dialog Malam

            : Teruntuk Astrid Camilla

Kita semua punya cerita, kawan
Dan melalui cerita itu, kita mencoba berdialog
Mengenai rangkai kata yang disulap jadi kalimat
Melalui itulah kita belajar pada sesuatu yang lebih

Aku pun juga punya kisah, kawan
Tentang hidupku dan negeri yang panjang
Itu adalah secuil dari nukilan yang ada
Untuk kubagi denganmu

Jangan salah!
Kematian adalah akhirnya 
Dan awalnya adalah kelahiran
Kau harus bedakan itu

Kita punya jalan masing - masing
Sebagaimana kita punya kisah masing-masing

Kalau kau ingin pergi, pergilah
Dengan kulepaskan engkau, itulah harapan
Dengan kurelakan engkau, itulah asa

Aku tak ingin menjadi rakus
Untuk menjadikan dirimu adalah abadi
Kau bukan punyaku dan aku bukan punyamu
Kita akan berpulang : pada waktunya

Kau bertanya kapan, aku tak tahu...
Tuhan saja masih bertanya-tanya

Aku tahu kau heran ketika aku katakan
Maaf dan terima kasih - kata sederhana
Takut untuk terlambat

Kita punya nasib dan takdir sendiri
Tak ada yang berhak mengusiknya
: termasuk aku sendiri

Kenyataan adalah kepahitan
dan kepahitan yang akan kau kecap
Akan menjadi manis, manis sekali

"Tuhan akan menghiburmu..."katamu
Aku hanya tersenyum seperti manja
Dan koyaklah seketika hatiku, seketika

Dia bisa melihatmu
Dia bisa mendengarmu
Tetapi tidak dengan kau, tidak...

Hidup hanya sebuah permainan, maka mainkanlah...

Dan aku akan melepasmu, pergilah jika itu yang baik adanya



Penghujung Jakarta, 24 Mei 2009 | 22.35
A.A. - dalam sebuah inisial

Jumat, 22 Mei 2009

Catatan untuk Lelaki Itu

Kalau saja malam ini aku tak tahu bahwa hari ini adalah tanggal 22 Mei, mungkin saja aku akan lupa bahwa hari ini adalah hari yang memang dikhususkan untukmu. Kalau jua aku lupa, kalenderpun tak akan mengingatkanku akan hal itu.

Selama kita saling mengenal, ada banyak hal yang dapat kudiskusikan denganmu. Kita beradu argumen sampai kata-kata terpaksa mati di tengah. Lalu kita mengakhiri semua itu dengan gelak tawa. Kamu memukul pundakku dengan iseng dan aku marah denganmu. Itu juga diakhiri dengan gelak tawa.

Bukankah indah hidup ini jika kita memaknai maksud katanya?

"Aku ingin ini..." Jari telunjukku menunjuk ke sebuah buku.

"Ambil sajalah, nanti bayar di sana!" katamu sambil memberikan selembar uang.

Alang kepalang girangnya hatiku waktu itu mendapatkan apa yang kuinginkan. Aku mendapatkan sebuah novel yang kuinginkan sejak bertahun-tahun lalu. Ini adalah serpihan kisah yang pernah kepingan puzzle dalam perjalanan hidup kita.

"Hati-hati... Jaga kesehatan! Kalau sudah tiba, telepon ya..." pesanmu sebelum aku berangkat ke Cidahu untuk kembali melawan alam. Kubalas katamu dengan senyum saja. Secuil senyum untuk meninggalkanmu beberapa hari.

Aku cinta alam, tapi juga cinta dirimu. Bahkan kalau kau mau tahu, aku sangat cinta dengan kamu!

"Pilih saja kamu ingin sekolah di mana, yang penting bagus untukmu."

" Aku ingin di sini."

Begitu banyak kisah yang pernah kita lalui, masihkah kau ingat kisah itu? Ada hiburan, ada tawa, ada air mata, ada suka, ada duka, dan ada segalanya. Dari aku kecil yang harus dituntun agar dapat berjalan sampai kini aku menjadi jiwa yang liar untuk mengapresiasikan masa mudaku dan aku suka akan hal itu. Aku suka akan kebebasan yang engkau berikan.

Dan malam ini, sebelum aku dikalahkan kantuk yang luar biasa ini, luar biasa sekali aku menahannya untuk menuliskan hal ini kepadamu, untuk mengucapkan tiga kata: "selamat ulang tahun." Bukankah indah kata itu? Semua orang mengerti definisinya dan aku sangat menyukainya sekaligus membencinya karena pertanda bahwa kau akan semakin menjadi tua.

