Sabtu, 31 Januari 2009

Peneman Pagi



Apa yang setiap pagi kucari? Kau, cangkir, dan air. Rasanya cukup menemani semua pagiku. Sebelum aku pergi meninggalkan rumah setengah hari, rasanya selalu ada yang kurang sebelum menyapamu.

Kau, sebiji kopi digiling halus. Dimasukkan ke dalam cangkir. Disiram air panas. Diaduk dan kau meleleh. Ya, kau yang meleleh itu menjadi teman pagiku. Perjuangan keras untuk tiba di tenggorokanku.




Ketika pagi menjelang....
Aveline Agrippina T. - 08.06

Sabtu, 24 Januari 2009

Akal Budi atau Keseimbangan?

Akal Budi atau Keseimbangan?
Sebuah teori yang dicari jawabannya



Terkait dengan komentar-komentar yang masuk pada post link ini, setidaknya saya hanya ingin mengutarakan pendapat-pendapat saya tentang apa yang ditulis oleh teman - teman saya.

Akal budi yang dilandasi


Mengenai akal budi, semua orang yang berpendidikan tahu bahwa yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lain adalah akal budi. Hanya manusia yang memiliki akal budi. Maka dari itu, mengapa tidak digunakan akal budi itu untuk melakukan sesuatu?

Logika yang seharusnya lebih mendominasi semua hal tentang apa yang kita lakukan. Lalu, apa pengertian logika itu sendiri?

Saya coba mengutip dari Wikipedia.
Logika berasal dari kata Yunani kuno λόγος (logos) yang berarti hasil pertimbangan akal pikiran yang diutarakan lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa.
Jadi, untuk menjadikan alasan dan landasan tentang semua yang kita lakukan adalah logika alias akal budi. Modal utama manusia dalam bertahan hidup. Kita bukan lagi di dunia khayalan bahwa manusia dapat terbang, atau manusia bisa berdialog dalam air. Semua itu butuh logika.

Keseimbangan yang dilandasi

Keseimbangan dalam versi ini adalah hidup dan mati. Maka semua yang hidup akan berujung pada kematian. Ya, saya percaya hal itu. Bukankah itu hukum yang mutlak dalam menjawab hukum timbal balik bahwa ada sebab maka akan ada akibat?

Jika demikian saya dapat menyimpulkan bahwa hal ini sudah didapati sejak dahulu melalui teori Yin Yang. Di mana dikatakan di sana adalah Yin (feminin, hitam, bersifat pasif) dan Yang (maskulin, terang, bersifat aktif) adalah dua elemen yang saling melengkapi. Setiap kekuatan di alam dianggap memiliki keadaan Yin dan Yang.


Jadi kebenarannya adalah


Semua itu kembali pada diri kita, apakah benar membunuh hewan atau mencabut tanaman adalah semuanya menurut akal budi atau menjadi sebuah keseimbangan. Jika akal budi, maka manusia tak akan makan. Karena semuanya tidak boleh dibunuh untuk dikonsumsi untuk mempertahankan hidup manusia. Dan sebaliknya, jika hal itu adalah keseimbangan, maka hal pembenaran itu dapat dibenarkan oleh manusia melalui sisi-sisi lainnya.

Seperti yang saya katakan dalam blog tersebut bahwa jika manusia telah dibekali oleh Tuhan melalui akal budi, maka membunuh hewan adalah hal yang dibenarkan atau disalahkan adalah kembali pada akal budi dan nurani manusia itu sendiri. Bahwa jika dibenarkan dan menurut manusia adalah hal yang benar membunuh, silahkan teruskan apa yang ada di pikiran dan akal budi manusia tersebut. Karena hal itu dianggap baik. Dan sebaliknya, jika hal itu dianggap buruk, maka hentikanlah.

Mencari sebuah keseimbangan adalah menjadi teori ke-estetika-an yang akan membawa manusia mengenai apakah hal ini baik dan benar atau sebaliknya, apakah hal itu buruk dan salah.