Akulah anak yang mewarisi gen dari tubuhmu sekaligus mewarisi darah emosimu yang tinggi dan rasa keras kepala yang sangat hebat. Kini anak itu sedang menguraikan kata untukmu, untuk kado ulang tahunmu.

Selamat ulang tahun, Pa. Itu saja yang dapat kukatakan.



Anak berjiwa keras,
A.A - dalam sebuah inisial

22 Mei 2009 | 20.45

Senin, 18 Mei 2009

Bapak

Betapa malunya aku ketika pada akhirnya Bapak menerima pekerjaan sebagai seorang badut. Aku sudah membayangkan apa yang akan terjadi kelak. Aku sudah mencoba melarang Bapak agar jangan menerima pekerjaan itu dan cobalah hendaknya mencari pekerjaan lain yang tidak memalukan semacam demikian.

"Besok Bapak jadi badut."

Ketika Bapak mengatakan hal itu, terbesit di benakku bahwa aku akan dipermalukan di depan orang banyak. Apakah yang dapat dibanggakan dari pekerjaan seorang badut? Dia hanya sebagai mainan anak-anak saja dan menghibur orang. Dipukuli dan harus berpeluh keringat di dalam topengnya itu.

"Bapak tak ada pekerjaan lain selain menjadi badut?"

"Ini hanya sementara saja."

"Walau sementara, menjadi badut itu memalukan, Pak!"

"Bapak tahu hal itu. Pekerjaan ini sampai Bapak mendapatkan pekerjaan yang lebih baik."

Kata-kata penghiburan demikian tak cukup memuaskan hatiku. Walau berkali-kali Bapak menekankan bahwa ini hanya sementara saja, aku merasa menjadi badut tetaplah memalukan. Dia harus berada di balik topeng dan mencoba melucu. Kalau tak lucu, dia harus menerima celaan dari anak-anak dan orang yang kecewa. Dengan hidung merah dan rambut yang bukan hitam, dia berjalan ke sana kemari dengan kostumnya.

"Pak... carilah kerja yang lain."

Sewaktu pelajaran mengarang, guruku memaksa kami semua agar menceritakan pekerjaan ayah kami masing - masing. Jantungku berdegup. Pikiranku hanya ada "Bapakku badut". Aku akan menembokki mukaku dengan beton yang benar-benar dapat menahan malu dalam hal apapun.

Sialnya, pagi hari itu, akulah yang pertama dipilih untuk menceritakan pekerjaan Bapak. Sudah kutemboki muka ini dengan tembok yang berlapis tanpa perlu dilihat orang banyak.

Tetapi... rasa malu tetap saja ada.

"Bapak... ehm... ehm..."

"Bapakku... ehm... ehm..."

"Kenapa gagap begitu, Ndi?" tanya guruku. Dia tak melihat bahwa kakiku sedang bergetar hebat.

"Bapakku... ehm... ehm... se... se... seorang... seorang badut."

Gagap gempita kelas menggelegar dari berbagai sudut. Mereka tertawa sampai perut mereka sakit setelah mengetahui bahwa Bapakku seorang badut. Tembok yang kubuat di mukaku rasanya kurang tebal. Tetap saja aku menitihkan air mataku di depan mereka yang tak hentinya tertawa. Aku menunduk bagai orang yang mengheningkan cipta.

"Kamu kok menangis?"

***

Akhirnya setelah setahun Bapak menjadi badut, dia memperoleh pekerjaan baru. Kini dia tak lagi berlapis topeng, melainkan berlapis seragam bersih. Gagah ketika dia memakainya. Akupun sangat bangga bukan kepalang melihat Bapakku seperti itu sekarang.

Aku tak tahu apa pekerjaan Bapak sekarang.

Kurasa Bapak menjadi seorang karyawan di perusahaan besar. Duduk di kursi dan memegang pen di tangan kanannya. Dia akan memiliki gaji yang sangat besar. Aku bisa meminta apapun dari Bapak.

Ketika aku liburan sekolah, aku bermain di depan rumah. Mobil putih bertuliskan "Ambulance" berhenti tepat di depan rumahku. Seorang lelaki turun dari mobil itu dan menemui ibu. Entah mereka membicarakan apa dan tak berapa lama ibu menjerit histeris. Seketika itu pula aku berlari kepada ibu. Tetangga mulai berkerumun di depan rumahku.

Sesosok orang terbungkus kain kafan dimasukkan ke dalam rumah.

Kudengar seseorang mengucapkan di telingaku,"Bapakmu meninggal setelah mengelap kaca dan terpeleset dari lantai tujuh."

Tubuhku mendadak dingin dan air mata meledak seperti aku menceritakan Bapak seorang badut.