Mungkin setiap agama juga mengajarkan hal-hal yang sama yaitu pelarangan dalam membunuh. Tetapi untuk hal ini, membunuh hewan dan tumbuhan apakah dibenarkan, setidaknya saya katakan benar. Untuk apa? Misalnya, gajah diambil gadingnya untuk dijadikan barang hiasan. Tetapi harus disadari bahwa harus ada keseimbangan ekosistem di dunia ini. Menjadi sebuah landas acuan yang membimbing pada keseimbangan. Bukan pada penentuan bahwa membunuh sesama dibenarkan, tetapi gunakan nalar yang ada pada setiap pribadi lepas pribadi.

Toh, seperti kata seorang pembicara ketika saya ikut seminar bahwa Tuhan tidak melihat caramu mati, melainkan melihat caramu hidup dan memaknainya.

Jadi, kesimpulan dari semua ini adalah gunakan akal budi untuk mencari sebuah keseimbangan yang dibenarkan menurut pribadi lepas pribadi.



Pagi ini
Penghujung Jakarta, 25 Januari 2009
A. Agrippina T.

Kamis, 22 Januari 2009

Madah Embun Pagi

terngadah aku pada kaca jendela
ketika aku terjaga hingga pagi menjelang
dan hujan mulai memecah kaca
bunyinya mengalun lembut
mendatangiku sambil berkejaran
menghantar ucapan 'selamat pagi'
menyisipkan embun

jariku mulai menempel di jendela
tergoreslah garis lurus

tak lama garis itu tak terbentuk lagi

kugores lagi
kugores lagi
kugores lagi
kugores lagi
kugores lagi

sampai mentari mulai datang
kumasih menggores
dan tinta di jendela itu hilang

embun pagi tak lagi menampakkan wajahnya




Pagi ini
22012009-Aveline Agrippina T.
di pagi bermain dengan embun

Rabu, 14 Januari 2009

Hujan yang Menghantar Bayangmu

Jakarta yang aku tahu masih dalam heningnya. Mungkin kamu akan bertanya sejak kapan Jakarta mendapatkan keheningannya. Kamu hanya tahu Jakarta adalah kota sibuk, kota yang penuh polusi, dan kota yang penuh dengan kekejaman. Tapi kamu tak tahu Jakarta juga menyimpan hening tersendiri untukku. Untukku menuliskan surat ini kepadamu.

Ketika kumenuliskan surat ini kepadamu, Jakarta masih berteteskan hujan. Setidaknya berapa tahun kamu telah tidak menginjakkan kakimu lagi di Jakarta. Tempat pertama kali kita berjumpa. Tempat pertama kali kita berpisah. Dan hujan juga pada akhirnya menghantarkan sebuah pertemuan menjadi sebuah perpisahan.

Berapa lama kita tak berjumpa? Hari ini tepat 14 Januari. Tepat tujuh tahun kita tidak berjumpa. Dan tujuh tahun itu juga kita menggetarkan rasa rindu kita hanya lewat suara. Lalu lenyap pada tahun - tahun kemudian.

Tujuh tahun lalu, kita berjumpa untuk yang terakhir kalinya di landas udara sebelum kamu berangkat. Kita berjanji kita akan berjumpa lagi. Dan kamu selalu mengucapkan "aku akan pulang." Kita berpeluk dalam sedu itu. Sadarkah kamu pada saat itu Jakarta sedang hujan? Hujan yang menghantarmu ke tempat tujuanmu.

"Kuharap kamu berhasil di sana." Aku hanya memberikan harapan untukmu sebelum kamu berangkat. Aku yakin kamu memang anak yang lebih pandai dariku. Maka tak pernah salah jika aku berkeyakinan bahwa kamu akan selalu berhasil entah di manapun kamu akan melanjutkan studimu.

Sisanya adalah kisah. Kisah aku bertemu denganmu. Kisah aku bermain bersamamu. Kisah aku berlarian bersamamu.

"Aku rindu bermain hujan," ucapmu dalam lirih. Aku hanya mampu menjawab perkataanmu dengan anggukan kepala sejenak. Di balik gagang telepon, kamu bercerita tentang hari-harimu di sana. Menyenangkan, bukan? Bukannya awalnya kamu menolak untuk berpisah dengan Jakarta, denganku? Pada akhirnya kamu pun bisa beradaptasi di belahan dunia sana. Cerita tentang hari-harimu. Tentang keluargamu. Tentang studimu. Dan tentang dunia yang lain sekarang kamu pijaki itu.

"Kapan kamu ke sini?" tanyamu padaku. Aku langsung melepas gelak tawa. Seolah kamu mengejekku. Kamu merasakan kebahagiaan di duniamu yang baru.

Hari ini Jakarta hujan, kawan. Ingin kuberitakan kabar ini kepadamu. Memang benar tahun - tahun kemarin Jakarta juga hujan. Tetapi hujan di hari ini agak sedikit berbeda. Rintiknya seolah melukiskan wajahmu. Wajahmu yang menetaskan rindu. Rindu padamu. Rindu padaku.

Kini tak lagi seperti dulu. Hujan hanya membasahi satu kepala saja. Hujan juga hanya melihat hanya satu orang yang berlari untuk bermain di bawahnya. Hujanpun seolah tahu bahwa setelah sekian lama kita tak lagi bermain di bawahnya. Dia kehilangan kamu. Dia ingin menghantarkan pesan kerinduannya padamu. Padaku.

Pada akhirnya aku menuliskan surat ini untukmu. Setelah hujan menghantar bayangmu melalui tetes-tetes airnya yang kulihat dari balik jendela. Yang membasahi tanah yang pernah kita pijak. Memercikkan jalan yang pernah kita lalui. Tetesnya membawa alunan yang amat meresah. Meresah karena dia kehilangan seorang yang lainnya yang biasa bermain bersamanya.

Mungkin surat ini juga akan dihantar oleh dia yang menghantar bayangmu. Aku akan mengirimkannya untuk menyatukan rindu di atas jarak yang begitu jauhnya.


Jakarta dalam malamnya
14 Januari 2009



Aveline Agrippina T.
Untuk seorang sahabat di belahan dunia lain...

Kamis, 08 Januari 2009

Firasat dan Kehilangan

Tentang Firasat

Berbicara tentang firasat, yang tercetus di pikiraan setiap orang adalah bayang-bayang yang buruk akan terjadi. Atau firasat yang nyata secara fisik, dialek berbicara, dan tingkah laku. Bisa juga dengan mimpi.

Firasat. Apa itu sebenarnya?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), firasat adalah:
1 keadaan yg dirasakan (diketahui) akan terjadi sesudah melihat gelagat: rupanya dia sudah mendapat -- bahwa tidak lama lagi polisi akan membekuknya; 2 kecakapan mengetahui (meramalkan) sesuatu dng melihat keadaan (muka dsb): menurut -- ku, ia adalah orang yg bijaksana; 3 pengetahuan tt tanda-tanda pd badan (tangan dsb) untuk mengetahui tabiat (untung malang dsb) orang: setengah orang percaya benar kpd ilmu --; 4 keadaan muka (mata, bibir, dsb) yg dihubung-hubungkan dng tabiat orangnya (untuk mengetahui tabiat orang): menilik -- nya orang itu keras hati sebab rambutnya tebal dan kaku

Firasat bisa disalurkan dengan berbagai cara, salah satunya mimpi dan tingkah laku.

Mungkin saya adalah orang yang tidak bisa membaca pertanda sesuatu alias firasat. Atau saya adalah orang yang cuek terhadap pertanda-pertanda yang mendekat pada hidup saya. Atau satu kemungkinan lagi adalah saya tidak percaya dengan firasat. Atau saya tidak mengerti apa itu firasat.

Ketika anggota keluarga saya ada yang meninggal, sebelumnya ada beberapa pertanda yang ditunjukkan secara nyata. Misalnya, ketika paman saya yang biasanya tidak pernah menegur saya, beberapa hari sebelum 'kepergiannya', justru paman saya memanggil saya. Saya hanya tanggapi dengan kewajaran dan biasa saja. Tak ada rasa curiga tentang 'kepergiannya'. Lalu beberapa hari kemudian, paman saya tersebut berpulang.