Jakarta, 18 Mei 2009 | 19.31
A.A. dalam sebuah inisial

Rabu, 13 Mei 2009

Kumpulan Cerpen Kompas

http://cerpenkompas.wordpress.com/
Cerpen Kompas tiap minggunya ada di sini.

Kutipan:

Saya penikmat cerpen-cerpen pada harian Kompas minggu, lalu menyimpan tautan versi onlinenya; siapa tahu saya mau membacanya lagi, entah sebagai pelepas penat, pengisi pundi jiwa, mungkin juga referensi atau cuma iseng. Mencarinya di tumpukan koran bekas tentu lebih melelahkan daripada menelusuri tautan-tautan favorit yang sudah disimpan dengan rapi.

Sayangnya, kompas cybermedia sebagai penyedia konten elektronik kompas telah merubah total struktur dari web kompas terbarunya sejak 19 Januari 2008 setahu saya. Yah, web baru kompas tampilannya cukup bagus, mungkin maksudnya mau bergaya Web 2.0, tapi malah URI terbaru pada segmen kompas cetak lebih buruk daripada sebelumnya. Sama sekali tidak mengakrabi mesin pencari. Ia tidak menggunakan mod_rewrite sekalipun penggembira Apache dan PHP. Ia menyukai menu teknologi dan olahraga tapi luput menampilkan menu seni dan budaya maupun kehidupan.

Dan ini adalah advokasi untuk saya, sebagai penikmat cerpen Kompas minggu.

Pesta Buku Jakarta 2009

Start:     Jun 27, '09
End:     Jul 5, '09
Location:     Istora Senayan, Jakarta


Dikutip dari sini

Pesta Buku Jakarta 2009 akan digelar pada tanggal 27 Juni – 5 Juli 2009 di Istora Senayan Jakarta. Mengusung tema tema “Book is my lifesyle” penyenggaraan 19th Pesta Buku Jakarta 2009 menggagas sebuah upaya untuk menjadikan buku sebagai gaya hidup masyarakat Indonesia. Dengan buku menjadi gaya hidup, maka masyarakat menjadi akrab dan tidak berjarak dengan buku. Konsekuensinya, budaya baca masyarakat Indonesia akan tergerek naik, dan industri perbukuan Indonesia akan berkembang dengan baik.

Pestabuku Jakarta Online

http://pestabukujakarta.com

Selasa, 12 Mei 2009

Hari Ini Sebelas Tahun Lalu

Hari ini sebelas tahun lalu:

Sedang apa kau, sayang?

aku bermain senapan di depan DPR
aku bermain orasi di atas mimbar
aku bermain gas air mata di muka MPR

siapakah perduli?

aku yang akan dijerang peluru
aku yang akan berdarah jadikan mati
aku yang tergeletak di tengah Gatot Soebroto

selamatkah engkau?

dari huru hara itu
dari amukan itu
dari atas nama reformasi

engkaukah itu?

yang menjadi jenazah
yang masih berlarian
yang berdiri di mimbar

akankah kau kenang itu?

semua kematian yang jadinya kisah
semua perjuangan kita jadinya angan
semua tragedi hidup jadinya air mata

apa yang akan diwariskan pada mereka?

sebuah cita-cita atas reformasi
sebuah kemenangan untuk demokrasi
sebuah harapan yang jadikan mimpi adanya

Hari ini sebelas tahun lalu

akankah sejarah mencatatnya?




Jakarta, 13 Mei 1998 - 13 Mei 2009

Jumat, 08 Mei 2009

Mendengar Suaramu

Mendengar suaramu...
Seperti aku mencari matahari ketika malam datang
Seperti aku mencari butir gula ketika laut pasang
Seperti aku mendaki gunung yang tak pernah sampai

Mendengar suaramu...
Seperti aku hendak mengambil matahari yang tak sampai
Seperti aku mencari berlian ketika aku menginjak gurun
Seperti aku hendak menggapai langit ke tujuh

Mendengar suaramu...
Seperti aku hendak bergurau dengan pangeran katak
Seperti aku menulis di atas angin
Seperti aku akan mencari kekeringan atas air bah

Mendengar suaramu...
Adalah misteri yang tak pernah aku ketahui

Tak pernah!




Jakarta, 9 Mei 2009 | 10.18
A.A. - dalam sebuah inisial

Minggu, 03 Mei 2009

Titik, Koma

Aku tak pernah ingin menjadi titik
Aku ingin menjadi koma
Di sana dia tak akan pernah berhenti

Aku tak pernah ingin menjadi titik
Aku ingin menjadi koma
Karena semua akan dia singgahi

Aku ingin jadi koma, bukan titik


Jakarta, 3 Mei 2009 | 10.35
A.A. - dalam sebuah inisial