Atau yang baru saya alami hari ini. Kemarin saya masih menjumpainya dalam keadaan sehat. Ya... sehat. Beliau adalah supir antar jemput saya. Saya memanggilnya "Oom". Sebenarnya saya bisa berangkat tanpa dia, orang tua saya memberikan kelegawaan untuk hal-hal tersebut. Saya boleh menggunakan supir pribadi, saya boleh naik kendaraan umum, atau sebagainya.

Entah apa yang bisa membuat saya menjadi ikut antar jemputnya. Mungkin agar saya bisa berbicara dengan teman-teman saya selama di perjalanan. Mungkin itu sudah menjadi kebiasaan sejak saya masuk ke bangku sekolah. Atau supaya saya bisa mengerjakan tugas dengan menyalin dari teman yang sekendaraan.

Harus saya akui, beliau memang orang yang amat baik. Sabar. Dan beliau menganggap kami -saya dan teman-teman saya sekendaraan- sebagai anaknya sendiri. (Adakah seorang supir yang menganggap demikian selain dirinya?) Mungkin kalau saya dan teman-teman saya mendengar hal itu, mungkin akan mengucapkan sesuatu yang bisa jadi tak berkenan di hatinya. Tapi secara tidak langsung, saya merasakannya.

Saya tak mengerti dengan apa yang diperbuatnya akhir-akhir ini. Saya memang merasa ada sesuatu yang aneh. Saya tidak menanggapi bahwa itu adalah suatu pertanda. Suatu firasat.

Sampai pada subuh tadi, saya menerima telepon dari teman saya. Orang yang saya panggil "Oom.." itu telah tiada.

Tentang Kehilangan

Mengapa saya menjadikan firasat dan kehilangan menjadi satu? Karena ini adalah sebuah hal yang amat identik.

Beberapa bulan sebelumnya, salah seorang teman saya mengajak saya agar tak perlu memakai jasa pengantaran Oom itu lagi. Untungnya, saya menolak.

Sampai hari ini, sebuah rasa... tercipta dengan ajaibnya.

Biasanya, ketika pagi menjelang, sebuah mobil diesel sudah berada di depan rumah saya. Hari ini tak ada. Ketika saya duduk di dalam kendaraan, saya tak lagi duduk di sebelah orang yang saya panggil Oom itu. Ketika saya pulang, kini saya dan teman-teman duduk di kendaraan umum.

Rasa kehilangan. Itulah yang saya dan teman-teman alami.

Terutama teman saya, dia bahkan sampai berujar pada saya. "Baru terasa kini tidak ada yang seperti kemarin." atau "Rasanya ada yang aneh dan mengganjal."

Memang dengan firasat akan mengalir rasa kehilangan. Dan rasa kehilangan itu baru tercipta ketika kita mulai merasa ada sesuatu yang hilang dan tak akan kembali. Serta, barulah kita merasa kehilangan ketika kita mengerti dan memahami sesuatu telah berakhir.



Catatan ini ditulis untuk saya sendiri
Jakarta, dalam senja yang menjelang
Hari kedelapan di tahun 2008


Aveline Agrippina T.

Senin, 05 Januari 2009

2008 to 2009




Foto ini diambil pas pukul 00.00 WIB pada tanggal 1 Januari 2009. Tepat pada saat pergantian tahun baru. Saat kembang api meledak dengan pas-nya.

Rencananya ketiga foto ini akan dipamerkan pada ARTFEST Karnaval tanggal 9-10 Januari 2009 bersama dengan salah satu foto saya yang lama dengan objek pohon.

Sabtu, 03 Januari 2009

Untuk Sebuah Doa di Tengah Perang - Dedikasi untuk Sahabat di Negeri Perang

Sering kali ketika aku bermain di lapangan, aku menemukan serpihan - serpihan
Atau ketika aku pulang ke rumah, kulihat tentara-tentara berlari ke mana - mana
Saat aku berjalan dengan teman, ambulans berlari - lari memekakkan suaranya
Lalu kutelusuri sedikit jalan, seorang ibu telah memeluk anaknya berlumur darah

Aku tak mengerti apa yang dimaksud dengan semua ini
Ketika dentum berbunyi dari ujung sana, aku hanya mampu menangis
Ketika ibu menyuruh kami masuk, aku tak berani melihat
Ketika orang-orang di luar berteriak, rasanya aku ingin menjerit

Menyesalkah aku? Salahkah aku?
Apa semua ini? Ibu menghukumku?

Pertanyaan itu tak pernah dapat kujawab walau sering bergelut dengan hatiku
Apa yang harus aku sesali ketika aku tak tahu apa kesalahanku?
Mengapa aku harus merasa bersalah ketika aku hanya bermain di depan?
Apa yang dimaksud oleh mereka yang lebih berusia dari aku?
Mengapa aku harus masuk ke dalam rumah, dihukum ibukah aku?

Dentum itu... dentum itu memekakkan telinga
Aku hanya mampu menangis, menitihkan air mata
Aku tak berani untuk mendengar suara - suara itu
Aku menjerit, menjerit dalam kebisingan ini

Ketika kugenggam bola untuk berlari di lapangan
Darah berkucuran sepanjang jalan yang kutelusuri
Ibu-ibu menangis meratapi anak-anaknya yang berdiam dalam peluknya
Anak-anak menjerit-jerit mencari apa yang mereka cari

Dosa apa aku? Mengapa harus di sini?
Apa yang mereka mau? Hidupkah aku?

Katanya aku dilahirkan karena cinta dan hidup di tengah cinta
Ini yang dimaksud dengan cinta?
Ada desing peluru, dentum BOM, terap kaki tentara?
Ada darah mengucur, kepala berdarah, tangan yang cacat?
Ada jerit anak, tangis ibu, peluk kematian?

Mungkin banyak yang mendoakan negeriku
Doa? Sempatkah aku berdoa di tengah dunia ini?
Baru kupulang, ibu menyuruhku masuk dan diam di kamar
Lalu aku diperdengarkan melodi-melodi yang seolah menyapa kematian
Dan dalam tangis itu saja aku mampu berdoa sedikit... amat sedikit...

Doa... aku ingin berdoa untuk aku
Aku ingin berdoa untuk ayah dan ibu
Aku ingin berdoa untuk teman-teman
Aku ingin berdoa untuk negaraku, bangsaku

Aku ingin bebas, aku ingin bermain bola di lapangan
Aku tak ingin mendengar peluru yang melesat
Aku tak ingin mendengar dentum BOM yang membuatku menangis
Aku tak ingin ibu menyuruhku lekas masuk ke rumah
Aku ingin bermain hingga senja menanti fajar kembali

Aku ingin ayah dan ibu tetap di rumah
Aku tak ingin melihat mereka dalam ketakutan
Aku tak ingin melihat ayah gusar dan ibu resah
Aku ingin ayah dan ibu tersenyum dan tertawa
Bercanda bersama aku dan kehangatan keluarga

Aku ingin teman-temanku dapat bermain denganku
Bukan dengan tangan yang hanya separuh
Bukan dengan kepala yang berdarah
Bukan dengan jasad yang terbujur kaku
Aku ingin menggiring bola sampai ke gawang

Aku tak ingin ada tentara-tentara berlari
Aku tak ingin ada bunyi-bunyi kencang yang menyapaku
Aku tak ingin ada tangis, air mata, dan darah yang mengalir
Aku ingin duniaku bebas, aku ingin bebas berlari
Ingin bebas bernyanyi, bebas bermain bola

Kalau ini yang dinamakan cinta?
Aku tak pernah mau dilahirkan atas nama cinta...
Lebih baik yang lain...



Untuk sahabat-sahabat di negeri perang
Semua ini kudedikasikan untuk kalian...

Jakarta dalam fajar yang masih terlihat
4 Januari 2009 - 8.10

>Sekedar untuk tulisan, saya tidak mendukung pihak manapun melainkan mendukung mereka yang menjadi korban.... Itu saja. Selebihnya, itu tanggapan pribadi masing-masing.